Semua Jadi Juara !! Bukan Basa Basi….

Rasanya saya pernah menulis note tentang sistem reward di sekolah Azka…Ga apa-apa deh…saya tulis lagi ajah …;)

Sabtu lalu Azka kenaikan kelas. Saya tau bagian yang saya suka dan bagian yang tidak saya suka saat acara kenaikan kelas di sekolah Azka. Bagian yang tidak saya suka adalah … pas bagian pentas… garing ! hehe….jauh lah dibandingkan dengan pentasnya TK Umar dan Hana…;) Tapi saya menghayati sih…anak SD kan karakteristiknya beda ama anak TK…mereka udah punya rasa “malu” untuk ekspresikan diri baik melalui tarian, nyanyian atau performance lainnya. Satu lagi…mereka sudah tak tampak lucu  haha….Kalau anak TK dan PG kan…berdiri di panggung aja udah lucu gituh…;)

Bagian yang paling saya sukai adalah bagian pemberian penghargaan. Sesuai dengan konsep sekolah ini yang tidak terlalu menekankan prestasi akademik (meskipun siswa-siswanya sering mendapat nilai tertinggi di kota tersebut), maka anak-anak yang berprestasi di luar akademik tidak menjadi “nomor dua”. Kemarin, dari setiap kelas diumumkan 3 anak yang masing-masing paling berprestasi di bidang: (1) nilai akademik (2)TTQ (3)Afeksi. Yang menarik adalah kategori afeksi. Tahun lalu, Kategori afeksinya ada 10. Ada kemandirian, kedisiplinan, persahabatan, suka menolong, Inisiatif, dll…Dan, mereka mendapat piala yang sama besar dengan yang juara akademik.

Saat pembagian raport di kelas, ternyata semua anak dapat bungkusan hadiah dari bu Guru. Kreatifnya bu guru, ia membuat 23 kategori penilaian: “yang paling sering bertanya”, “yang paling jago futsal”, “yang paling sering menolong teman”, “yang paling berani”, “yang paling rapi” ….. sampai “yang paling manis senyumnya”…. Bungkusan hadiah itu sama besarnya. Dan yang paling saya hargai adalah….”bahasa non verbal” dari bu guru saat memberikan hadiah itu pada masing-masing anak, menunjukkan penghargaan dan kebanggaan yang sama pada tiap anak. Karena, kadang ada juga yang berupaya untuk menerapkan konsep “penghargaan pada semua anak” ini, namun si juara akademis hadiahnya jauuuuh lebih besar, dan bahasa nonverbalnya berbeda…jadinya agak terkesan basa-basi gituh;)

Dan…memang “prestasi”, “juara” itu seringkali adalah konstruk/konsep yang dibangun oleh orang dewasa dan disematkan pada diri anak. Kalau saya amati…teman-teman Azka yang diumumkan peringkat terbaik; biasa-biasa aja tuh….demikian juga yang lainnya. Mereka semua happy ketika mendapat hadiah dari gurunya, dan terpancar kebanggaan saat bu guru memanggil dan menyebutkan “prestasi” mereka.

Yups…pada dasarnya setiap anak adalah memang juara…..Lha wong dia udah mengalahkan jutaan sperma lain untuk memenangkan si ovum…Maka, kita sebagai orang dewasa yang harus belajar untuk menghargai mereka, dengan tulus, bukan hanya “basa-basi” atau sebagai “defense” …. Dan anak, pasti bisa merasakan mana penghargaan yang tulus, mana penghargaan yang “basa-basi”.

 

Serunya Tiga Be

Sudah tiga tahun Azka bersama teman-teman sekelasnya. Berhubung Azka seneng banget cerita mengenai pengalaman dan teman-teman sekelasnya, sampai-sampai ibu merasa bisa melihat sendiri perkembangan temen-temen sekelas Kaka.

Ibu sampai hafal ke-22 nama-nama temen sekelas Kaka. Yasmin, Atheya, Aufa, Nidhar, Echa, Caca, Nikita, Aisyah, Naira, Almas, Rahma, Si kembar Raihan-Zaidan, Ari, Tristan, Daffa, Akbar, Ghani, Bashir, Fadla, Rivaldy, Hanif… Gak hanya ibu, Mas Umar sampai de Hana juga sampai hafal….gara-gara seringnya nama-nama temen Kaka disebut setiaap Kaka cerita pulang sekolah.

Kadang-kadang ibu amazing dengan “dinamika kelas” yang terjadi…

Misalnya…suatu saat Kaka cerita akan membawa 5 buku KKPKnya ke sekolah. “Buat perpus bu….Kan anak akhwat sering pinjem-pinjeman buku KKPK…ya udah…kita punya ide, bikin perpus khusus anak akhwat 3B…tempatnya di karpet di belakang kursi-kursi kita bu,,,kita udah ngatur…siapa yang piket dan mencatat yang pinjem setiap harinya….”

Atau..

“Bu, kemaren pas waktu kunjungan ke pasar modern pas pelajaran IPS, kan kita ke Borma…anak-anak ikhwan iuran beli monopoli loh bu…Itu teh monopoli khusus punya mereka…Kalau pas hujan, mereka gak bisa futsal, naaah …mereka main itu di kelas pas istirahat…”

Ibu juga tau ada seorang teman Azka yang potensi kepemimpinannya keren banget …. Sebut saja namanya “Robert” 😉 . Waktu kelas 1, dia yang jadi Ketua Murid. Waktu kelas 2, yang jadi KMnya Yasmin. Suatu hari, setelah pekan ujian selesai dan anak-anak masih sekolah menunggu hari pembagian raport, Azka pulang membawa silverqueen. “Gini bu, kan tadi bu Rika-nya lagi ngisi raport, kita teh ga ada kerjaan. Mau main di luar, hujan…Nah..Robert berinisiatif bu…dia bikin lomba menggambar…Panitianya dia sendiri. Terus pas kita lagi ngegambar, dia ke kantin beli hadiahnya…Kaka juara 1, jadi dapet silverqueen”. “Yang menilainya siapa ka?”tanya ibu. “Robert…..gak ada yang protes bu, soalnya dia sebelumnya bilang…ga boleh ada yang protes ya…keputusan juri gak bisa diganggu gugat…katanya”…. Saya membayangkan, Robert ini selain punya “impact” buat teman-temannya, penuh inisiatif, dan kayaknya sangat berwibawa. Tak mudah bagi anak 8 tahun untuk bisa menjadi pemimpin informal yang ditaati teman-temannya.

Kekaguman ibu pada Robert bertambah ketika hari Sabtu lalu, saat pembagian raport, sudah menjadi tradisi di kelas Azka tukeran kado. Kadonya maksimal Rp 10.000,-Dibungkus kertas koran. Ketika proses pertukaran telah terjadi dan masing-masing anak sedang asyik membuka “kado”nya masing-masing, tanpa ada perintah dari siapapun, Robert mencari dan menemukan keresek besar, lalu ia pun berkeliling….”ayo sampah kertas korannya masukkan sini …sampah..sampah..sampah…”…Robert, ibu Azka proud of you….;)

Dan, tentu saja ibu mengikuti “kisah cinta” yang mulai bersemi di kelas 3 ini. Ibu tahu si ini naksir si itu, tapi si itunya suka sama si eta…;). Terkait Azka sendiri, katanya Azka disukai sama *****. Sebenernya ibu setuju sih..soalnya, ***** itu anak laki-laki yang paling ganteng, paling pinter, paling baik, dan paling jago futsal di kelas Azka. Tapi sayang…Azkanya lebih seneng sama ^^^;)…yah, cinta itu emang buta Ka…..hehe…..Darimana ibu tau Azka lebih suka sama ^^^? Ya iya lah…lha wong Azka tiap hariiiiiii…tiap pulang sekolah…atau ujug-ujug…pasti cerita soal ^^^. Tentang ^^^ yang merobek kertas ulangan karena nilainya jelek jadi biar ortunya gak tau lah…..dan cerita lain yang dimulai dengan kata “sebel deh…”…atau “amit-amit..”..haha… ternyata “selera” kita sama Ka….sama-sama suka sama yang bandel n jail hihi….Sssst….. ibu gak bilang kalau ibu tau kalau Azka suka sama ^^^. Nanti Azka gak terbuka lagi sama ibu….

Mmmh…semoga tahun depan semakin seru dan semakin indah hari-harimu ya Ka..bersama teman-teman yang keren-keren n asik-asik …;)

Yups, persaingan memang semakin ketat. Tapi…

Sebagian besar anak-anak SD dibagi raport hari Sabtu lalu. Tak heran kalau topik soal “raport” ini menjadi perbincangan hangat orangtua (terutama para  ibu) di hari Sabtu dan Minggu kemarin, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Ada yang bersyukur atas hasil raport yang memuaskan dari putera/puterinya, ada yang mensupport proses belajar putera/puterinya meskipun nilai raportnya belum “memuaskan”….

Salah satu subtopik yang menarik, yang disampaikan oleh orangtua adalah mengenai ketatnya tingkat persaingan anak-anak sekarang. Selain seorang ibu di status facebooknya, kemarin saya ngobrol dengan tetangga yang “mengeluh”….”anak gue kan rata-ratanya 8,9 di raport….tapi itu renkingnya 11 dari 19….stress gw…itu renking 1 nya nilainya berapa ya?”….Anak tetangga saya ini sekolah di sekolah internasional. Lalu sorenya, ketika kami berkunjung ke rumah teman mas, beliau juga “mengeluhkan” hal yang sama…..”anak saya  tuh nilainya  delapan  sama sembilan, cuman satu matematika yang tujuh, tapi renkingnya kok pertengahan bawah..dua puluhan…gila ya…padahal anak saya  sekolahnya di SD negeri…”

Yups…yups…memang begitulah…iseng-iseng pagi ini saya hitung rata-rata nilai Azka, 93,9. Azka peringkat 3 di kelasnya. Dan, rata-rata kelasnya adalah….89,9 !! berarti, sebagian besar siswa di kelas Azka nilainya mendekati 90an!…kalau kita gunakan norma kelompok, stress gak sih ortu yang anaknya yang peringkat ke 23 dari 23? pasti kan nilainya 8 smua tuh…Padahal, KKMnya cuman 75 dan khusus untuk matematika, 70.

Saya jadi inget … saat ,membantu mengisi parenting di sebuah preschool internasional yang ortunya berasal dari kalangan sosek ataaaaaas banget;), seorang guru meminta saya “mengingatkan” seorang ibu yang menurutnya terlalu mem-push anaknya yang masih berusia 3,5 tahun dengan 8 jenis les sepulang sekolah…sampai menurut guru, anak itu menjadi kurang spontan, takut salah…gak pede…karena selalu “not good enough” bagi mami-nya. Saat saya bertemu si ibu, si ibu langsung berkata kurang lebih; “mungkin menurut ibu saya terlalu mempush anak saya…tapi gimana lagi bu…nanti TKnya, mau saya masukin ke TK ***. Disana untuk masuknya dites bahasa inggris sama mandarin bu…terus kalau saya lihat, di tempat lesnya itu, anak-anak seumur dia emang udah lancar baca, udah penjumlahan yang banyak…jadi wajar kan kalau saya menuntut anak saya juga gitu…temen2nya dia aja udah gitu…dan engga cuman saya aja…ibu-ibu yang lain juga gituh…terus tempat lesnya juga ngajarinnya gitu….jadi saya pikir..ya emang jamannya sekarang udah gitu….

Yups…kalau kita ngikutin arus “ortu lain”, “sekolah ini….”, “tempat les itu…”…memang kayaknya anak kita tertinggaaaaaal banget (ups…anak saya deng;) hehe…..Situasi “ketatnya persaingan “ini sedikit banyak membuat kita para ortu cemas…bagaimana nasib anak-anak kita di masa depan. Wajar sih…wajaaaar banget….Yang gak boleh adalah “terhanyut” dalam kecemasan itu, tak punya pegangan….dan …menularkan kecemasan itu pada anak-anak kita.

Kalau boleh share, berikut adalah cara-cara saya untuk tak terhanyut dalam “kecemasan” menghadapi “arus deras” dan zaman yang “bergegas” menjejalkan segala sesuatu pada anak-anak….

(1) Saya selalu ingat sebuah uraian dari buku yang saya baca: “education is not a race”. Anak yang bisa ini-itu di usia amat muda, tak akan menjadi lebih baik dibanding anak yang menguasai ini-itu tersebut pada waktunya. Menurut penghayatan saya, pendidikan anak itu kalau diibaratkan lomba lari, adalah lari marathon. Bukan sprint. Sprint memerlukan kecepatan, marathon memerlukan endurance.

(2) Setiap kali tergoda untuk mengikutkan anak pada suatu kegiatan, saya “menutup mata sejenak, merenung” dan bertanya…”untuk apa?”. Ini sih diajarin si abah. Waktu saya tergoda untuk mengikutkan anak-anak les biola dan les piano, si abah ngetawain…”buat apa de? lha wong di rumah kita gak ada alat musik satu pun…gak ada juga yang bakat seni selain om-om nya yang ngedrum di band SMA…”. Atau, ketika saya tergoda kepikiran mau masukin Azka ke tempat les Inggris yang keren dengan native speaker (yang tentu saja mahal), si abah mengingatkan: “kita kan gak ada rencana nyekolahin anak ke luar negeri sampai S1…nanti aja kalau dia udah ngerasa perlu….”

(3) Berpikir radikal tentang “ultimate goal” dari stimulasi yang kita berikan pada anak-anak kita. Buat apa anak bisa baca sedini mungkin? biar wawasannya luas? berarti harus diimbangi oleh stimulasi agar anak seneng baca dong. Karena bisa baca tanpa seneng baca, sama juga boong. Buat apa anak bisa ngitung cepet? Agar anak punya logika berpikir yang oke kan? berarti harus diiringi oleh stimulasi yang memberikan kesempatan anak untuk mengaplikasikan kemampuan berhitung cepatnya untuk menyelesaikan persoalan di kehidupan sehari-hari dong. Karena tanpa itu, keterampilan berhitung akan jadi mubadzir. Buat apa anak bisa cas cis cus bahasa inggris atau mandarin? kalau hanya praktek 3x satu jam dalam seminggu, akan lupa lagi kalau tidak dibantu oleh kesempatan untuk mempraktekkan bahasa itu baik di rumah atau di lingkungan.

(4) Kalau kita sudah menghayati dan memegang erat value kita dalam mengarahkan pendidikan anak, maka pilihlah sekolah atau lembaga pendidikan tambahan yang sesuai dengan value kita. Kalau kita ingin menstimulasi kreativitas anak kita, ya jangan masukin ke tempat les gambar yang mekemnkan pada teknik persfektif 3 dimensi meskipun si perkembangan persfektif anak belum nyampe sana. Pilihlah tempat les gambar yang mengapreasi keberanian anak mencoba bentuk dan warna yang beragam. Kalau mau masukin ke les musik, pilihlah les musik yang tak mendrill anak -baik yang berbakat maupun yang tidak berbakat-untuk menguasai suatu simphoni. Pilihlah les musik yang  mengajarkan anak kepekaan terhadap nada, tempo dan irama,dll…

(5) Kita tak pernah tau tantangan yang akan dihadapi anak kita 10,20,30 tahun kedepan. Karena dunia begitu cepat berubah, maka kita tak akan tau persis dunia seperti apa yang akan mereka jalani. Maka, cara ter-aman adalah menyiapkan “senjata” yang serbaguna di setiap “medan” yang akan dijalani oleh anak-anak kita: kepercayaan diri, keberanian mencoba hal baru tanpa takut salah atau gagal, daya juang dan daya tahan yang kuat saat mengalami hambatan, dan …kesediaan untuk caring dan sharing. Kalau kita menyiapkan hal itu, maka….walaupun anak kita gak pinter-pinter amat, dia akan punya daya juang untuk menjadi pinter…kalau anak kita gak hebat-hebat amat, dia akan mencoba beragam cara yang berbeda agar tak kalah hebat dengan yang sudah ada.

Satu catatan penting dalam situasi arus persaingan yang amat sangat ketat ini adalah: jangan berikan penghargaan pada anak kita dengan standar norma kelompok. Berikan penghargaan apabila ia menunjukkan kemajuan. Jangan mengulangi kesalahan yang saya lakukan. Sebelumnya, saya menjanjikan hadiah bagi Azka kalau “renkingnya” naik. Dan…baik ibu maupun Azka kecewa. Karena renking Azka menurun terus….padahal…nilainya mah naik. Sampai semester lalu si ibu insyaf;) saya janjikan hadiah apabila nilainya naik….tak peduli ia berada di peringkat berapa. Tampaknya itu jauh lebih fair…karena kita menghargai proses yang dilakukan oleh anak kita…

Rabbi…Habli….Minashsholihiiin….

Amunisi Liburan

Aneh. Tumben-tumbenan ibu tidak merasa “bingung” bagaimana harus mengisi liburan anak-anak. Umar dan Hana sudah libur sejak tanggal 10 lalu. Azka bagi raport Sabtu tapi terakhir sekolah hari ini. Menurut jadwal, anak-anak baru masuk sekolah lagi tgl. 16 Juli. 1 bulan lagi. 4 minggu. 30 hari….Untuk Umar dan Hana sendiri, liburan sudah berlangsung 10 hari. Dan situasi masih amaaaan….Tidak ada rengekan khas Umar: “apa yang bisa mas Umal lakukan…” (dengan ekspresi wajah dan gestur komik). Mungkin itu yang bikin ibu gak bingung ya…

Tampaknya 30 hari ke depan masih punya banyak amunisi untuk mengisinya;)

Minggu lalu, saat ke Gramedia ibu udah beliin mas Umar  cd interaktif pelajaran kelas 1, 5 cd ! masing-masing 1 pelajaran ….haha….maklum, si ibu yang pencemas ini udah cemas…mas Umar belum minat untuk ngelirik2 materi pelajaran kelas 1. Ya, memang itu PR besar ibu untuk menstimulasi mas Umar. Dia cuman peduli apa yang ia minati. Akibatnya….dia tau sih…pesawat apa yang paling cepat di dunia, tau nama-nama planet dan karakteristiknya, tau nama dinosaurus dan makanannya; tapi gula itu rasanya gimana, bentuknya seperti apa….blank….semua pengetahuan umum yang terkait dengan sekitarnya, yang dia gak minati….meneketehe.Makanya, ibu bikin strategi ama si abah. Mengingat hobi mas Umas adalah googling (apa lagi selain googling ultramen, angry bird, ular, dll yang dia sukai)…maka si abah memperbaiki PC kami yang sering ngeboot and beliin monitor yang lebih bagus n lebih besar. Lalu ibu dan abah pun mengatur strategi sehingga  keluarlah peraturan ini; “Lama waktu MAs Umar googling adaah sama dengan waktu mas Umar “belajar”. Kalau mas Umar belajar 30  menit, googling pun 30 menit. Jadi Mas Umar yang putuskan, berapa lama mas Umar mau googling. Nah…kalau mas Umar mau belajar nulis, jatah waktu googlingnya 2x lama waktu nulis.”. Selain cd interaktif pelajaran, ibu pun kasih tau link-link belajar interaktif seperti dunia belajar, dll.
Dan…sejauh ini cukup berhasil…Umar udah gak usah di-guide lagi karena tau satuan waktu per 5 menit. Kalau belajarnya dari jarum panjang ke angka 8 sampai 12, berarti googlingnya dari angka 12 sampai 4.

Kalau udah bosen dengan kegiatan itu, mas Umar punya hobi baru sekarang,,,yaitu…baca komik. Tenaaang…koleksi komik Smurf  & Why masih banyak yang belum dia baca…paling tiap Sabtu nanti kami ke Gramedia, nambah koleksi Kung Fu Boy nya…jilid 1-7 yang dia punya udah berulang-ulang kali dia baca.

Kalau udah bosen baca, maka dia beralih …”membuat komik”…kegiatan yang membuat dia sekarang bercita-cita menjadi komikus. Buku Agenda ibu penuh dengan komik2 “ultramen” dengan “buble talk” dan tulisan  khas anak 6 tahun: tulisan besar, dengan satu-dua huruf ketinggalan. Kamarnya juga penuh dengan tempelan kertas HVS  komik2 yang dia gambar…

Kalau ia sudah bosen main sendiri, biasanya -entah dia yang nelpon atau dia yang ditelpon-, dia pun main sama soulmatenya, Geva. Entah itu main gasing, masing sepeda, main game, atau…sekedar “ngobrol”-yang entah apa topiknya, biasanya mereka sampai terpingkal-pingkal…

Kalau Azka dan Hana, lebih mudah. Azka seneng baca dan ngobrol sama ibu….demikian juga Hana. Apalagi mereka punya “mainan baru” sekarang: de Azzam! 😉 Azka senang sekali “take care of” de Azzam. Ngajak ngobrol, mangku….Liburan ini Azka punya objek excitement baru. Sepeda dia kan sudah kecil, jadi dia pake sepeda abahnya. Jadi dia “belajar” lagi…kayaknya seneng, latihan tiap sore.

Kalau mereka bertiga lagi kumpul dan akur, biasanya mereka main bareng. Main “kawan-kawanan”.  Azka “Kawan besar” ; Umar “kawan sedang”, Hana “kawan kecil”, dan kadang mereka ikutsertakan de Azzam sebagai “kawan superkecil”. Si kawan-kawanan ini bisa jadi settingnya di luar angkasa, di pasar, di hutan, di laut….dengan memanfaatkan segala alat yang ada. Kursi, beragam mainan, treadmill…. ular-ularan, dan segala macem sesuai dengan imajinasi mereka.

Biasa juga Azka sama Umar asyik main ular tangga dan ludo atau asyik ngobrolin si kungfu boy, sementara Hana main lilin….karena hobinya ini, ibu udah sediain seabreg plastisin….Kalau udah bosen, gantian Azka nulis diary, sementara Umar dan Hana asyik main dengan beberapa ultraman yang buntungnya variatif. Satu gak ada kakinya, satu gak ada tangannya, satu gak ada kepalanya….tapi mereka asyik aja tuh…

Setiap Sabtu, mulai minggu depan…Azka akan mulai les renang dan mas Umar ikut SSB. Ahad…..setelah pengajian Percikan iman, …seperti biasa akan kita isi makan atau jalan-jalan….dan, seperti nanti siang…kalau ibu ke Jatinangor, anak-anak boleh ikut. Ibu beraktivitas di kampus, anak-anak udah punya wahana favorit di Jatos-JAtinangor Town Square.

Dan, liburan ini mereka ibu kasih projek: ngerapihin buku n bikin katalognya…Siapa tau si abah punya uang banyak dalam waktu dekat buat naikin rumah, dan cita-cita membuat “Rumah Baca Selaras” untuk anak-anak dan ibu-ibu sekitar Selaras Alam pun segera terwujud. Amiiiin…

Ah, cukup kan…amunisi buat 30 hari liburan?

Satu Dekade

Sebelumnya, setiap kali tanggal 15 Juni, meskipun kami mengingat sebagai hari jadi  pernikahan, namun tidak terlalu kami hayati. Memang, biasanya saya membaca kembali ratusan halaman print out email kami saat taaruf dulu….Menyegarkan kembali komitmen-komitmen yang kami tuliskan, saat kami masih “idealis” dulu, dan menakar apakah kami masih berada dalam koridor idealisme itu….

Berbeda dengan tahun ini. Tahun ini kami benar-benar menghayati 10 tahun kebersamaan kami sebagai suami istri, sebagai suatu keluarga.Selain menyiapkan acara liburan keluarga, si abah yang biasanya anti difoto berkata “kita foto yuks….” 😉

Ya, mungkin karena beberapa teman yang usia pernikahannya sama dengan kami, yang pernikahannya kami hadiri, yang kelahiran anak-anaknya kami tengok,,,, tidak lagi bia mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Masalah-masalah “kecil”  yang kami rasakan, pada beberapa teman menjadi besar dan menjadi faktor pemicu retaknya pernikahan mereka. Artinya, kalau masalah-masalah “kecil” itu kami biarkan, bisa menjadi besar dan tak terkendalikan serta potensial menjadi faktor pemisah kebersamaan kami.

Maka, di tahun ini kami benar-benar menghayati bahwa 3650 hari bersama, adalah karunia-Nya. Dia jua lah yang menganugerahkan barokahNya, sehingga kami bisa menghadapi masalah-masalah yang muncul dengan cara yang “pas” sehingga hasilnya tidak saja hanya “melegakan”, namun juga menguatkan.

Untuk mas…

Terima kasih untuk menemani hari-hari ku 10 tahun ini

Terima kasih mau belajar bersama untuk saling mencintai, saling menerima, saling menghargai, saling mendukung, saling memaafkan, saling menjaga, saling mengingatkan, saling menguatkan…

i love u….semoga kita bisa mentafakuri hari jadi pernikahan kita sampai dekade-dekade selanjutnya….

Untuk anak-anak…Kaka Azka, Mas Umal, Teteh Hana, De Azzam…

Abah bilang tanggal 15 Juni  adalah hari jadi keluarga kita

Di shubuh ini, saat malaikat menebar Rizki pada makhluknya, mari kita berdoa, agar keluarga kita diberikan kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan. Dan kita bisa selalu bersama, sampai di syurgaNya kelak.

Amiiin

nonton ustadz

Siang itu,terjadi percakapan antara ibu dan  teh Ema.

E : “bu, boleh gak besok Ema minta izin untuk ikut pengajian? ada rajaban bu, di mesjid bawah”

I : “ya boleh atuh….malah ibu seneng kamu ada kemajuan, izinnya ke pengajian, bukan nonton Shiren Sungkar lagi”       (teh Ema ini fans beratnya Shiren Sungkar. Setiap kali Shiren Sungkar ke Bandung, entah itu manggung atau jumpa fans, pasti dia bela-belain dateng….

E: “iya bu, soalnya penasaran pengen  banget liat ustadz XYZ aslinya gimana…kan selama ini nontonnya di TV doang”

I : “bentar…bentar…kamu teh mau dengerin ceramahnya atau mau nonton ustadznya?”

E: (nyengir)….”hehe…iya yah….sebenernya pengen liat ustadznya sih….”

I : “huuuu…dasar…coba nanti ibu cek sepulang dari sana…kamu inget engga isi ceramahnya si ustadz…”

Sorenya…..

E: “bu, bu….liat…tuh ustad XYZ teh…di ****” (menyebutkan salah satu channel TV)

I: (merasa aneh kok sore-sore ada acara dakwah) “mana??”

loh….kok acara infotainment…oh…itu toh ustad XYZ teh…

Tampak di layar kaca si ustadz tengah menunjukkan satu persatu isi koper yang akan dibawanya umroh. “ini baju ihrom, saya bawa dua. ini baju ………. ini cemilan…soalnya saya suka laperan kalau disana….” Dia akhir tayangan, si ustadz berkata; “pemirsa, terima kasih ya, telah mengikuti kegiatan saya sehari ini…bla..bla..bla..”

Yah, ini mungkin memang zaman visual ya….Objek-objek atau subjek-subjek yang secara visual menarik mata jauh lebih disukai. Lihat ustadz XYZ ini. Keren, pakaiannya selalu matching. Indah dipandang mata lah…Waktu ke Bogor beberapa bulan lalu, di depan mobil saya ada mobil alphard dengan nomor mobil “cantik” bertuliskan nama ustadz tersebut.

Cuman…saya agak khawatir…kalau di satu sisi, orang yang menghadiri majlis pengajiannya bukanlah berniat untuk mendengarkan hikmah dan tausyiah si ustadz, melainkan untuk “menonton” fisik dan penampilan serta gaya si ustadz semata. Semoga tak demikian…

Diam-diam, saya rindu seorang ustadz. Yang tak pernah masuk infotainment. Yang tak pernah pake pakaian yang keren. Yang tak pernah “atraktif” dalam menyampaikan ilmu-nya. Pak Quraish Shihab.

Tiga Perceraian

Saya bukan orang yang anti perceraian. Bagaimana mungkin saya anti perceraian; padahal saya sangat yakin, bahwa – bila Allah mensyariatkan sesuatu, tentu ada kebaikan di dalamnya- termasuk dalam perceraian. Meskipun keterangan dalam HR.Abu Daud,2178, Ibnu Majah, 2018 dan Al-Hakim, 2/196 ) menyatakan bahwa “ Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah talak (Perceraian)”; yang menurut saya, maknanya adalah  pasangan harus berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan pernikahan mereka membawa “kebaikan yang lebih banyak” dibandingkan dengan perceraian. Tapi….sekali lagi….kalau sudah tak tersisa lagi kebaikan dalam sebuah pernikahan, maka perceraian adalah jalan yang HALAL.

Apakah perceraian selalu bermuara pada dampak negatif? terutama pada anak (jika pasangan sudah memiliki anak)?. Kalau jawaban saya “ya”, berarti saya tak pernah baca buku atau jurnal mengenai perceraian. Karena riset-riset terbaru menunjukkan, bukan perceraiannya yang membuat anak bisa memperoleh dampak negatif. Tapi, PERCERAIAN YANG BAGAIMANA?

Berhubung saya pribadi tak menutup kemungkinan dari keputusan “bercerai” -semoga Allah menjauhkan dan menganugerahkan barokah pada keluarga kami-; maka saya banyak belajar dari teman-teman saya yang memutuskan untuk bercerai. Berikut ada 3 kisahnya.

Sebut saja namanya Mawar. Cantik,  berpendidikan tinggi. Namun ia tak beruntung. 10 tahun menikah, suaminya tak pernah menghargai dia. Abuse fisik dan psikologis ia terima bertahun-tahun. Luka fisik hilang bekasnya dalam 1 sampai 2 bulan. Namun luka psikologisnya…… Bertahun-tahun kepercayaan dirinya semakin berkurang…semakin menciut. Di luar, orang melihatnya cantik,  berpendidikan tinggi. Di dalam, ia merasa amat sangat jelek, tak punya apa-apa, amat sangat bodoh. Penghinaan-penghinaan suaminya sukses membuatnya merasa menjadi “noone”. Ia tumbuh menjadi pribadi yang rapuh, ibu yang rapuh, yang “depresi” dan menularkan ke”depresi”annya pada anak-anak. Perlu bertahun-tahun untuk membuatnya memutuskan bercerai dan meyakinkan dirinya bahwa “lebih baik anak-anakku tak memiliki figur ayah dibanding dengan memiliki figur ayah yang tidak baik”. Keputusan telah diambil. Berat memang, namun ia merasa bahwa tak ada kebaikan lagi dalam rumahtangganya. Suami dan ayah yang tak pernah menghargai istri dan anak, komunikasi yang hangat tak pernah tercipta…..”kalau gue cerai, minimal ada kemungkinan anak-anak gue dapet ayah yang lebih baik” katanya. Dan inilah dia. Setahun kemudian. Perlahan, kepercayaan dirinya bangkit kembali seiring dengan penghargaan dari lingkungan. Penghargaan yang memang seharusnya ia dapatkan karena kecemerlangannya. Ia tumbuh menjadi ibu yang kuat. Kesadaran bahwa keputusan bercerai yang ia ambil adalah untuk memberikan “kebaikan” pada anak-anaknya, membuatnya tak pernah kehabisan energi, meski ia seorang single parent. Ia  mulai dari nol bekerja, mengantar anak-anaknya sekolah, meluangkan waktu bersama….Seiring waktu, aura bahagia mulai memancar dari ibu dan dua anak itu saat saya bertemu mereka. Karena keputusan diambil dengan pertimbangan yang jernih, maka ia jelaskan keputusannya pada anak-anak. Ia beri kesempatan anak-anaknya bertemu ayahnya. “Ibu dan ayah berpisah karena kami tak bisa saling membahagiakan. Ayah berpisah dari ibu, tapi ayah tidak berpisah dari kalian” katanya pada anak-anaknya setiap kali mengantar mereka untuk bertemu ayahnya.

Sebut saja namanya Melati. Ia memutuskan berpisah karena merasa suaminya tak adil terhadap dirinya. Karena profesinya, suaminya harus bekerja di luar negeri. Pulang sekian bulan sekali. Maka ia pun mencari hobi …. hobi yang semakin lama dirasa sangat mengasyikkan. Melakukan hobi yang kini menjadi sumber penghasilan untuknya, jauh lebih menyenangkan dibandingkan tinggal di rumah mengasuh anak-anaknya. Sekian tahun, sang suami protes. Menginginkan ia tinggal di rumah dan lebih memperhatikan anak-anak. Ia tak terima. Mengapa suaminya boleh kerja sementara ia tak boleh? Cerai. Akhirnya itu keputusan yang mereka ambil. Ia tak pernah menjelaskan pada ketiga puterinya mengapa “ibu dan ayah” gak pernah di rumah dan  ngobrol barengan lagi. Permintaan puterinya yang berusia 8 tahun untuk “aku mau ibu, ayah, aku dan adik-adik ngobrol bareng kayak dulu. aku pengen tau, aku ini anak broken home ya? ” tak dipedulikannya. Neneknya, yang kini mengasuhnya berupaya memberikan penjelasan kalau “ibu dan ayah suka berantem terus, jadi harus berpisah”. Penjelasan yang tampaknya tak memuaskan baginya, karena ia masih bertanya “kenapa ibu dan ayah engga baikan biar aku bisa tetep tinggal bareng ibu dan ayah?  kalau aku sama adek berantem kan disuruh baikan….”

Sebutlah namanya Kenanga. Kebahagiaan dalam pernikahan tak berpihak padanya. Segera setelah hasil USG menunjukkan bahwa anak yang dikandungnya adalah perempuan, bukan laki-laki; saat itu juga keluarga si suami menginstruksikan si suami untuk menceraikannya. Tragis dan aneh memang rasanya. Tapi itu nyata. Harta, tetap ia dapatkan. Rumah bertingkat, mobil dan beragam fasilitas untuk menunjang tumbuh kembang si anak, tetap ia terima meskipun telah “diceraikan”. Diceraikan karena tak bisa memberikan anak laki-laki ! sesuatu yang berada di luar kontrolnya. Ia selalu tampil dengan senyum manisnya saat berinteraksi dengan orang lain. Namun tanpa ia sadari, ia merasakan setitik kebahagiaan saat si anak  membanting pintu dan tidak mau ditemui ketika si ayah datang mengunjungi. Ia membiarkan ketika dalam gambar keluarga, si anak  tak menggambar ayahnya. Hanya ibu dan dirinya yang ia gambar. Ia merasa puas ketika suatu saat, si anak menggambar  sosok ayah dalam gambar keluarga, namun dengan ukuran yang amat kecil  dan lalu dicorat-coret.

Tanpa menggunakan mikroskop pun, dengan mata telanjang, kita tahu ….. mana perceraian yang membawa kebaikan dan mana perceraian yang membawa keburukan. Mungkin saat ini, ada sebagian istri yang tengah dilanda konflik  karena “sakinah mawaddah wa rohmah” tampak kecil kemungkinannya untuk diwujudkan dengan suaminya saat ini. Mungkin ilustrasi di atas bisa membantu. Untuk saya sendiri, saya memiliki keyakinan bahwa indikator suatu perceraian itu membawa kebaikan, adalah apabila ibu merasa mendapatkan kekuatan untuk berjuang, mendapatkan energi yang tak habisnya untuk memberikan yang terbaik pada anak – sehingga mau bersikap dewasa berkompromi dengan mantan suami menjelaskan dengan cara yang baik pada anak-anaknya-  apabila ibu merasa menjadi “someone” dan “hidup”, meski secara fisik lelah karena harus mencari nafkah…seperti Mawar. Dan untuk Mawar-Mawar  ini, saya doakan semoga mendapatkan pasangan hidup yang jauuuuuuuh lebih baik.

Semoga andaikan skenario bercerai amat sangat terpaksa terjadi pada kita, kita tak seperti Melati-yang tampaknya kurang peduli pada anak; apalagi seperti  Kenanga-yang menggunakan anak sebagai “instrumen” penyalur kebencian pada suami ….

 Robbana hablana min azwajina wa zurriyyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil-muttaqina imama –
” Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenag hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa “.  

(QS; 25 AL-FURQON; ayat 74 ).

sekolah ekstrim kanan – sekolah ekstrim kiri; catatan kematangan masuk SD

Sejak awal tahun ini, beberapa sekolah TK meminta saya membantu untuk mengevaluasi kematangan siswa-siswinya untuk masuk SD. Tujuannya adalah untuk mengarahkan stimulasi guru dan orangtua, agar bulan Juli depan anak-anak TK B itu “siap” untuk memenuhi tuntutan pembelajaran di SD baik dari segi kognitif, emosi maupun sosial.

Ada 4 sekolah TK yang hasilnya sangat menarik untuk saya. Sebut saja TK A, B, C dan D.

TK A,B dan C orangtua muridnya dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas (terlihat dari pendidikan dan pekerjaan ortu, SPP sekolah tersebut per bulannya, dan jenis mobil yang mengantar-jemput para muridnya;) plus….terlihat juga dari dandanan ibu2 si murid dan jenis blackbery mereka hehe….). Sedangkan TK D, adalah PAUD dimana murid-muridnya bersekolah gratis dan orangtua mereka adalah dari kalangan bawah. Ayah-ibu mereka adalah tukang ojek, buruh, pembantu rumah tangga, tukang cuci, dll yang “sejenis”.

Hasil yang didapat di TK A adalah: untuk aspek “pengetahuan huruf dan angka”; mereka oke banget. Diminta menulis huruf A-Z dan angka 0-9 mah cingcay buat mereka…lha wong setiap hari sepulang sekolah sekolah mengadakan les calistung….lengkap dengan PR nulis dan berhitung berlembar-lembar. Tapi, dalam aspek “pengamatan kritis, konsep dasar bilangan dan story comprehension”….mereka tergolong kurang. Begitu pula kemandirian dan kemampuan mengerjakan tugas, rata-rata tidak terlalu oke.  Dan ini nyambung sama jawaban kuesioner yang diisi guru dan orangtua. “sudah bisa calistung” adalah alasan guru dan orangtua dalam menilai kesiapan untuk masuk SD.

Hasil sebaliknya diperoleh oleh TK B. TK ini memang mengusung konsep yang khas.  Orangtua yang memasukkan anaknya ke TK ini adalah orangtua yang “idealis”. Banyak diantara anak-anak itu yang kota kelahirannya bukanlah kota yang ada di Indonesia. Mereka lahir di luar negeri saat orangtuanya sekolah di sana…Nah, di TK ini, untuk aspek-aspek kematangan kognitif yang terkait penalaran, hasilnya oke-oke. Namun, jangan minta mereka menulis atau menghafal abjad. Mereka ampun-ampun !!  Rata-rata hanya hafal huruf A sampai E. Usia 7 tahun tampaknya menjadi patokan dari guru dan orangtua untuk mengajarkan hal-hal yang sifatnya “akademik” seperti simbol huruf dan angka. Ini terlihat dari jawaban di kuesioner.

Untuk TK C, ….kemampuan kognitif yang sifatnya nalar, ok. Untuk pengetahuan huruf dan angka, beragam. Maklum, di sekolah ini, bagi siswa yang dirasa sudah mau belajar “baca” dan “hitung”, guru bisa memfasilitasi. Sambil nunggu bel masuk, saat menunggu teman-teman yang lain selesai berkegiatan, guru-guru siap melayani kebutuhan anak-anak yang berteriak; “bu guru, aku pengen belajar baca…”. Maka, di sekolah ini, terlihat pemandangan yang ….. buat saya sih asyik….Kalau istirahat, perpustakaannya yang ada di lantai 2 pasti penuh. Terdengar suara-suara terbata-bata makluk-makhluk mungil itu membaca ensiklopedia bocah muslim lah, membaca buku franklin lah, kadang satu buku dikerubutin 2-3 anak. yang baca satu orang, yang lainnya mendengarkan, karena belum bisa membaca. Ada juga yang “duet” membacanya, saling membetulkan bacaan temannya. Di kuesionernya, guru dan orangtua memberikan penekanan pada “kemandirian” untuk masuk SD.

Untuk TK D, hasilnya memang paling menyedihkan. Usia siswa-siswi di sana rata-rata sudah diatas 7 tahun. Namun, hasil untuk aspek nalar maupun aspek akademis sama kurangnya. Rata-rata belum memiliki kemampuan dasar belajar dan konsep dasar yang baik….Ya, saya membayangkan, bagaimana orangtua mereka punya waktu dan ilmu untuk menstimulasi? lha wong kadang guru harus jemput ke rumah mereka, karena sudah seminggu mereka tidak masuk sekolah…mendapat data tahun kelahiran saja relatif susah, karena para orangtua tidak tahu…

Kalau dilihat dari hasil di atas, memang ada hal yang “nyambung” antara karakteristik sekolah dan karakteristik orangtua.

TK A, adalah mungkin representasi kebanyakan TK sekarang ini. Dimana bagi orangtua,  tujuan akhir TK adalah bisa “calistung” untuk diterima di SD favorit yang memberlakukan seleksi calistung. JAdi, TK ini semacam bimbel menuju UMPTN gituh. Yang penting masuk…Soal bagaimana nanti 6 tahun menjalani sekolah SD, tidak menjadi perhatian…Soal nanti kelas 4 materi pelajaran memerlukan analisa dan fondasi nalar yang kokoh, meneketehe….

TK B, adalah representasi “protes” masyarakat terhadap beratnya tuntutan terhadap anak. Oke sih…tapi kalau pendapat saya sendiri, asa sayang ya…. si otak itu….kecerdasan itu…apa salahnya mengajarkan simbol huruf pada anak-anak…mungkin ada diantara anak-anak itu yang merasa ingin bisa membaca sendiri, merasa senang kalau bisa mengetikkan kata saat googling untuk mencari gambar superhero favorit mereka di ipad ayah-ibunya…merasa bahagia bisa menulis “selamat hari  ibu” di kartu ucapan untuk ibunya….

TK C, ini adalah TK yang paling asyik menurut saya. Tetap memegang konsep dasar TK sebagai lembaga prasekolah yang mematangkan emosi sosial anak, namun untuk anak-anak tertentu yang berkemampuan dan berkemauan, mereka fasilitasi juga. Tak heran kalau setiap kali pentas seni, di TK ini  yang sudah bisa baca menjadi pembawa acara…yang sudah bisa membaca Qur’an, tilawah pembuka… yang belum bisa baca Qur’an, tampil hafalan surat pendek. Yang belum bisa baca tapi peka terhadap tempo, bermain drumband. ….

TK D, ini yang sering kita lupakan…Perlu bantuan para relawan di bidang pendidikan anak untuk membantu menstimulasi anak-anak ini, agar daya nalar dan kemampuan akademik  mereka berkembanng, agar mereka tidak jadi korban “standar minimal Ujian Nasional”

semoga kita selalu diberikan anugerah kemauan dan ilmu untuk membantu mencerdaskan anak-anak bangsa ini…

1+1=1, 1+0=0

Tepat ketika kami -saya dan mas- sedang mencari-cari hotel pinggir pantai untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami yang ke-10 weekend minggu depan di internet, seorang teman datang berkunjung. Dia mengundang kami untuk hadir di pernikahannya.

Harusnya kami bahagia. Tapi tidak…kami tidak bahagia. Malah kami shock. Itu karena, teman yang kami kenal adalah seorang ibu dari 3 anak…istri teman kami juga…. Menikah? berarti…..
Ya, mengalirlah cerita …. ternyata mereka sudah bercerai beberapa bulan lalu.. bla..bla..bla…

Sejak kedatangannya, saya masih tidak percaya. Dan perceraian mereka, masih menjadi topik pembicaraan saya dan mas setiap hari sejak itu. Tentu bukan kisah mereka-nya, tapi refleksinya untuk keluarga kami. sampai sekarang saya masih merinding.

Kenapa? karena … meskipun setiap hari kita disuguhi berita mengenai perceraian artis ini-itu, namun pengalaman itu sangat berbeda dengan apa yang kami hadapi kini.

Teman kami itu, saya merayakan ulangtahun di tahun yang sama dengannya. Kami merayakan ulangtahun pernikahan di tahun yang sama dengan mereka. Azka dan Umar merayakan ulangtahun di hari yang sama dengan anak pertama dan kedua mereka.

“Dunia” mereka begitu amat dekatnya dengan kami. Maka, kalau hal itu bisa terjadi pada mereka, hal itu berarti bisa juga terjadi pada kami. Itu yang membuat isi pikiran saya, warna emosi saya, dipenuhi oleh hal itu…..
Seperti kata mas, “walaupun saat ini kita merasa hubungan kita sedang oke-okenya, kit atidak boleh lengah…”

Ya, memang belajar dari apa yang terjadi dari pernikahan2 di sekeliling kami, baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil, kami berusaha memperkokoh pernikahan kami. Untuk saat ini, tidak terbayang apa yang bisa merapuhkan ikatan itu.

Saya hanya berdoa, semoga … kami berdua, KAMI BERDUA….selalu diberikan kesadaraan untuk menjaga komitmen itu. Komitmen 10 tahun lalu, yang kami ingat setiap harinya.

Karena seperti kata konselor pernikahan yang sudah puluhan tahun membantu ribuan pasangan itu, keluarga hanya bisa utuh, kokoh dan kuat jika DUA BELAH PIHAK mau mempertahankannya, dengan kesadaran dan komitmen yang utuh. Jika hanya SALAH SATU yang mau komitmen, TIDAK BISA….

Amiiin….semoga ya Allah…please….

Ancaman Hanadia

Prangggg….

Ibu menyenggol gelas kopi di meja ibu, menumpahkan isinya yang masih berisi setengah kopi ….

Air kopi itu mengenai Hana yang sedang bermain dengan “bayi”nya di bawah meja ibu, dan mengotori baju barunya.

“Maaf ya de…” kata ibu sambil membereskan pecahan gelas dan mengelap air kopi yang tercecer ke mana-mana.

“Ga apa-apa bu…ibu gak sengaja kan? Kalau engga sengaja, itu bukan suatu kesalahan….” katanya dengan “kalem”.

“Dede engga marah kok….tapi ibu engga boleh mengulanginya lagi ya…lain kali ibu harus lebih hati-hati….” ia melanjutkan…

“iya…” jawab ibu.

“Dede engga marah kok…ibu kan engga sengaja…tapi kalau ibu ulangi lagi, nanti dede marah ya……janji ibu lain kali akan lebih hati-hati?”

“iya…” jawab ibu…*sambil cengar-cengir*

Haha…mendengar kata-katanya, seperti mendengar rekaman kata-kata ibu….untung ancaman ibu engga aneh-aneh…jadi ketika ia membalikkannya pada ibu, ibu tidak terlalu merasa terancam, meski kalimat terakhir itu ia ulang-ulang beberapa kali;)