Sebagian besar anak-anak SD dibagi raport hari Sabtu lalu. Tak heran kalau topik soal “raport” ini menjadi perbincangan hangat orangtua (terutama para ibu) di hari Sabtu dan Minggu kemarin, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Ada yang bersyukur atas hasil raport yang memuaskan dari putera/puterinya, ada yang mensupport proses belajar putera/puterinya meskipun nilai raportnya belum “memuaskan”….
Salah satu subtopik yang menarik, yang disampaikan oleh orangtua adalah mengenai ketatnya tingkat persaingan anak-anak sekarang. Selain seorang ibu di status facebooknya, kemarin saya ngobrol dengan tetangga yang “mengeluh”….”anak gue kan rata-ratanya 8,9 di raport….tapi itu renkingnya 11 dari 19….stress gw…itu renking 1 nya nilainya berapa ya?”….Anak tetangga saya ini sekolah di sekolah internasional. Lalu sorenya, ketika kami berkunjung ke rumah teman mas, beliau juga “mengeluhkan” hal yang sama…..”anak saya tuh nilainya delapan sama sembilan, cuman satu matematika yang tujuh, tapi renkingnya kok pertengahan bawah..dua puluhan…gila ya…padahal anak saya sekolahnya di SD negeri…”
Yups…yups…memang begitulah…iseng-iseng pagi ini saya hitung rata-rata nilai Azka, 93,9. Azka peringkat 3 di kelasnya. Dan, rata-rata kelasnya adalah….89,9 !! berarti, sebagian besar siswa di kelas Azka nilainya mendekati 90an!…kalau kita gunakan norma kelompok, stress gak sih ortu yang anaknya yang peringkat ke 23 dari 23? pasti kan nilainya 8 smua tuh…Padahal, KKMnya cuman 75 dan khusus untuk matematika, 70.
Saya jadi inget … saat ,membantu mengisi parenting di sebuah preschool internasional yang ortunya berasal dari kalangan sosek ataaaaaas banget;), seorang guru meminta saya “mengingatkan” seorang ibu yang menurutnya terlalu mem-push anaknya yang masih berusia 3,5 tahun dengan 8 jenis les sepulang sekolah…sampai menurut guru, anak itu menjadi kurang spontan, takut salah…gak pede…karena selalu “not good enough” bagi mami-nya. Saat saya bertemu si ibu, si ibu langsung berkata kurang lebih; “mungkin menurut ibu saya terlalu mempush anak saya…tapi gimana lagi bu…nanti TKnya, mau saya masukin ke TK ***. Disana untuk masuknya dites bahasa inggris sama mandarin bu…terus kalau saya lihat, di tempat lesnya itu, anak-anak seumur dia emang udah lancar baca, udah penjumlahan yang banyak…jadi wajar kan kalau saya menuntut anak saya juga gitu…temen2nya dia aja udah gitu…dan engga cuman saya aja…ibu-ibu yang lain juga gituh…terus tempat lesnya juga ngajarinnya gitu….jadi saya pikir..ya emang jamannya sekarang udah gitu….
Yups…kalau kita ngikutin arus “ortu lain”, “sekolah ini….”, “tempat les itu…”…memang kayaknya anak kita tertinggaaaaaal banget (ups…anak saya deng;) hehe…..Situasi “ketatnya persaingan “ini sedikit banyak membuat kita para ortu cemas…bagaimana nasib anak-anak kita di masa depan. Wajar sih…wajaaaar banget….Yang gak boleh adalah “terhanyut” dalam kecemasan itu, tak punya pegangan….dan …menularkan kecemasan itu pada anak-anak kita.
Kalau boleh share, berikut adalah cara-cara saya untuk tak terhanyut dalam “kecemasan” menghadapi “arus deras” dan zaman yang “bergegas” menjejalkan segala sesuatu pada anak-anak….
(1) Saya selalu ingat sebuah uraian dari buku yang saya baca: “education is not a race”. Anak yang bisa ini-itu di usia amat muda, tak akan menjadi lebih baik dibanding anak yang menguasai ini-itu tersebut pada waktunya. Menurut penghayatan saya, pendidikan anak itu kalau diibaratkan lomba lari, adalah lari marathon. Bukan sprint. Sprint memerlukan kecepatan, marathon memerlukan endurance.
(2) Setiap kali tergoda untuk mengikutkan anak pada suatu kegiatan, saya “menutup mata sejenak, merenung” dan bertanya…”untuk apa?”. Ini sih diajarin si abah. Waktu saya tergoda untuk mengikutkan anak-anak les biola dan les piano, si abah ngetawain…”buat apa de? lha wong di rumah kita gak ada alat musik satu pun…gak ada juga yang bakat seni selain om-om nya yang ngedrum di band SMA…”. Atau, ketika saya tergoda kepikiran mau masukin Azka ke tempat les Inggris yang keren dengan native speaker (yang tentu saja mahal), si abah mengingatkan: “kita kan gak ada rencana nyekolahin anak ke luar negeri sampai S1…nanti aja kalau dia udah ngerasa perlu….”
(3) Berpikir radikal tentang “ultimate goal” dari stimulasi yang kita berikan pada anak-anak kita. Buat apa anak bisa baca sedini mungkin? biar wawasannya luas? berarti harus diimbangi oleh stimulasi agar anak seneng baca dong. Karena bisa baca tanpa seneng baca, sama juga boong. Buat apa anak bisa ngitung cepet? Agar anak punya logika berpikir yang oke kan? berarti harus diiringi oleh stimulasi yang memberikan kesempatan anak untuk mengaplikasikan kemampuan berhitung cepatnya untuk menyelesaikan persoalan di kehidupan sehari-hari dong. Karena tanpa itu, keterampilan berhitung akan jadi mubadzir. Buat apa anak bisa cas cis cus bahasa inggris atau mandarin? kalau hanya praktek 3x satu jam dalam seminggu, akan lupa lagi kalau tidak dibantu oleh kesempatan untuk mempraktekkan bahasa itu baik di rumah atau di lingkungan.
(4) Kalau kita sudah menghayati dan memegang erat value kita dalam mengarahkan pendidikan anak, maka pilihlah sekolah atau lembaga pendidikan tambahan yang sesuai dengan value kita. Kalau kita ingin menstimulasi kreativitas anak kita, ya jangan masukin ke tempat les gambar yang mekemnkan pada teknik persfektif 3 dimensi meskipun si perkembangan persfektif anak belum nyampe sana. Pilihlah tempat les gambar yang mengapreasi keberanian anak mencoba bentuk dan warna yang beragam. Kalau mau masukin ke les musik, pilihlah les musik yang tak mendrill anak -baik yang berbakat maupun yang tidak berbakat-untuk menguasai suatu simphoni. Pilihlah les musik yang mengajarkan anak kepekaan terhadap nada, tempo dan irama,dll…
(5) Kita tak pernah tau tantangan yang akan dihadapi anak kita 10,20,30 tahun kedepan. Karena dunia begitu cepat berubah, maka kita tak akan tau persis dunia seperti apa yang akan mereka jalani. Maka, cara ter-aman adalah menyiapkan “senjata” yang serbaguna di setiap “medan” yang akan dijalani oleh anak-anak kita: kepercayaan diri, keberanian mencoba hal baru tanpa takut salah atau gagal, daya juang dan daya tahan yang kuat saat mengalami hambatan, dan …kesediaan untuk caring dan sharing. Kalau kita menyiapkan hal itu, maka….walaupun anak kita gak pinter-pinter amat, dia akan punya daya juang untuk menjadi pinter…kalau anak kita gak hebat-hebat amat, dia akan mencoba beragam cara yang berbeda agar tak kalah hebat dengan yang sudah ada.
Satu catatan penting dalam situasi arus persaingan yang amat sangat ketat ini adalah: jangan berikan penghargaan pada anak kita dengan standar norma kelompok. Berikan penghargaan apabila ia menunjukkan kemajuan. Jangan mengulangi kesalahan yang saya lakukan. Sebelumnya, saya menjanjikan hadiah bagi Azka kalau “renkingnya” naik. Dan…baik ibu maupun Azka kecewa. Karena renking Azka menurun terus….padahal…nilainya mah naik. Sampai semester lalu si ibu insyaf;) saya janjikan hadiah apabila nilainya naik….tak peduli ia berada di peringkat berapa. Tampaknya itu jauh lebih fair…karena kita menghargai proses yang dilakukan oleh anak kita…
Rabbi…Habli….Minashsholihiiin….
Recent Comments