Tiga Perceraian

Saya bukan orang yang anti perceraian. Bagaimana mungkin saya anti perceraian; padahal saya sangat yakin, bahwa – bila Allah mensyariatkan sesuatu, tentu ada kebaikan di dalamnya- termasuk dalam perceraian. Meskipun keterangan dalam HR.Abu Daud,2178, Ibnu Majah, 2018 dan Al-Hakim, 2/196 ) menyatakan bahwa “ Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah talak (Perceraian)”; yang menurut saya, maknanya adalah  pasangan harus berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan pernikahan mereka membawa “kebaikan yang lebih banyak” dibandingkan dengan perceraian. Tapi….sekali lagi….kalau sudah tak tersisa lagi kebaikan dalam sebuah pernikahan, maka perceraian adalah jalan yang HALAL.

Apakah perceraian selalu bermuara pada dampak negatif? terutama pada anak (jika pasangan sudah memiliki anak)?. Kalau jawaban saya “ya”, berarti saya tak pernah baca buku atau jurnal mengenai perceraian. Karena riset-riset terbaru menunjukkan, bukan perceraiannya yang membuat anak bisa memperoleh dampak negatif. Tapi, PERCERAIAN YANG BAGAIMANA?

Berhubung saya pribadi tak menutup kemungkinan dari keputusan “bercerai” -semoga Allah menjauhkan dan menganugerahkan barokah pada keluarga kami-; maka saya banyak belajar dari teman-teman saya yang memutuskan untuk bercerai. Berikut ada 3 kisahnya.

Sebut saja namanya Mawar. Cantik,  berpendidikan tinggi. Namun ia tak beruntung. 10 tahun menikah, suaminya tak pernah menghargai dia. Abuse fisik dan psikologis ia terima bertahun-tahun. Luka fisik hilang bekasnya dalam 1 sampai 2 bulan. Namun luka psikologisnya…… Bertahun-tahun kepercayaan dirinya semakin berkurang…semakin menciut. Di luar, orang melihatnya cantik,  berpendidikan tinggi. Di dalam, ia merasa amat sangat jelek, tak punya apa-apa, amat sangat bodoh. Penghinaan-penghinaan suaminya sukses membuatnya merasa menjadi “noone”. Ia tumbuh menjadi pribadi yang rapuh, ibu yang rapuh, yang “depresi” dan menularkan ke”depresi”annya pada anak-anak. Perlu bertahun-tahun untuk membuatnya memutuskan bercerai dan meyakinkan dirinya bahwa “lebih baik anak-anakku tak memiliki figur ayah dibanding dengan memiliki figur ayah yang tidak baik”. Keputusan telah diambil. Berat memang, namun ia merasa bahwa tak ada kebaikan lagi dalam rumahtangganya. Suami dan ayah yang tak pernah menghargai istri dan anak, komunikasi yang hangat tak pernah tercipta…..”kalau gue cerai, minimal ada kemungkinan anak-anak gue dapet ayah yang lebih baik” katanya. Dan inilah dia. Setahun kemudian. Perlahan, kepercayaan dirinya bangkit kembali seiring dengan penghargaan dari lingkungan. Penghargaan yang memang seharusnya ia dapatkan karena kecemerlangannya. Ia tumbuh menjadi ibu yang kuat. Kesadaran bahwa keputusan bercerai yang ia ambil adalah untuk memberikan “kebaikan” pada anak-anaknya, membuatnya tak pernah kehabisan energi, meski ia seorang single parent. Ia  mulai dari nol bekerja, mengantar anak-anaknya sekolah, meluangkan waktu bersama….Seiring waktu, aura bahagia mulai memancar dari ibu dan dua anak itu saat saya bertemu mereka. Karena keputusan diambil dengan pertimbangan yang jernih, maka ia jelaskan keputusannya pada anak-anak. Ia beri kesempatan anak-anaknya bertemu ayahnya. “Ibu dan ayah berpisah karena kami tak bisa saling membahagiakan. Ayah berpisah dari ibu, tapi ayah tidak berpisah dari kalian” katanya pada anak-anaknya setiap kali mengantar mereka untuk bertemu ayahnya.

Sebut saja namanya Melati. Ia memutuskan berpisah karena merasa suaminya tak adil terhadap dirinya. Karena profesinya, suaminya harus bekerja di luar negeri. Pulang sekian bulan sekali. Maka ia pun mencari hobi …. hobi yang semakin lama dirasa sangat mengasyikkan. Melakukan hobi yang kini menjadi sumber penghasilan untuknya, jauh lebih menyenangkan dibandingkan tinggal di rumah mengasuh anak-anaknya. Sekian tahun, sang suami protes. Menginginkan ia tinggal di rumah dan lebih memperhatikan anak-anak. Ia tak terima. Mengapa suaminya boleh kerja sementara ia tak boleh? Cerai. Akhirnya itu keputusan yang mereka ambil. Ia tak pernah menjelaskan pada ketiga puterinya mengapa “ibu dan ayah” gak pernah di rumah dan  ngobrol barengan lagi. Permintaan puterinya yang berusia 8 tahun untuk “aku mau ibu, ayah, aku dan adik-adik ngobrol bareng kayak dulu. aku pengen tau, aku ini anak broken home ya? ” tak dipedulikannya. Neneknya, yang kini mengasuhnya berupaya memberikan penjelasan kalau “ibu dan ayah suka berantem terus, jadi harus berpisah”. Penjelasan yang tampaknya tak memuaskan baginya, karena ia masih bertanya “kenapa ibu dan ayah engga baikan biar aku bisa tetep tinggal bareng ibu dan ayah?  kalau aku sama adek berantem kan disuruh baikan….”

Sebutlah namanya Kenanga. Kebahagiaan dalam pernikahan tak berpihak padanya. Segera setelah hasil USG menunjukkan bahwa anak yang dikandungnya adalah perempuan, bukan laki-laki; saat itu juga keluarga si suami menginstruksikan si suami untuk menceraikannya. Tragis dan aneh memang rasanya. Tapi itu nyata. Harta, tetap ia dapatkan. Rumah bertingkat, mobil dan beragam fasilitas untuk menunjang tumbuh kembang si anak, tetap ia terima meskipun telah “diceraikan”. Diceraikan karena tak bisa memberikan anak laki-laki ! sesuatu yang berada di luar kontrolnya. Ia selalu tampil dengan senyum manisnya saat berinteraksi dengan orang lain. Namun tanpa ia sadari, ia merasakan setitik kebahagiaan saat si anak  membanting pintu dan tidak mau ditemui ketika si ayah datang mengunjungi. Ia membiarkan ketika dalam gambar keluarga, si anak  tak menggambar ayahnya. Hanya ibu dan dirinya yang ia gambar. Ia merasa puas ketika suatu saat, si anak menggambar  sosok ayah dalam gambar keluarga, namun dengan ukuran yang amat kecil  dan lalu dicorat-coret.

Tanpa menggunakan mikroskop pun, dengan mata telanjang, kita tahu ….. mana perceraian yang membawa kebaikan dan mana perceraian yang membawa keburukan. Mungkin saat ini, ada sebagian istri yang tengah dilanda konflik  karena “sakinah mawaddah wa rohmah” tampak kecil kemungkinannya untuk diwujudkan dengan suaminya saat ini. Mungkin ilustrasi di atas bisa membantu. Untuk saya sendiri, saya memiliki keyakinan bahwa indikator suatu perceraian itu membawa kebaikan, adalah apabila ibu merasa mendapatkan kekuatan untuk berjuang, mendapatkan energi yang tak habisnya untuk memberikan yang terbaik pada anak – sehingga mau bersikap dewasa berkompromi dengan mantan suami menjelaskan dengan cara yang baik pada anak-anaknya-  apabila ibu merasa menjadi “someone” dan “hidup”, meski secara fisik lelah karena harus mencari nafkah…seperti Mawar. Dan untuk Mawar-Mawar  ini, saya doakan semoga mendapatkan pasangan hidup yang jauuuuuuuh lebih baik.

Semoga andaikan skenario bercerai amat sangat terpaksa terjadi pada kita, kita tak seperti Melati-yang tampaknya kurang peduli pada anak; apalagi seperti  Kenanga-yang menggunakan anak sebagai “instrumen” penyalur kebencian pada suami ….

 Robbana hablana min azwajina wa zurriyyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil-muttaqina imama –
” Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenag hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa “.  

(QS; 25 AL-FURQON; ayat 74 ).

7 Comments (+add yours?)

  1. jhon jaction
    Jun 13, 2012 @ 13:41:51

    askm mba fitri, blog nya bagus dan inspiratif. saya mau nanya pendapat mba fitri dalam kasus teman saya. teman saya baru setahun menikah, namun selama setahun itu mereka hampir tidak merasa bahagia. konflik setiap hari dan semakin hari semakin meruncing. masalah semakin menjadi karena ternyata sudah setahun mereka masih belum bisa coitus. jadi sampe sekarang blm mereka blm memiliki anak (org blm bisa masukin..heheh)

    baru-baru ini mereka sudah mulai sepakat unk berpisah. tp sebelum berpisah mereka ingin meminta pendapat org-org yang mereka anggap bijak. saya salah satunya (heheheh…..). tp terus terang saya bingug unk memberikan mana kputusan yang terbaik unk mereka. saya merasa mereka berdua adalah org baik-baik yang bahkan lebh mengerti agama dibanding saya. karna mereka berdua adalah teman smu saya. saya kenal cukup dekat dengan mereka.dan karenanya tak sedikitpun terlintas org seperti mereka akan bercerai. saya ingin mereka ttp bersatu

    saya lalu berinisiatif unk meneliti apa sesungguhnya masalah mereka. dan saya dapati ternyata memang cukup pelik masalahnya.

    masalah mereka adalah bahwa sebelum mereka manikah, mantan pacar si istri memfitnah bahwa dia pernah berzina dengan si istri dan memberikan bukti foto agak fulgar (hanya terlihat bra saja) kapada si suami. sontak si suami tidak percaya krn si istri tak memiliki tampang bejat sperti itu (berjilbab lho si istri). akhirnya si suami malah mengabaikan fitnah tersebut dan sejurus kemudian menikahi si istri…

    namun cerita blm selesai, si suami ternyata tidak tenang dengan foto fulgar tsb. akhirnya dia menyelidiki kebenaran foto tsb dan menemukan bahwa foto tersebut benar adalah si istri di hotel dengan mantannya.

    si istri akhirnya bercerita tentang kejadian di hotel tsb. bahwa pada saat ini kemaleman dan si mantan pacar ngajak unk nginep di hotel. dengan sedikit terpaksa si istri mau. di ranjang, mereka tidak melakukan hubungan mesum. lalu sampailah pagi. lalu tiba2 si mantan mau memfoto si istri dengan tanpa baju. dengan alasan nanti fotonya akan dihapus dan si mantan juga ingin menikahi si istri. tanpa berpikir panjang si istri bersedia walaupun dengan berat hati (menurut pengauan si istri sih).setelah beberapa kali pose, si istri ngambek dan keluar hotel sendirian…

    ok balik ke masa kini..

    setelh dapet penjelasan dari si istri, si suami langsung ngajak si istri unk visum dan terbukti bahwa si istri masih perawan. tp si suami ttp sulit melupakan kejadian itu sampe sekrang. si suami terus meminta bukti bahwa si istri pada saat kejadian itu pada ngambek dan tidak saling suka. naaaah, tiap hari si suami minta bukti terus dan si istri merasa terpojok tiap hari…

    begitulah ceritanya….

    saya minta pendapat mba fitri, apa keputusan yang terbaik unk mereka? apakah cerai? atau tidak? saya kasian melihat mereka berdua, si suami tampaknya menderita karena sulit melupakan foto fulgar istrinya, si istri juga sangat menderita selalu dipojokkan olh si suami….apalagi sekrang sudah setahun tp mereka blm juga bisa masukin….

  2. fitriariyanti
    Jun 14, 2012 @ 18:05:35

    Dear Jhon…keputusan apakah akan bercerai atau melanjutkan pernikahan memang adalah keputusan mereka berdua yang akan menjalaninya. Adapun pendapat saya; mereka tengah mengalami permasalahan “psikoseksual”. Ada masalah psikologis yang mempengaruhi hubungan seksual mereka. Oleh karena itu, masalah psikologisnya yang harus diselesaikan dulu andaikata mereka ingin melanjutkan pernikahan.

    Kepada mereka berdua dapat disarankan langkah-langkah sebagai berikut:
    (1) minta mereka merenungkan kembali, dari lubuk hati paling dalam mereka apakah ingin lanjut atau bercerai saja.
    (2) apabila ada keinginan untuk melanjutkan pernikahan, maka si suami harus berupaya untuk memaafkan perilaku si istri di masa lalu. Yang saya tangkap, walaupun hasil visum menunjukkan si istri masih perawan artiya tidak terjadi perzinahan, namun mungkin si suami belum bisa menerima perilaku si istri yang mau diajak ke hotel, difoto dlsb. si suami bisa melihat apakah potensi kebaikan si istri jauh lebih besar atau tidak dari perilaku si istri saat ini, mengingat kekhilafan bisa terjadi pada siapa saja. Saya yakin, apabila si suami sudah bisa memaafkan perilaku si istri, maka ia tak akan mengungkit-ungkit apalagi memojokkan. Untuk istri, jika peristiwa itu adalah memang kekhilafan, mohon maaf dengan tulus pada suami. Tunjukkan perilaku menyesal dan berubah dengan sungguh-sungguh.
    (3)apabila proses memaafkan tidak bisa dilakukan, maka memang mungkin berpisah adalah lebih baik, karena akan sulit membangun rumah tangga tanpa ada rasa kepercayaan pada pasangan.

    kalau masalah psikologisnya sudah selesai, insya allah hubungan seksual mereka akan berjalan lancar, karena hubungan seksual merupakan representasi dari hubungan psikologis suami-istri.

    semoga membantu ya…

  3. jhon jaction
    Jun 16, 2012 @ 07:34:12

    waah, makasih mba reply nya…saya langsung forward ke mereka..semoga saja mereka ttp bisa bersatu..

  4. fitriariyanti
    Jun 20, 2012 @ 08:27:32

    Ya, saya ikut mendoakan semoga Allah menunjukkan jalan yang membawa kebaikan lebih banyak untuk mereka. Apabila mereka memutuskan untuk bersatu kembali; istri meminta maaf dengan tulus dan suami memaafkan dengan tulus juga…insya allah mereka akan punya bekal untuk menjalani pernikahan yang kuat. Karena mohon maaf dan memaafkan adalah bagian penting dari “marriage resilience”….salam saya untuk mereka…

  5. tharyz
    Feb 06, 2014 @ 21:08:53

    dear mba fitri..
    Assalamu’alaikum

    Sebelumnya ijinkan saya mengapresiasi apa yang sudah mba fitri tulis dalam blog ini.. MasyaAlloh saya bacanya bergetar 🙂 rasanya mugkin agak berlebihan, tapi bagi saya yang saat ini sedang menjalani proses perceraian kisah-kisah yang mba fitri ceritakan sungguh menggetarkan hati.. Saya berusia 26 tahun, setelah menikah di tahun 2011, pada bulan november 2012 kami bercerai secara agama dan hingga saat ini masih berproses dalam perceraian secara hukum..

    saya mengalami sendiri bagaiamana sakit dan luka itu, merasakan jatuhnya, dan sebegitu luar biasa guncanganya.. satu tahun berlalu dengan terseok-seok tetapi Ahamdulillah Alloh menguatkan saya, dan saya pun perlahan-lahan mulai bangkit..

    Dari sepanjang perjalanan yang saya alami dan bagaimana menjalani hari-hari setahun lalu hingga kini, saya yang perlahan mulai bangkit kembali berpikir rasanya ingin sekali memiliki sebuah komunitas yang beranggotakan muslimah-muslimah dengan latar belakang perceraian. Visinya sederhana bagaimana mereka yang terjatuh karena perceraian bisa bangkit perlahan bersama Alloh, dan semakin mendekatkan diri pada Alloh.. karena saya yakin bahwa hanya Alloh yang mampu membangkitkan, menyembuhkan luka, dan pada akhirnya akan semakin membuat kta berkualitas, tidak hanya di mata masyarakat tetapi juga di mata Alloh..
    Sedih rasanya ketika saya melihat muslimah yang ditimpa ujian dengan perceraian justru semakin menjauh dr Alloh, mengutuk takdir, hingga menganggap Alloh tak adil dan tak sayang padanya..Astagfirulloh.. sebut saja seperti membuka jilbabnya, minum-minuman keras atau bergaul dengan lingkungan yang justru menyesatkannya.

    Dengan visi komunitas yang sebelumnya telah saya jelaskan tersebut, saya berencana untuk mengadakan pertemuan dengan agenda-agenda yang positif dari sekedar hanya acara santai seperti minum teh bersama lalu sharing-sahing, sesekali kegiatan sosial, kajian muslimah terkait masalah yang sedang dihadapi, outbond, dll. Tujuannya agar para muslimah tersebut memiliki wadah yang positif sehingga pada akhirnya akan mempermudah proses healing dan mereka akan siap terbang dengan sayap yang lebih kuat lagi dengan Alloh yang semakin dekat di hati..

    Hehe maaf ya mba jadi panjang lebar, saya hanya sedang kesulitan bagaimana menemukan muslimah-muslimah rapuh atau yang sudah mulai menguat di luar sana untuk bisa saling berbagi dan menguatkan dalam sebuah wadah komunitas.. Setelah membaca blog mba fitri, sepertinya mba fitri memiliki banyak kenalan dengan background yang sama seperti saya yakni perceraian.. Mohon masukan dan arahannya ya mba.. Jazakillah 🙂

    Wassalamu’alaykum

  6. citra setia
    Jul 06, 2014 @ 12:10:59

    dear mba fitri,kebetulan saya menemukan blog mba ini di tengah kekalutan menghadapi perpisahan,saya perempuan 32th dengan satu org putri 3th,saya menikah desember 2009 dan setelah idulfitri ini suami akan menggugat cerai saya,permasalahnya adalah saya sdh tidak jujur dng suami dia tdk merasa cocok dng keluarga saya,singkatnya suami sangat berorientasi dengan investasi,jd sebisa mungkin uang lari ke investasi dia tdk mau tahu brp y saya keluarkan tiap bulan u kebutuhan rumah tangga,saya ketar2 tiap bulan mengatur keuangan krn pengeluaran slalu lbh besar dr pendapatan saya berusaha menutupi dengan hutang sana sini gali lobang tutup lobang,bahkan yg terparah saya prnh smpai menggelapkan uang perusahan akhirnya saya di keluarkan sth mengganti kehilangan,saya juga tulang punggung keluarga,saya tdk smpai hati jk org tua perlu bantuan keuangan saya tdk membantu akhir nya suami tahu hal ini dan berniat untuk berpisah,saya krn dia merasa sdh saya permalukan,alasan saya slalu tertutup krn ingin di anggap mampu oleh suami,ingin mendapatkan sedikit pujian krn suami slm menikah tdk pernah memuji bahkan jk marah suami tdk segan u menegor saya depan ibunya kami msh tinggal dengan mertua .apa yg harus saya lakukan mba? saya masih ingin mempertahankan rumah tangga krn anak,tp sepertinya suami tdk mau dia berucap ke ibunya klo malu beristrikan saya, saat ini saya hanya mendekatkan diri pada Allah SWT,tolong berikan saya petunjuk mba apakah mmg krn hal ini suami berhak menceraikan saya?

  7. Chrisna
    Sep 21, 2016 @ 12:40:00

    Saya wanita 36th Augustus kmrn menjadi thn ke 9 perkawinan sy,tp jg sekaligus bln2 terberat…sy mengetahui suami sya berselingkuh dng wanita yg jg mengenal sya,mereka membohongi sya mentah2 dan Berzina selama bulan puasa pdhal wanita itu jg sudah berkeluarga dng 3org anak….Astgfillah mba dunia seakan runtuh menimpa sya. Sya mencari kekuatan untuk memutuskan bercerai,sya punya 2 org anak laki2,smua sy serahkan kepada Allah…smoga Allah melapang kan dan memudahkan klo memang bercerai adalah jln yg terbaik. Amin

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: