Mari Kita Tetap Bahagia Meski Bukan Adam-Hawa

Konon katanya, orang yang paling bahagia di bumi ini adalah Nabi Adam dan Siti Hawa. Kenapa? Karena mereka gak punya mertua haha…

Joke itu menunjukkan bahwa….seringkali, hubungan antara menantu dan mertua tak terjalin dengan baik. Bahkan tak jarang mertua, menjadi sumber konflik antara pasangan suami istri. Biasanya sih antara menantu perempuan dan mertua perempuan….meskipun tak jarang juga konflik antara menantu laki-laki dan mertu perempuan, atau sebaliknya.

Dan ternyata, itu tak hanya terjadi di kultur Indonesia saja. Dr. Hans Evert, penggagas teori “couple resilience”, saat memberikan workshop Oktober tahun lalu menceritakan bahwa di kultur negaranya  -Selandia Baru-, ketidakharmonisan hubungan mertua-menantu pun sudah merupakan hal yang umum.

Sebelum menikah, pernah ada seorang teman perempuan yang menceriterakan bahwa beberapa tahun pernikahannya, ia tak pernah berkomunikasi dengan mertuanya. “Gue gak tau harus ngomong apa, beliau juga…jadi kalau ketemu, paling salaman, terus udah itu diem….bahkan kalau kita duduk sebelahan pun, diem aja….”. Si teman saya dan mertuanya memang beda suku dan bahasa.

Waduh, deg-degan juga denger cerita itu. Maklum, hal tersebut juga potensial terjadi pada saya. Waktu sebelum menikah memperkenalkan diri ke Emak dan Bapak calon mertua via surat aja, mas yang translate smua tulisan saya ke bahasa Jawa. Dan pas mas kirim balik surat saya versi bahasa Jawa, ampuuuuun gak ada satu pun kata yang saya mengerti….;)

Alhamdulillah kekhawatiran saya tak terbukti. Begitu bertemu emak dan bapak, terutama emak….mereka menggunakan bahasa Indonesia, meski terpatah-patah. Demikian sampai kurang lebih setahun…..setelah itu, walau tanpa ada persetujuan lisan, akhirnya emak mencampur bahasanya dengan abhasa Jawa, dan akhirnya, bahasa Jawa full kalau bicara dengan saya. Saya juga lebih senang. Gak tega liat emak mikir kalau berkomunikasi pake bahasa Indonesia;)

So, bermodalkan pengetahuan vocabulary bahasa jawa yang kurang lebih 20 kata (haha….) dan mengerahkan kemampuan memahami komunikasi non verbal, komunikasi kami berlangsung lancaaaaar……Emak berbahasa Jawa, saya coba tangkep intinya, dan merespons pake bahasa Indonesia. Amaaan….Kadang-kadang Azka suka tanya kalau saya lagi “ngobrol” sama Emak. “Bu, emang ibu ngerti tadi Yangti ngomong apa?” …… “ hehe….kayaknya sih tadi Yangti ngomongin saudaranya yang sakit…;)”. Tapi sikap “attending” yang diajarkan di mata kuliah konseling itu, amat sangat berguna!!! Buktinya….sampai sekarang emak gak pernah kapok “curhat”  sama saya hehe….

Sunda-Jawa Timur. Beda budaya? Pastinya. Banget. Apakah jadi permasalahan hubungan saya dengan emak? Tidak. 90% karena kontribusi tingkat toleransi Emak yang tinggi terhadap perbedaan yang ditunjukkan satu-satunya mantu dari “Sundo” ini. Walaupun emak “wong ndeso” dan hanya lulusan Sekolah Dasar, tapi emak sudah terbiasa menghadapi dan menghargai perbedaan. Lha wong kalau ketemu, keempat “cah lanang”nya, para master dan doktor di bidangnya masing-masing itu, kerjanya pasti diskusi, berdebat, berargumen tentang segala topik. Poleksosbudhankam ;)…..heboooooh banget….kalah lah…debat capres mah ;). Mbak Lis, satu-satunya anak Emak yang perempuan yang biasanya menutup diskusi itu dengan menengahi…

Terutama kalau ada beda waktu mulai ramadhan dan lebaran…..semalam suntuk bisa terjadi diskusi yang…..tak berujung pada persatuan….Besoknya, di rumah ini ada yang lebaran….ada yang masih puasa…. dan Emak, pasti ikut apa kata Kyai NU meskipun anak-anaknya sudah mempersuasi dengan beragam cara. Astronomi lah, madzhab ini itu lah….Emak dengerin sih…tapi …ya itu tadi…keputusan Emak akan lebaran kapan, tunggu instruksi pak Kyai 😉 Itu yang saya suka dari keluarga ini…. demokratis banget !!!

Obrolan-obrolan dengan mas dan beberapa kali berkunjung ke Kediri, sangat membantu untuk memahami isi pikiran dan perasaan Emak. Sehingga dengan demikian, jauh lebih mudah bagi saya untuk memahami keinginan, pilihan, dan perasaan yang Emak hayati, yang berbeda dengan sudut pandang saya.

Dengan demikian, saya memang harus selalu ber-alhamdulillah mengenai hubungan dengan Emak dan keluarga besar Kediri….

Beberapa kali mendapatkan klien dengan kasus konflik mertua-menantu…mmmhhhmmm…kadang, awalnya adalah masalah sepele, tapi kemudian “merajalela” ke beragam masalah, sampai tak tahu lagi ujung pangkalnya. Berdasarkan pengalaman, biasanya yang menjadi sumber awal permasalahan adalah:

  • mertua belum siap “melepas” anaknya untuk “orang lain” (gue yang susah-susah nyekolahin…eh, begitu lulus langsung nikah….bukannya nyenengin dulu ortu..;)
  • mertua kurang setuju dengan salah satu, salah dua atau salah banyak hal dari menantunya (anak gue segitu kerennya…masa cuman dapetin yang gitu doang? 🙂
  • menantu yang kurang memahami 2 poin di atas 😉

Saya ingin menutup tulisan ini dengan wejangan dari mamah Dedeh;). Kurang lebih begini wejangan beliau:

“Hei para menantu…sadarlah bahwa…kalian, ketemu sama suami kalian itu saat suami udah ganteng, udah bisa cari duit sendiri, nah…yang ngurus dari bayi, dari yang dia belum bisa apa-apa, itu emaknya….”

Karena saya masih sebatas berperan sebagai menantu, maka…saya cuman bisa mengajak teman-teman yang …mungkin, saat ini masih ada yang mengganjal dalam hubungannya dengan mertua…pemahaman terhadap sumber awal yang menjadi konflik dengan mertua, plus wejangan mamah Dedeh di atas bisa membuat kita lebih ringan untuk “mengalah” kalau ada perbedaan antara kita dengan beliau-beliau. Pasti kita mencintai suami kita. dan bagian dari mencintai suami kita  adalah, mencintai orang yang mencintai suami kita…yaitu ibu-ayahnya.

So, yuks…yuks…kita putuskan bahwa, meskipun kita tak sama dengan Nabi Adam dan Siti Hawa karena kita punya mertua, tapi kita akan tetap se-bahagia mereka;)

Tujuh Tahun Tujuh Bulan

Lima  hari setelah peristiwa tsunami Aceh tahun 2006, tepatnya 31 desember 2006. Siang itu mama dan papa dari Purwakarta datang mengunjungi rumah kontrakan kami di Gg. Gemini Sadang Serang. Mereka datang dengan misi khusus mengantar pengasuh Azka pesanan saya dan Mas. Maklum, saat itu saya sudah resmi diterima sebagai CPNS di Psikopad. Meskipun belum ada panggilan untuk bertugas, namun tanpa ada yang mengasuh Azka yang waktu itu berumur 1,5 tahun, rasanya cemas juga, takut kalau2 panggilan untuk bertugas segera datang. Alhamdulillah mama bilang, ada yang mau kerja dari Cikeris, Bojong, salah satu kecamatan di Purwakarta.

Saya masih bisa membayangkan dengan akurat tampilan si pengasuh yang mama bawa. Memakai kerudung putih, berkulit gelap dan canggung. Tak seperti yang saya bayangkan, anak itu kecil banget. Umurnya 13 tahun, baru lulus SD kata mama. “Ema” katanya menyebutkan namanya sambil mencium tangan saya. Saat itu, mas langsung menarik saya ke kamar. “Kecil banget de…bisa apa dia….aku gak tega…masa kita mempekerjakan anak kecil gitu. Pulangin lagi aja. Kita kasih uang aja….”kata mas. “Tapi kan kita butuh mas….lagian, niatin aja bantu ekonomi keluarganya…kan cuman ngasuh Azka aja…..coba dulu lah…nanti kalau emang ga bisa apa-apa, ya kita cari lagi aja…”.

Tak terbayangkan saat itu, kalau sejak perbicangan itu, teh Ema akan bersama dengan kami, dalam jangka waktu yang lama……menemani setiap sejarah hidup yang keluarga kami lalui, sampai dengan 10 Agustus lalu *berkaca-kaca*…

Rasanya baru kemariiiiin….ibu mengajarkan teh Ema segala macem. Caranya nyuci, cara ngejemur, cara nyetrika, cara nyapu, cara gendong Azka, nyuapin, bacain buku…masak….dari mulai ngajarin nama-nama bumbu, sampai kemaren-kemaren, masakan teh Ema, jauuuuh lebih enak dari masakan ibu. “Practice makes perfect” bukan ?

Yups….teh Ema sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Bukan basa-basi. Ia memang bukan pengasuh biasa. Meskipun tak pernah mem-psikotes-nya, dari observasi ibu yakin IQnya di taraf rata-rata atau rata-rata atas. Ditambah informasi bahwa selama SD dia juara satu terus, pantaslah kalau kemampuan problem solvingnya, untuk masalah yang praktis di lingkup tugasnya…oke banget. Misalnya, sekali aja diajarin, teh Ema tau prosedur kalau anak-anak anget. Ukur pake termometer, suhu berapa harus dikompres, suhu berapa harus dikasih obat…..

Dia bener2 jadi manajer rumah tangga kami untuk urusan teknis. Selama teh Ema ada, urusan pesan dan pasang galon, gas, pulsa listrik, ibu gak pernah pegang. Kalaupun ibu lupa gak ninggalin uang, paling pas gajian teh Ema nyodorin catetan berapa banyak uangnya yang kepake. Teh Ema juga supel. Jauh lebih supel daripada ibu. Tak heran kalau beberapa kali ada yang nganter undangan pernikahan atau khitanan warga luar komplek, dan undangan itu ditujukan untuk …Ema, bukan untuk Pak Basuki ;).

Pokoknya, hidup ibu rasanya nyaman dan sentosa saat ada teh Ema. Kalau kurang apa-apa, wussss….teh Ema melaju dengan motornya. Itu teh motor yang dibeliin si abah buat ibu. Tapi sejak latihan ibu jatoh dan gak mau coba lagi, secara tak tertulis motor itu jadi milik teh Ema hehe…. Kalau jadwal antar-jemput Umar/Azka bentrok, maka teh Ema pun berfungsi menjadi tukang ojek antar jemput sekolah ;). Ibu pengen beli ini-itu ? tenang….teh Ema punya no hape tukang sate, tukang siomay, tukang baso malang….kalau ibu pengen, ntar teh Ema tinggal sms: “mang, jam berapa kira-kira nyampe selaras alam? Ibu nanti mau beli ya…” 😉

Bantuan terbesar tentunya adalah dalam mengasuh anak-anak. Waktu ibu melahirkan mas Umar,  Azka menunggu di luar kamar bersalin sama teh Ema. Waktu ibu nginep 5 malem melahirkan de Hana, Azka dan Umar di rumah sama teh Ema. Begitu pula waktu ibu melahirkan de Azzam. Tiga kali ke luar kota dan dua kali ke luar negeri, ibu tenaaaaang meninggalkan anak-anak dengan teh Ema. Soal menemani bermain anak-anak…? teh Ema jagonya….main layangan….main bulutangkis, engklek, main boneka tangan….teh Ema mau dan bisa mengkreasikan permainan sama anak-anak. Bahkan, Umar bisa sepeda roda duanya diajarin teh Ema. Kalau anak-anak ulang tahun? Pasti teh Ema pun ngasih kado. Dan seringnya, kado teh Ema yang harganya sepersepuluh kado dari ibu dan abah, jadi favorit anak-anak. Tak heran kalau seringkali Kaka, atau Umar, atau Hana, atau tiga-tiganya, nginep di kamarnya teh Ema.

Yups…..yups…teh Ema memang sudah menjadi bagian keluarga kami. Bahkan, dalam beberapa situasi, ibu kadang merasa….sayang teh Ema sama anak-anak lebih dibanding sayang ibu. Yang nelatenin makan Umar waktu Umar belum mau makan nasi ampe umur 4 tahun, teh Ema. Yang ibu inget banget jasa teh Ema adalah, saat ibu harus bed rest total karena plasenta previa saat hamil Hana. Teh Ema yang “take care of” anak-anak, full…..

Karena itulah….ibu, abah dan anak-anak tak lagi menganggap teh Ema orang lain. Ibu tau, kalau ada Shiren Sungkar berkunjung ke Bandung, pasti teh Ema izin untuk nonton atau temu penggemar. Ibu juga bekalin teh Ema dengan keterampilan menjahit plus dibeliin mesin jahitnya. Kalau pergi2….pasti ibu ajak teh Ema. Bukan karena butuh bantuannya ngasuh anak-anak. Tapi juga merasa wajib mengajak dia sebagai bagian dari anggota keluarga. Maka, di tujuh tahun kebersamaan kami, teh Ema udah pernah nginep di berbagai hotel, mengunjungi dufan, ancol, ciater, cipanas, kediri, pangandaran, dll…..Tiap kita ke bioskop pun, teh Ema selalu ikut. Kalau makan malam kluar , selalu kita ajak teh Ema. Jadi teh Ema udah gak aneh sama steaknya Suis yang jadi favorit kami;). Kalau teh Ema ulangtahun pun, kami siapkan kado kejutan. Terakhir, waktu ia ultah yang ke-20, kami siapkan kue ulangtahun kejutan….;)

Dengan dekatnya hubungan kami, maka tak hanya teh Ema yang suka curhat tentang kakak-kakaknya yang jadi TKI di arab sana, tapi ibu pun sering curhat juga, serta minta pertimbangan berbagai hal sama teh Ema.

Tentu, ada juga masa-masa sulit hubungan ibu dengan teh Ema. Yang sangat ibu ingat adalah 2 tahun yang lalu, saat ibu merasa pusing tujuh keliling menghadapi seringnya konflik antara teh Ema sama Azka. Anak 18 tahun sama anak 7 tahun…..sama-sama sensitif, sama-sama gak mau kalah….aduuuuuh…;( untunglah masa itu terlewati sudah…..

Akhhir tahun lalu, akhirnya teh Ema bilang kalau seminggu setelah lebaran akan menikah dan kembali ke kampung halamannya di Bojong sana. Ia akan menikah dengan pujaan hatinya, om Irfan. Ibu baru ketemu 2 kali sama om Irfan. Tapi Hana, udah sering nelpon. Seperti yang terakhir kalinya, dia bolak-balik jalan sambil ngobrol pake hape teh Ema: “om Ilpan lagi di mana? Haaa? Di kandang ayam? Emangnya om Ilpan sekalang udah belubah jadi ayam ya? Makannya jadi jagung dong….” 😉

Tgl 10 lalu, teh Ema pun pamit. Sedih sih…teh Ema mah udah bercucuran air mata. Ibu juga pengen nagis sih…cuman..biasa…si ibu tea gak selalu bisa berlebai ria…Hana, teriak-teriak sambil nangis….”Teh Ema gak boleh nikah, gak boleh pulang ke Bojong!!”….sampai akhirnya, dia ikut nganterin nemenin pak Ayi sopir kami yang mnegantar teh Ema.

Setelah itu,  tiap hari teh Ema nelpon. “Gak kuat kangen mas Umay, de Hana dan si adik” katanya. Biasanya, kalau teh Ema nelpon, Hana malah nangis…”mau ke teh Ema” dan lalu gak mau terima setiap kali teh Ema telpon…..Seminggu terakhir ini Hana udah gak nangis lagi. Malah dia minta nelpon teh Ema. “Halo, teh Ema…..dede tadi ngamuk loh…” lapornya 3 hari lalu….

Hari Minggu nanti kami akan menghadiri pernikahan teh Ema. Kami sudah menyiapkan kado, yaitu album foto berisi foto-foto teh Ema dengan keluarga kami. Setiap kami foto keluarga di Yonas, teh Ema pasti ikut difoto. Sayangnya, foto keluarga dengan Azzam belum sempat. Sebenarnya, foto-foto anak-anak di hape teh Ema ibu yakin jauuuuuuuh lebih banyak. Lha wong tiap ibu datang dari aktivitas, hampir selalu teh Ema ngeliatin foto anak-anak dengan beragam gaya di hapenya.

Memilih-milih foto yang ada teh Ema-nya….ibu jadi berkaca-kaca….begitu banyak peristiwa yang telah kami lalui bersama. Dari Azka kecil, Umar-Hana kecil, Azzam bayi….

Barakallah teh Ema, terima kasih atas bantuan dan kasih sayang yang teh Ema berikan pada ibu dan anak-anak. Semoga Allah membalasnya dengan barokah untuk keluarga yang akan teh Ema bangun…Amiiiin….

Kita bicara solusi saja yuks….

Terus terang, saya merasa bosan dan tak berminat lagi membicarakan topik “beratnya beban akademis anak SD”.

“Banyak banget pelajarannya”. “Buku pelajarannya bahasanya abstrak banget”. “Gurunya gak bisa ngajarnya” “Banyak topik yang engga penting diajarkan sama anak kelas 1…”.

Dulu saya masih suka ikutan ngobrol. Tapi kemudian, karena rasanya itu tak berujung pada solusi dan tak mengubah keadaan, saya jadi bosan. Mungkin, karena setelah beberapa kali bertemu dengan orang2 diknas dan membicarakan hal ini dengan mereka, lalu saya mengetahui kemana larinya program2 peningkatan skill mengajar guru, menghayati penguasaan guru SD terhadap aspek pedagogis dan penguasaan materi pelajaran….saya merasa….sulit sistemnya untuk dirubah….Maka, mendingan energi untuk mengeluh dan membicangkan masalah ini dikonversi menjadi energi untuk mencari solusi.

Dalam kapasitas sebagai ibu, menurut saya solusinya adalah…mengcover apa2 yang kita rasa kurang itu, dengan upaya yang kita lakukan.

Langkah konkritnya misalnya:

  • Untuk masalah “banyak banget pelajarannya” dan “Banyak topik yang engga penting diajarkan sama anak kelas 1…”. Menurut saya, kita buat saja standar untuk anak kita. Misalnya, yang penting harus dikuasai itu pelajaran x,y,z. Yang lainnya…gak terlalu dikuasai juga gak apa-apa…. Secara praktis, misalnya kita bisa mengarahkan penguasaan anak pada pelajaran yang akan di UANkan. Bahasa Indonesia, IPA, Matematika. Karena tiga pelajaran itu juga melatih logika berpikir dan kepekaan terhadap lingkungan. Boleh lah ditambah lagi beberapa pelajaran yang menurut ayah-ibu penting. Mungkin IPS, PKN, Bahasa Sunda…tapi yang jelas, kalau kita memang merasa tuntutan akademik terhadap anak kita banyak, ya kurangi aja….bikin standar sendiri. Dan jangan bete kalau anak kita gak prima di semua pelajarannya.
  • “Buku pelajarannya abstrak banget”. Daripada ngedumel2 dan gak didenger sama para pengarang buku, saya lebih memilih jalan….ya sudah kita konkritkan aja bahasa2 abstrak di buku itu…saat kita menemani anak belajar. Jangan cuman minta anak untuk menjawab soal “sebutkan contoh kerukunan hidup di sekolahmu”… atau minta anak baca tentang bab kerukunan. Tapi coba anak tanya…kerukunan itu apa sih? Itu konsep abstrak banget buat anak kelas 1, tapi kalau dijelaskan dengan contoh2 sehari-hari, anak akan ngerti. Lebih bagus lagi kalau ibu2 bagi tugas, mengkonkritkan bahasa abstrak dari buku2 SD…lalu kita terbitkan buku pelajaran yang lebih “ramah kognisi anak”….sip bukan? 😉
  • Sekarang ini, banyak ragam macam sekolah. Kalau memang merasa bahwa anak kita terlalu dituntut berlebihan, lebih baik cari sekolah yang orientasinya gak ke akademik. Tapi harus konsisten loh…kalau nanti anaknya gak bisa masuk SMP favorit, jangan gak pede atau defense berlebihan.

Ada solusi lain yang lebih yahud dari para ibu2 binangkit ? monggo…monggooo… hidup SOLUSI !!!

berapa banyak anak? catatan emak “the little four” (part two-end)

…………..

Jadi, berapa banyak anak yang akan dimiliki, menurut saya akan lebih baik jika mempertimbangkan faktor berikut ini.

Faktor ibu:

(1)  Kesiapan psikologis ibu. Ada ibu yang gak pake mikir kalau hamil dan melahirkan, tapi ada ibu yang mengalami pengalaman “traumatis” saat hamil dan melahirkan, lalu belum mau punya anak lagi, pahamilah…..Karena faktor penerimaan ibu terhadap kehamilan dan kelahiran seorang anak adalah komponen dasar ikatan ibu-anak yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya.

(2)  Karekteristik psikologis ibu. Ada ibu-ibu yang bisa tahan mendengar rengekan anak-anak, ada yang gak tahan. Ada yang butuh privasi dan kesendirian, tak suka hingar bingar, ada yang bisa bertoleransi dengan kehebohan anak-anak.

(3)  Kesiapan fisik dan manajemen waktu. Punya anak banyak itu…melelahkan. trus me !!! hehe…oleh karena itu, untuk ibu-ibu yang masih kesulitan mengatur waktu dan kegiatannya, maka fisik dan kemampuan manajemen waktunya mesti diupgrade dulu. Saya baru yakin mengatakan ini setelah mengentahui bahwa, ada seorang ibu yang memang tidak bisa mengurus anak lebih dari 1. Setiap melahirkan anak yang baru, ia kasih anaknya yang lebih tua pada saudara2nya. …..

(4)  Tingkat kesabaran ibu. Untuk ibu-ibu yang mudah tergugah emosinya, maka….punya anak banyak akan jadi stressor yang sangat berat;) karena sebaik2nya anak-anak, ada masa2 dimana mereka membutuhkan limpahan kesabaran yang tak bertepi..

(5)  Ada ibu yang engga pede, takut kalau gak bisa mendidik kalau punya anak banyak. Menurut pengalaman, salah satu yang berpengaruh pada hal ini adalah “standar” yang ditetapkan oleh ibu dalam mendidik anaknya. Misalnya, dulu teman saya stress banget saat suaminya minta ia hamil lagi. Menurutnya, dengan 2 anak sekarang ini, dia gak bisa jadi ibu yang baik, apalagi kalau nambah lagi. Setelah ngobrol2, ternyata teman saya ini punya standar yang tinggi dalam pengasuhan anaknya. Sengaja tak ada TV di rumahnya, karena ia tak ingin media merusak pikiran anak-anaknya. Konsekuensinya, ia banyak meluangkan waktu untuk menemani anaknya bermain dan belajar.  “Saya pengen anak-anak saya bisa ngajinya sama saya”, katanya. Maka, ia pun selalu meluangkan diri untuk mengajar mengaji anak-anaknya. “Kalau ana-anak saya berantem, saya pengen selesaikan dengan tuntas. Pikiran saya harus full untuk mereka”. Begitu katanya. Jujur saja, saya sangat menghargai gagasan dan upaya si ibu itu. Tapi, saya juga pernah menyaksikan ibu yang punya 6 anak. Begitu usia si anak 2 tahun, anak-anaknya dimasukkan di daycare yang fullday. Lalu kalau bepergian, untuk mencegah “kehebohan”, masing2 anak pegang PS. Aman….Dua profil ibu yang berbeda…

(6)  Peran dan kegiatan ibu. Menurut saya, ibu yang aktifitasnya fleksibel, tak terikat secara formal sehingga lebih bisa mengatur energi dan emosi secara lebih bebas, akan lebih mudah ber-anak banyak dibandingkan dengan ibu-ibu yang bekerja di sekotor formal, serta terikat komitmen dengan institusi. Konflik yang muncul akibat peran sebagai ibu dan peran sebagai “pekerja”,  bisa jadi menguras energi dan emosi.

(7)  “Rencana hidup” ibu. Salah satu tugas psikologis dalam perkawinan itu adalah menjaga otonomi diri. Setiap ibu punya rencana dan keinginan di masa depannya. Seperti saya misalnya…saya punya rencaan untuk sekolah lagi. Saya juga punya jenjang karir yang ingin saya raih.

Faktor anak:

(1)  Ada anak-anak yang termasuk “high maintenance”. Rewelan, “tidak mudah dibujuk”, super aktif, susah mandiri,  atau bahkan memiliki kebutuhan khusus, ada anak-anak yang “low maintenance”.

(2)  Kebutuhan fisik dan psikologis dasar anak. Misalnya, kebutuhan anak menyusui selama 2 tahun.

Faktor pendukung:

(1)  Apakah ada pengasuh yang bisa diandalkan, yang punya ikatan kuat untuk kita “delegasikan” pengasuhan sebagian anak kita padanya.

(2)  Apakah si ayah adalah tipe ayah yang merasa harus terlibat pengasuhan anak, atau merasa bahwa ”tugasku mencari uang, tugasmu mengurus anak”. Karena, dukungan dari suami, baik berupa dukungan fisik (bantuan mengajak main anak, “pegang anak”) maupun emosional (bertoleransi terhadap berkurangnya servis sebagai istri), memberikan suntikan energi yang amat besar buat si ibu.

Nah, berdasarkan aspek2 di atas, ibu coba mengevaluasi diri. Menerima Azzam sepenuh hati, iya… susah untuk tak bahagia melihat si gendut berwajah lugu itu…apalagi sekarang udah bisa senyum manis dan ngobrol hakkeng-hakkeng…gak mau dituker ama apapun ! tapi apa yang buat ibu KEWALAHAN dan akibatnya jadi MENYEBALKAN??? Oooh… fisik ibu ternyata letoy. Sekarang hampir gak kuat begadang…Maka, kalau Hana dan Azzam rewel padahal kerjaan belum beres, maka tingkat kesabaran pun menurun drastis. Itu dari faktor ibu. Dari faktor anak??? Ibu merasa ampun2 dengan siblingnya Hana ke Azzam….baik yang indirect maupun yang vulgar…. segala macam teknik dan pendekatan sudah dicoba …tapi tetep aja teguran harus diberikan saat Hana teriak2 bangunin de Azzam yang tidurnya susaaaaah banget dan sensitif kalau denger suara..;( atau saat dia narik Azzam yang lagi dipangku ibu: “De Azzam, gantian dong dipangkunya….sana…sekarang de Azzam dipangku ama teh Ema…sanah!!”. Dan…satu hal yang cukup signifikan setelah kepulangan teh Ema minggu lalu adalah…berkurangnya support external dalam mengasuh anak2. Sekarang gak ada lagi yang bisa mengalihkan perhatian Hana saat lagi rewel, atau bantu bujuk mas Umar saat lagi susah…pfuih…..

Ada satu resource yang bisa ibu berdayakan lebih nih….si abah !!! hehe…selama ini terasa banget kalau dukungannya banyak menguatkan. Contohnya, 2 minggu setelah kelahiran Azzam…ibu merasa down banget dan gak berdaya,,,,Kondisi ibu belum pulih, Azzam masih merah, Hana rewelnya minta ampun, Umar rasanya jadi tak terkendali. Waktu itu hari Sabtu, si abah di Bandung tapi ada meeting. Ibu rasanya gak kuat menahan rasa “tak berdaya” itu. Akibatnya, ibu pun nelpon si abah. Tadinya sih mau curhat …tapi ternyata yang keluar cuman tangisan dan suara “anak-anak….”….. Karena tak mampu berkata-kata, setelah 1 menit nangis di telpon, telponnya ibu tutup. Lalu masuk sms dari si abah : “aku langsung pulang, meeting kubatalkan”. Sms itu cukup meniupkan kekuatan. Perasaan “I’m not alone, ada seseorang yang selalu siap berkorban dan membantu.” itu berefek langsung pada hilangnya perasan “tak berdaya” yang asalnya dirasakan. Meskipun “langsung pulang” itu ternyata = 2 jam karena macetnya Bandung di hari Sabtu, namun kedatangan si abah sudah tak penting lagi. Segera setelah menerima sms si abah, ibu berhenti menangis, lalu bisa berpikir jernih mengatasi perilaku Hana dan Umar, dengan lebih sabar…..

So, selain sungkem besok, ibu dan abah juga tampaknya harus mendiskusikan action plan yang jelas…..meningkatkan kualitas performance sebagai ibu buat anak-anak….mmmhhhmmmm…memang….ternyata profesi menjadi ibu lebih berat dibanding profesi menjadi psikolog dan dosen ;). Namun, dengan semangat “Laaa yukallifullahu nafsan illa wus’aha….” dan komitmen terhadap action plan….semoga ibu bisa….semoga kita bisa ya anak-anak, ya bah….;)

berapa banyak anak? catatan emak “the little four” (part one)

Kayaknya, besok ibu harus minta maaf yang sungguh-sungguh, atau bahkan kalau perlu, sungkem deh…sama Kaka, Umar dan Hana. Dengan cara mereka masing-masing, mereka menyatakan bahwa “setelah de Azzam lahir, ibu jadi menyebalkan” (itu bahasanya Umar). “Mas Umal paling sebel kalau ibu suaranya keras dan wajahnya cemberut”. Kalau bahasa Hana: “ibu, dede gak mau dimarahin terus sama ibu”….

Yups…yups…meskipun ibu ingin berargumen sekuat tenaga bahwa…ibu tau banget ibu  gak boleh marah-marah, ibu udah berusaha menahan sekuat tenaga untuk gak marah….tapi data empirik dari para responden yang lugu dan jujur itu, pastilah yang lebih valid;)

Hhhhmmmm….jadi ingat percakapan dengan seorang teman sebulan lalu. Via chatting, ia bertanya sesuatu yang “dalem banget….”. “teh, apa yang membuat teteh memutuskan untuk mempunyai anak banyak?” itu pertanyaannya. Sebelum menjawab, saya menghayati dulu bahwa ….ya, empat itu emang banyak. Kalau waktu punya anak 3, masih gak merasa “banyak” karena masih ada temen yang punya anak segitu. Tapi begitu empat….ya….memang “banyak”. Apalagi untuk ukuran statistika jaman sekarang. Banyak bukti yang mendukung bahwa “punya empat anak itu = banyak”. Misalnya, kalau bawa anak-anak jalan-jalan, ngecek dan ngumpulin 4 anak itu rada lama hehe….dan…sampai sekarang, belum pernah nemuin buku cerita yang tokoh keluarganya ada 4 orang anak 😉 Yang paling jelas sih reaksi kaget orang-orang kalau mengetahui bahwa saya sudah punya empat anak ….. kalau temen mas, begitu tau mas anaknya empat, langsung tanya: “istrimu gak kerja ya?”

Ups….jangan lama-lama menghayati pertanyaannya…harus segera mengetik jawaban dari pertanyaan teman saya itu….. Jawaban saya adalah: “sebenernya jumlah anak yang direncanakan sih 3, tapi dapet bonus Azzam akibat upaya yang kurang maksimal untuk konsisten dengan perencanaan hehe….Makanya…sekarang akan berusaha 1000% untuk tak tambah punya anak lagi”

Si teman saya bilang, kurang lebih seperti ini: “saya masih ragu untuk tambah anak, apalagi saya kerja….gimana menurut teteh? Saya masih ragu dengan kuantitas vs kualitas” (teman saya itu sudah punya 2 anak, dan bekerja di sebuah dinas).

Waduh…pertanyaan ini paaaaaas banget sama situasi saya. Waktu itu, saya merasa sedang KEWALAHAN. Itu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi saya. Kewalahan mengurus keempat anak. Waktu itu, Azka lagi kumat sensi-nya. Disuruh makan nangis, diingetin untuk gak kelamaan nonton TV marah n mengurung diri di kamar….Umar juga lagi kumat “oposisional”nya. Marah kalau diingetin jatah main gamenya abis, disuruh mandi-makan susyaaaaah banget….Hana….lagi sibling2nya sama Azzam….dan Azzam…..masih gak mau minum ASI perah dari botol. Ditambah lagi rencana teh Ema, pengasuh setia anak-anak selama 7 tahun lebih yang akan off bulan depan karena menikah…..membuat ibu …pusing tujuh keliling.

Maka, dengan mantap, jawaban saya pada teman saya adalah:

“mempunyai anak itu, komitmen seumur hidup yang harus direncanakan dengan amat-sangat matang. Keputusan tiap ayah-ibu untuk menambah anak atau menentukan jumlah anak yang akan mereka miliki, itu sangat personal. Dan yang penting, harus didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai strength and weaknesses kita sebagai ortu. Itu kalau kita mau anak kita banyak tapi berkualitas”.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan penghayatan saya mengenai kesiapan seorang ibu untuk memutuskan, mau punya anak banyak atau sedikit. Ini dimensinya banyak. Dan menurut saya, seorang ibu punya hak untuk ikut menentukan berapa banyak anak yang ingin ia kandung, lahirkan, urus dan didik. Bahkan ibu menurut saya adalah “decision makernya”. Karena, di kultur manapun, peran pengasuhan dan pendidikan anak masih bertumpu pada ibu. Mau ibunya kerja, mau ibunya gak kerja, riset-riset menunjukkan bahwa teteeeep…tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan itu ada di ibu. Oleh karena itu, kesiapan ibu menjadi penting. Mempunyai anak banyak itu butuh manajemen yang prima. Baik manajemen fisik, maupun emosi. Selain resource kualitas diri seorang ibu, faktor2 internal juga harus bisa dikenali oleh seorang ibu. Yang tak kalah penring adalah….menyiapkan faktor2 pendukung.

Kenapa harus gitu? Kayaknya ribet banget….yups…NO GAIN WITHOUT PAIN… kenapa kita punya anak?kenapa kita punya anak banyak? Buat muslim, anak itu adalah investasi. Anak bisa menjadi penyelemat di dunia, dan terlebih lagi …di akhirat nanti. Dengan catatan: anaknya sholeh-sholehah. Nah, mendidik anak buat jadi sholeh-sholehah itu, tak mudah men…..butuh kuantitas dan kualitas waktu. Kenapa titik berat saya pada ibu? Karena…ibu yang terlibat face to face lebih banyak dalam pengasuhan anak. Beda…bedaaaaa banget …. Berapa milyar pun yang dikucurkan ayah untuk membiayai anaknya, effortnya beda, dan jauh lebih ringan dibanding  dengan 24 jam menemani anak. Memahami kemarahannya, kesedihannya, kekesalannya….mengatasi konflik-konfliknya…..Gak percaya? Sok…para ayah, seminggu aja tukeran peran sama ibu-ibu, ngasuh anak…pasti angkat tangan 😉

Jadi, berapa banyak anak yang akan dimiliki, menurut saya akan lebih baik jika mempertimbangkan faktor berikut ini.

……bersambung ke part 2

mudik rainbow ;) plus tips mudik buat balita

kalau ada yang bertamu ke rumah saya malam ini, di ruang tamu akan tersuguh…..

empat koper pakaian: 1 koper pakaian kaka+umar, 1 koper pakaian hana+azzam, satu koper pakaian ibu+abah, satu koper pakaian sekeluarga untuk transit di jogja. satu kardus oleh-oleh purwakarta titipan mamah untuk yangti.satu kardus oleh-oleh baju, kerudung n kembang api buat ponakan-ponakan. satu tas berisi perlengkapan mandi dan obat-obatan (ini banyaknya seapotek;). satu tas berisi cemilan, buah, n susu. satu tas berisi gelas, termos, pisau. tiga tas: tas hello kitty kaka berisi hp, diary n beberapa buku pinkberry (ternyata, seri KKPK udah gak level buat anak kelas 4;), tas mobil berisi kotak rahasia umar (itu adalah bekas kotak sepatu homyped, yang diatasnya ada tulisan umar yang gede-gede: “kotak rahasia: jangan dibuka” berisi mainan-mainan kesayangannya), dan satu tas piglet hana berisi….boneka ultraman, senter, mainan mikrofon, buku wajib “tantangan super” n peralatan dokter2an). plus…satu tas berisi alat2 teknologi: laptop abah, laptop ibu (harus selalu bawa! karena selalu ada yang imel minta dikirim file ini-itu hehe…), kamera, handycam, ipad, tablet, dan segala macem chargernya. terakhir adalah tas kecil ibu berisi dompet, qur’an dan seuprit alat kosmetik;).

yups…yups…besok subuh kami akan….M U D I K !!!! ;). Sudah ada konvensi di keluarga besar kami bahwa Idul Fitri adalah jatah silaturahim ke Kediri, sedangkan Idul Adha, jatahnya Purwakarta;)Nanti kalau anak-anak udah tidur, seabrek barang2 itu akan disusun sedemikian rupa sehingga baris kedua dan ketiga mobil kami tersulap menjadi kasur yang nyaman….baris ketiga akan dilengkapi dengan bantal cars + selimut angry birdsnya umar n bantal pooh+selimut peri kaka, lengkap dengan guling kesayangan masing-masing. Baris kedua akan dilengkapi dengan bantal n selimut angry bird hana, serta guling shaun the sheepnya. dan…anggota baru dalam mudik kali ini adalah azzam! berarti akan ada bantal cars kecil n selimt bulunya yang super anget…..

10 tahun menikah, hanya sekali ibu pernah absen mudik. 3 tahun lalu, saat hana masih berumur 3 minggu. saat itu abah mudik bersama kaka, ibu di purwakarta bersama umar n baby hana. Beragam moda kendaraan sudah kami coba. Sebelum punya mobil, ketika masih berdua n bertiga dengan Kaka, kami pernah mencoba pake bis n kereta api. Setelah punya mobil, selalu pake mobil karena bisa jungkir balik semaunya kalau di mobil sendiri. Anak-anak rewel…bisa brenti dulu… Maret lalu, karena si abah udah sakaw kangen sambel tumpang, bersama Kaka dan Umar mudik juga pake pesawat. Tahun ini, meskipun budget untuk naik pesawat mencukupi, namun kami tetap memutuskan untuk pake mobil. Apa yang digambarkan Prof Jalaluddin Rakhmat beberapa tahun lalu, bahwa mudik, bagi orang indonesia adalah “obat mental” yang jitu, tampaknya pas buat si abah. Ia sangat menikmati perjalanan panjang bermobil, meski bertindak sebagai solo sopir;)

Bandung-Kediri…..kalau naik bis Rosalia Indah, akan sampai 14 jam. Kalau pake kereta, sampai kurang lebih 12 jam. Kalau pake mobil….bisa 24 jam atau lebih, tergantung ketahanan si abah menyetir;) Selama itu??? Bawa anak-anak???Ribet??? sulit untuk bilang engga. But….trust me…gak seribet yang dibayangkan kok setelah dijalani mah. Practice makes perfect hehe…..

Sepanjang perjalanan, jangan bayangkan lempeeeng aja….kalau kita brenti sholat di mesjid, kita akan bertemu dengan para mudikers yang lain….Lalu kalau kecapean malam hari dan ingin beristirahat dulu, pom-pom bensinnya selau menyediakan temat untuk tidur. Terutama untuk para pengendara motor. Super salut buat mereka !!!GAk akan kita temuin di negara manapun kayaknya…..kadang mereka bawa 3 anak mereka, ada yang bayi pula….Selalu tergerak untuk mendoakan agar mereka diberi keselamatan, dan dianugerahkan pahala tak terhingga atas pengorbanan mereka untuk menunaikan silaturahim pada keluarga…..GErah? pengen seger??? tersedia kamar mandi yang cukup memadai. Kita sih udah hafal, pom-pom bensin mana yang kamar mandinya gak kotor. Tapi semakin ke sini, semakin oke fasilitasnya. Setahun kemaren, cukup banyak tulisan besar di tempat istirahat pom bensin: “kamar mandi VIP.shower dan air hangat. harga Rp.5.000”. Saya pernah coba…beneran oke loh…. Satu hal yang paling ibu tunggu2 adalah…biasanya saat perjalanan ini, terutama saat malam, anak-anak udah tidur…biasanya itu super quality time buat ibu dan abah. bicara dari hati ke hati….bernostalgia….saling menyampaikan umpan balik…berrekonsiliasi….kapan lagi bisa anteng ngobrol lama tanpa gangguan para krucil? 🙂

Gimana anak-anak mengadapi perjalanan super panjang itu? asal basic needs mereka terpenuhi (tidur nyaman, perut kenyang, mainan kesukaan dalam dekapan)…amaaaaan…mereka biasa main tenda2an pake selimut, main “kawan-kawanan” yang suitable dengan segala setting dan suasana (pemain: kawan besar, kawan sedang, kawan kecil dan kawan superkecil plus kawan kumis n kawan gendut). Kalau udah bosen n pada ngerengek, biasanya dikasih kamera n handycam, amaaaan….Kadang mereka minta brenti kalau liat sawah, sungai, hutan….

Di Kediri, kami sudah punya rutinitas yang kami tunggu-tunggu. Salah satunya adalah…makan soto Kediri !! Meskipun beberapa kali si bumbu soto itu dikirim via TIKI ke Bandung, tapi menikmati di tempat asalnya, dengan segala macem suasananya, rasanya tentu beda. Apalagi, kedai soto yang kami kunjungi adalah milik Mas Wid, kakak ipar. Kami sudah biasa kalau diliatin oleh para pelanggan lainnya, kenapa kami tampak merajalela mendapatkan soto dengan porsi jumbo2 dan “recet” minta kombinasi ini-itu haha….

Untuk mengatasi kebosanan rutinitas mudik tahunan, mengakomodasi keinginan anak-anak, sudah 3 tahun ini kami mengadakan “enrichment” (halah, sok gaya;). Kami selalu agendakan menginap di hotel di jogja. Berenang, lalu puter2 naik becak atau andong sangat menggairahkan buat anak-anak. Di Kediri pun, kalau anak-anak sudah merajuk karena gak bisa nonton film favorit mereka di Indovision dan sudah bosen main dengan sepupu2nya, sudah 2 tahun ini kami selalu mengunjungi pantai Prigi yang berjarak 3,5 jam dari rumah karena tempat wisata di dalam kota sudah khatam kami kunjungi tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu kami “nyimpang dulu” ke prambanan.

Naaah….tahun ini, kami sudah booking kamar di  hotel ibis malioboro, lalu berencana puter2 cari batik dulu setengah hari (maklum, si ibu tea jurig batik;). Di Kediri kami berencana mengunjungi jatim Park, dan pulangnya…kami rencanakan mampir dulu ke Candi Borobudur. Maka, tak heran kalau dari seminggu lalu sejak libur, Azka-Umar-Hana udah sering nanya: “bu, kapan sih kita mudiknya?”…..asal jangan sampai mereka lupa aja tujuan sebenarnya, bersilaturahim ke rumah yangtinya haha…

Karena si abah sudah memanggil2 untuk menata mobil, maka saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan tips bagi ayah bunda yang berniat mudik dan membawa balita. Dijamin teori ini sangat indigenous dan “evidence based” wkwkwk….

(1) Persiapkan dengan baik. Buat list hal-hal apa yang harus dibawa, terutama “basic needs” anak

(2) Yang dimaksud “basic needs” termasuk “psychological basic needs” rutinity n familiarity !!! anak akan sangat terganggu kenyamanan psikologisnya bila rutinitasnya terganggu. Atau barang-barang yang selama ini membautnya nyaman, tidak ada. So, jangan sampai ketinggalan buku wajib yang harus dibacakan sebelum tidur, mainan kesayangan, bantal, selimut, alat makan….Jangan sampai itu jadi alasan si kecil untuk minta “pulang”. Ingat !! balita tidak nyaman, = rewel !!! dan itu akan bikin stress emaknya, bukan ? hehe…

(3) Harusnya ini poin pertama hehe…Kalau tempat mudiknya jauh, (antar provinsi seperti sayah hehe…) jangan lupa konfirmasi soal udara, yang bisa jadi beda jauh. Misalnya saja, kami punya kostum anak yang ngutung2, yang khusus hanya dipakai kalau lagi di kediri. Tapi pernah juga kecele…gak konfirmasi dulu…taunya saat itu (yang emang bukan bulan ramadhan) di kediri lagi dingin…jadi saltum deh…jadi si ngutung2 itu selalu dilapis jaket hehe…

(4)Pertimbangkan matang-matang “waktu lelah” anak. Ingat…mood anak sangat dipengaruhi kondisi fisiknya. Tidur yang cukup dan nyaman, mandi di perjalanan, juga timing istirahat  harus pas. Hindari juga tempat atau waktu macet, karena anak paling gak tahan kalau macet dan panas.

Okeh…si abah udah kembali memanggil…

Selamat mudik semuanya…

Semoga niat kita lurus, agar setiap langkah membuat kita mendapat berkah silaturahim ….

hitam muda

Hana paling suka main plastisin. Terutama bagian mencampur warna-warni plastisin itu. Hasil akhirnya adalah….geruntulan berwarna coklat ;(

Suatu hari, dia mencampur plastisin biru dengan plastisin putih.

“Bu, kalau walna bilu sama putih jadinya walna apa?” tanyanya.

“Jadinya biru muda. Warna apapun, kalau dicampur sama putih jadinya  muda de. Misalnya, merah dicampur putih, jadi merah muda. hijau dicampur putih, jadi hijau muda”. jawab ibu.

Seminggu kemudian, de Hana sedang nonton telettubies.

“Bu, liat itu awan hitam sama awan putih belcampul. Jadinya….dede tau…HITAM MUDA !!!” teriaknya dengan kerlingan khas matanya.

Hahahaha…..;)

buka….atau sahur…. ???

Anak-anak saya, susah sekali disuruh tidur siang. Sejak usia 2 tahun sudah tak biasa tidur siang. Beragam cara sudah saya coba, tapi tak pernah berhasil. Biasanya sesekali  mereka tidur kalau dijemput dari sekolah pake mobil.

Seminggu lalu, karena soulmatenya gak bisa main karena tidur siang, lama-lama Umar tertidur di sofa. Dia mulai tidur jam 4. Kita biarkan saja meskipun ada resiko harus nemenin dia begadang nanti malam. Maklum, mulai jam 4…biasanya setiap 5 menit sekali dia nanya “kapan buka puasanya?” sudah resah dan gelisah deh…

Sampai adzan maghrib, Umar masih tertidur lelap. Beragam cara membangunkannya gak berhasil. Setelah 10 menit, dia buka mata, lalu pindah tempat ke kamarnya. Akhirnya sama si Abah dipaksa diminumin dan disuapin. Lama-lama berhasil juga. Dia lalu jalan ke dapur, ngemal-ngemil….lalu bertanya pada ibu:

“bu….berapa menit lagi?” ibu gak ngerti. “berapa lama lagi mulai puasa?” ibu masih gak ngeuh. “berapa lama lagi mas umar boleh makan sebelum subuh?” hahahaha…..ibu baru ngerti . enaaaaaaaaaaaak banget ibu ketawa.

ternyata eh ternyata, mas Umar menganggap dia dibangunin buat sahur haha…..

Setelah dijelaskan, dia pun tersenyum simpul….”asiiik …mas Umal masih bisa makan lama….” katanya 😉

Di rumah, jadi orangtua saja lah…..

“Ah, males aku ngobrol sama mama-papa. Rasanya kayak disidang…..disidang dua profesor killer…gile….” begitu ungkapan si remaja. Yups, orangtuanya memang guru besar dari dua perguruan tinggi terkemuka… “Kalau mau ngomong sesuatu harus logis lah, harus ada alasannya lah…males banget…Ada gak ya, yang mau tukeran ortu ama gua” katanya lagi, cukup mengagetkan.

Mmmmhhhmmm…..salah dua “ujian” dari ortu yang secara pendidikan, sosial dan ekonomi memiliki kedudukan tinggi adalah: (1) punya harapan yang tinggi terhadap anak-anaknya; jadi masalah kalau si anak tak mampu atau tak mau memenuhinya. (2) suka “lupa melepaskan baju” saat berada di rumah.

Maka dari itu, khusus untuk poin kedua; seorang direktur, profesor, komandan militer, dokter, apapun…..kalau sudah di rumah, jadilah ayah, abah, abi, bapak,papa,  dan jadi ibu, ambu, mama, umi,bunda saja… yang memperlakukan anak-anak sebagai anak-anak. Kasih afeksi kalau mereka butuh, mendengarkan kalau mereka ingin bicara… tak perlu memperlakukan anak sebagai mahasiswa, bawahan, atau pasien….;). Apalagi kalau menghadapi anak remaja. Konon, menurut cerita dari beberapa teman yang sudah punya anak remaja, anak se “sweet” apapun, kalau sedang berada di tahap remaja…duh, “nyebelinnya…” minta ampun… Tak pernah mudah menghadapi remaja. Gitu kata buku mah.

Saya ingat, dulu pernah bekerjasama dengan seorang bapak dokter spesialis bedah tulang. Waktu kita mau ngerjain kerjaan di hari sabtu, langsung dia menolak. “Waduh, Sabtu mah jadwal saya main PS sama anak saya uy” katanya. Saya tanya anaknya umur berapa, kelas 2 SMP dan kelas 2 SMA. “Kalau engga gitu, susah bu…untuk bisa tetap dekat dan membuat anak remaja jaman sekarang terbuka ama ortunya. apalagi anak saya dua-duanya laki-laki”. Begitu katanya.. (eh, contoh ini sebenarnya nyambung engga ya, sama topik tulisan ini? Jaka sembung bawa rumah…gak nyambung kayaknya mah …;)

Keinginan untuk berperan sebagai “ibu dan ayah” saja kalau di rumah juga membuat saya tak segan meminta tolong mas untuk melakukan hal-hal yang “remeh-temeh”. “Dirimu di luar boleh jadi doktor lah, pimpro ini itu lah, punya sertifikasi apa lah….tapi di rumah, dirimu adalah si abah” hehe…. Geli juga pernah suatu saat dia bicara panjang lebar sama kliennya dirut sebuah BUMN besar, pake headset sambil….cebokin Hana haha….good 😉

Ayah: Forgotten Contributors to Children Development

Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak

Secara tradisional, peran ayah dalam keluarga dilihat sebagai peran yang bersifat instrumental, yaitu sebagai pencari nafkah. Namun sebenarnya ayah juga mengisi peran yang lain, misalnya sebagai caregiver (pengasuh), dan peran tersebut bergeser seiring dengan perubahan struktur keluarga (Greene, Hearn, & Emig, 1996). Peningkatan kesempatan bagi ibu untuk bekerja, perubahan jadwal kerja, adanya waktu kerja yang fleksibel, adanya pekerjaan paruh waktu dan tersedianya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah membuat pengasuhan anak oleh ayah menjadi mungkin untuk dilakukan, bahkan dalam waktu yang panjang (Casper & O’Connell, 1998; Presser, 1995). Akibat dari perubahan tersebut, maka gagasan mengenai ayah sebagai mitra pengasuhan bagi ibu mulai muncul (Pleck & Pleck, 1997).

 

Penelitian-penelitian yang terkait dengan peran ayah sebagai pengasuh anak menyimpulkan bahwa para ayah lebih terlibat dalam pengasuhan anak ketika pendapatan keluarga tergolong rendah dan karakteristik pekerjaan mereka memungkinkan untuk melakukan pengasuhan (Casper & O’Connell, 1998). Dalam sebuah penelitian terhadap kehidupan rumahtangga dari suami dan istri yang bekerja menggunakan Survey of Income and Program Participation data set for 1991 and 1993, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Semakin besar pendapatan istri dibanding suaminya, semakin besar kesediaan suami utuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya. Perubahan dalam kondisi ekonomi makro ini memainkan peran pada perubahan pengasuhan ayah, jadwal kerja dan pemasukan keuangan keluarga.  (Brayfield, 1995; Casper & O’Connell, 1998).

 

“Availability hypothesis” menyatakan bahwa semakin banyak waktu yang dimiliki ayah untuk mengasuh anaknya, semakin besar kesediaannya untuk melakukan hal tersebut. Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa suami pekerja rendahan dengan gaji yang kecil lebih terlibat dalam pengasuhan anaknya dibandingkan dengan suami yang pekerjaannya professional menengah ke atas. Kecenderungan peningkatan tanggung jawab ayah terhadap pengasuhan anak tampaknya akan terus meningkat di masa yang akan datang. Memang, tidak semua alasan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak berakar dari masalah ekonomi. Banyak juga pasangan yang berkomitmen untuk menjadi partner dalam pengasuhan anak dan mengambil kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan keayahan  (Pruett, 1987).

 

Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak

Lamb, Pleck, Charnov, & Levine (1987) mengembangkan konsep keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang terdiri dari tiga komponen:

(1)    Engagement; pengalaman ayah dalam melakukan kontak langsung dan interaksi bersama dengan anak dalam bentuk pengasuhan, bermain, atau mengisi waktu luang.

(2)    Accessibility atau availability terhadap anak; kehadiran ayah dan ketersediaan ayah untuk anak,  terlepas dari sifat atau interaksi yang terjadi antara ayah dan anak, interaksi antara ayah-anak tidak terjadi secara langsung.

(3)    Responsibility— pemahaman ayah untuk memenuhi kebutuhan anak, termasuk menyediakan sumber keuangan untuk anak, dan merencanakan serta mengelola kehidupan anak.

 

Pengaruh Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Anak Terhadap Anak (Young And Middle Children)

Pengaruh keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak terhadap perkembangan anak dipengaruhi oleh dimensi keterlibatan ayah dalam tiga area penelitian; yaitu (1) perbedaan usia anak, (2) perbedaan status ayah (apakah ayah bilogis, ayah tiri, tinggal bersama anak atau tidak), dan (3) perbedaan jalur mempengaruhi (different pathways of influence). Dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan mengenai perbedaan usia anak dan perbedaan cara mempengaruhi yang digunakan (different pathways of influence), karena dua hal tersebut yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan.

 

(1)    Perbedaan usia anak

Pada anak usia dini, keterlibatan emosi dan kelekatan dengan ayah menjadi dasar bagi perkembangan well-being anak, perkembangan kognitif dan kompetensi sosial anak (Lamb, 1997; Marsiglio et al., 1998; MacDonald & Parke, 1984; Radin, 1982). Dalam penelitian yang berbeda, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak selanjutnya berhubungan dengan kemampuan anak (misalnya IQ) dengan mempertimbangkan juga faktor lainnya yang berpengaruh, misalnya penghasilan keluarga, kesehatan bayi dan usia ayah (Yogman, Kindlon, & Earls, 1995). Tingkat keterikatan (engagement) dan pengaruhnya akan berbeda, sesuai dengan tahap perkembangan anak (Pleck, 1997). Pengasuhan ayah, bila dibandingkan dengan jenis pengasuhan anak yang lain memiliki dampak yang signifikan bagi perkembangan anak (Averett, Gennetian, & Peters, 1997).

 

Selama tahap middle childhood, keterlibatan ayah berhubungan dengan keberhasilan anak di sekolah. Hasil penelitian National Household Education Survey pada tahun 1996 menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam kegiatan anak di sekolah (misalnya menghadiri pertemuan di sekolah, menghadiri pertemuan orangtua dan menjadi sukarelawan di sekolah) baik pada keluarga single father maupun pada keluarga yang lengkap, berhubungan dengan prestasi akademik dan rasa senang anak di sekolah.

 

Pengaruh keterlibatan ayah terhadap keberhasilan anak di sekolah juga berlanjut sampai anak berada pada masa remaja. Remaja yang memiliki kelekatan yang kuat dengan ayah atau ayah biologis mereka memiliki kondisi akademik, perilaku dan emosi yang lebih baik (Furstenberg & Harris, 1993). Tingginya keterlibatan ayah dan meningkatnya kedekatan antar mereka menjaga remaja dari perilaku kenakalan remaja dan tekanan emosional (Harris, Furstenberg, & Marmer, 1998).

 

(2)  Perbedaan jalur mempengaruhi (Different pathways of influence)

Ayah dapat mempengaruhi perkembangan anak secara langsung, misalnya melalui proses pendidikan langsung pada anak, atau melalui proses yang tidak langsung, misalnya melalui hubungannya dengan ibu. Menggunakan kerangka tiga dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang dikemukakan oleh Lamb et al. (1987), keterikatan (engagement) ayah dengan anak memberikan pengaruh langsung pada perkembangan anak. Seperti ibu, ayah menciptakan kelekatan yang penting dengan anak. Ayah secara langsung menasehati, memberikan arahan, bimbingan, dukungan emosional dan intelektual, sehingga dengan cara demikian meningkatkan pengetahuan, rasa percaya diri dan perasaan aman pada diri anak. Aksesbilitas ayah juga bisa membangun rasa aman dan kelekatan anak, meskipun pengaruh dari keterikatan (engagement) lebih kuat. Rasa tanggung jawab ayah, dalam bentuk dukungan keuangan, bisa mempengaruhi anak melalaui struktur ekonomi dalam rumah tangga; misalnya menentukan apakah anak hidup dalam kemiskinan atau tidak. Kemiskinan sangat berhubungan dengan rendahnya prestasi akademik, masalah psikososial, perilaku kenakalan remaja dan kejahatan. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak juga bisa berpengaruh secara tidak langsung pada perkembangan anak melalui pengaruhnya pada hubungan ibu-anak. Pada penelitian terhadap anak yang berusia 2 tahun, peneliti menemukan kualitas pernikahan, kualitas hubungan ayah-anak, dan perkembangan anak saling berhubungan erat (Gable, Crnic, & Belsky, 1994). Selain itu, hubungan antara ayah dan ibu mempengaruhi perilaku ibu. Keterlibatan ayah selama masa kehamilan mempengaruhi kesehatan ibu selama kehamilan; selain faktor lain yaitu penghasilan Ibu dan tingkat pendidikan ibu (Anderson & Stanley, 1976).

 

copas dari teori di proposal penelitian….*mengalihkan rasa ngantuk*

Previous Older Entries