sekolah ekstrim kanan – sekolah ekstrim kiri; catatan kematangan masuk SD

Sejak awal tahun ini, beberapa sekolah TK meminta saya membantu untuk mengevaluasi kematangan siswa-siswinya untuk masuk SD. Tujuannya adalah untuk mengarahkan stimulasi guru dan orangtua, agar bulan Juli depan anak-anak TK B itu “siap” untuk memenuhi tuntutan pembelajaran di SD baik dari segi kognitif, emosi maupun sosial.

Ada 4 sekolah TK yang hasilnya sangat menarik untuk saya. Sebut saja TK A, B, C dan D.

TK A,B dan C orangtua muridnya dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas (terlihat dari pendidikan dan pekerjaan ortu, SPP sekolah tersebut per bulannya, dan jenis mobil yang mengantar-jemput para muridnya;) plus….terlihat juga dari dandanan ibu2 si murid dan jenis blackbery mereka hehe….). Sedangkan TK D, adalah PAUD dimana murid-muridnya bersekolah gratis dan orangtua mereka adalah dari kalangan bawah. Ayah-ibu mereka adalah tukang ojek, buruh, pembantu rumah tangga, tukang cuci, dll yang “sejenis”.

Hasil yang didapat di TK A adalah: untuk aspek “pengetahuan huruf dan angka”; mereka oke banget. Diminta menulis huruf A-Z dan angka 0-9 mah cingcay buat mereka…lha wong setiap hari sepulang sekolah sekolah mengadakan les calistung….lengkap dengan PR nulis dan berhitung berlembar-lembar. Tapi, dalam aspek “pengamatan kritis, konsep dasar bilangan dan story comprehension”….mereka tergolong kurang. Begitu pula kemandirian dan kemampuan mengerjakan tugas, rata-rata tidak terlalu oke.  Dan ini nyambung sama jawaban kuesioner yang diisi guru dan orangtua. “sudah bisa calistung” adalah alasan guru dan orangtua dalam menilai kesiapan untuk masuk SD.

Hasil sebaliknya diperoleh oleh TK B. TK ini memang mengusung konsep yang khas.  Orangtua yang memasukkan anaknya ke TK ini adalah orangtua yang “idealis”. Banyak diantara anak-anak itu yang kota kelahirannya bukanlah kota yang ada di Indonesia. Mereka lahir di luar negeri saat orangtuanya sekolah di sana…Nah, di TK ini, untuk aspek-aspek kematangan kognitif yang terkait penalaran, hasilnya oke-oke. Namun, jangan minta mereka menulis atau menghafal abjad. Mereka ampun-ampun !!  Rata-rata hanya hafal huruf A sampai E. Usia 7 tahun tampaknya menjadi patokan dari guru dan orangtua untuk mengajarkan hal-hal yang sifatnya “akademik” seperti simbol huruf dan angka. Ini terlihat dari jawaban di kuesioner.

Untuk TK C, ….kemampuan kognitif yang sifatnya nalar, ok. Untuk pengetahuan huruf dan angka, beragam. Maklum, di sekolah ini, bagi siswa yang dirasa sudah mau belajar “baca” dan “hitung”, guru bisa memfasilitasi. Sambil nunggu bel masuk, saat menunggu teman-teman yang lain selesai berkegiatan, guru-guru siap melayani kebutuhan anak-anak yang berteriak; “bu guru, aku pengen belajar baca…”. Maka, di sekolah ini, terlihat pemandangan yang ….. buat saya sih asyik….Kalau istirahat, perpustakaannya yang ada di lantai 2 pasti penuh. Terdengar suara-suara terbata-bata makluk-makhluk mungil itu membaca ensiklopedia bocah muslim lah, membaca buku franklin lah, kadang satu buku dikerubutin 2-3 anak. yang baca satu orang, yang lainnya mendengarkan, karena belum bisa membaca. Ada juga yang “duet” membacanya, saling membetulkan bacaan temannya. Di kuesionernya, guru dan orangtua memberikan penekanan pada “kemandirian” untuk masuk SD.

Untuk TK D, hasilnya memang paling menyedihkan. Usia siswa-siswi di sana rata-rata sudah diatas 7 tahun. Namun, hasil untuk aspek nalar maupun aspek akademis sama kurangnya. Rata-rata belum memiliki kemampuan dasar belajar dan konsep dasar yang baik….Ya, saya membayangkan, bagaimana orangtua mereka punya waktu dan ilmu untuk menstimulasi? lha wong kadang guru harus jemput ke rumah mereka, karena sudah seminggu mereka tidak masuk sekolah…mendapat data tahun kelahiran saja relatif susah, karena para orangtua tidak tahu…

Kalau dilihat dari hasil di atas, memang ada hal yang “nyambung” antara karakteristik sekolah dan karakteristik orangtua.

TK A, adalah mungkin representasi kebanyakan TK sekarang ini. Dimana bagi orangtua,  tujuan akhir TK adalah bisa “calistung” untuk diterima di SD favorit yang memberlakukan seleksi calistung. JAdi, TK ini semacam bimbel menuju UMPTN gituh. Yang penting masuk…Soal bagaimana nanti 6 tahun menjalani sekolah SD, tidak menjadi perhatian…Soal nanti kelas 4 materi pelajaran memerlukan analisa dan fondasi nalar yang kokoh, meneketehe….

TK B, adalah representasi “protes” masyarakat terhadap beratnya tuntutan terhadap anak. Oke sih…tapi kalau pendapat saya sendiri, asa sayang ya…. si otak itu….kecerdasan itu…apa salahnya mengajarkan simbol huruf pada anak-anak…mungkin ada diantara anak-anak itu yang merasa ingin bisa membaca sendiri, merasa senang kalau bisa mengetikkan kata saat googling untuk mencari gambar superhero favorit mereka di ipad ayah-ibunya…merasa bahagia bisa menulis “selamat hari  ibu” di kartu ucapan untuk ibunya….

TK C, ini adalah TK yang paling asyik menurut saya. Tetap memegang konsep dasar TK sebagai lembaga prasekolah yang mematangkan emosi sosial anak, namun untuk anak-anak tertentu yang berkemampuan dan berkemauan, mereka fasilitasi juga. Tak heran kalau setiap kali pentas seni, di TK ini  yang sudah bisa baca menjadi pembawa acara…yang sudah bisa membaca Qur’an, tilawah pembuka… yang belum bisa baca Qur’an, tampil hafalan surat pendek. Yang belum bisa baca tapi peka terhadap tempo, bermain drumband. ….

TK D, ini yang sering kita lupakan…Perlu bantuan para relawan di bidang pendidikan anak untuk membantu menstimulasi anak-anak ini, agar daya nalar dan kemampuan akademik  mereka berkembanng, agar mereka tidak jadi korban “standar minimal Ujian Nasional”

semoga kita selalu diberikan anugerah kemauan dan ilmu untuk membantu mencerdaskan anak-anak bangsa ini…

1+1=1, 1+0=0

Tepat ketika kami -saya dan mas- sedang mencari-cari hotel pinggir pantai untuk merayakan ulangtahun pernikahan kami yang ke-10 weekend minggu depan di internet, seorang teman datang berkunjung. Dia mengundang kami untuk hadir di pernikahannya.

Harusnya kami bahagia. Tapi tidak…kami tidak bahagia. Malah kami shock. Itu karena, teman yang kami kenal adalah seorang ibu dari 3 anak…istri teman kami juga…. Menikah? berarti…..
Ya, mengalirlah cerita …. ternyata mereka sudah bercerai beberapa bulan lalu.. bla..bla..bla…

Sejak kedatangannya, saya masih tidak percaya. Dan perceraian mereka, masih menjadi topik pembicaraan saya dan mas setiap hari sejak itu. Tentu bukan kisah mereka-nya, tapi refleksinya untuk keluarga kami. sampai sekarang saya masih merinding.

Kenapa? karena … meskipun setiap hari kita disuguhi berita mengenai perceraian artis ini-itu, namun pengalaman itu sangat berbeda dengan apa yang kami hadapi kini.

Teman kami itu, saya merayakan ulangtahun di tahun yang sama dengannya. Kami merayakan ulangtahun pernikahan di tahun yang sama dengan mereka. Azka dan Umar merayakan ulangtahun di hari yang sama dengan anak pertama dan kedua mereka.

“Dunia” mereka begitu amat dekatnya dengan kami. Maka, kalau hal itu bisa terjadi pada mereka, hal itu berarti bisa juga terjadi pada kami. Itu yang membuat isi pikiran saya, warna emosi saya, dipenuhi oleh hal itu…..
Seperti kata mas, “walaupun saat ini kita merasa hubungan kita sedang oke-okenya, kit atidak boleh lengah…”

Ya, memang belajar dari apa yang terjadi dari pernikahan2 di sekeliling kami, baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil, kami berusaha memperkokoh pernikahan kami. Untuk saat ini, tidak terbayang apa yang bisa merapuhkan ikatan itu.

Saya hanya berdoa, semoga … kami berdua, KAMI BERDUA….selalu diberikan kesadaraan untuk menjaga komitmen itu. Komitmen 10 tahun lalu, yang kami ingat setiap harinya.

Karena seperti kata konselor pernikahan yang sudah puluhan tahun membantu ribuan pasangan itu, keluarga hanya bisa utuh, kokoh dan kuat jika DUA BELAH PIHAK mau mempertahankannya, dengan kesadaran dan komitmen yang utuh. Jika hanya SALAH SATU yang mau komitmen, TIDAK BISA….

Amiiin….semoga ya Allah…please….