Ayah: Forgotten Contributors to Children Development

Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak

Secara tradisional, peran ayah dalam keluarga dilihat sebagai peran yang bersifat instrumental, yaitu sebagai pencari nafkah. Namun sebenarnya ayah juga mengisi peran yang lain, misalnya sebagai caregiver (pengasuh), dan peran tersebut bergeser seiring dengan perubahan struktur keluarga (Greene, Hearn, & Emig, 1996). Peningkatan kesempatan bagi ibu untuk bekerja, perubahan jadwal kerja, adanya waktu kerja yang fleksibel, adanya pekerjaan paruh waktu dan tersedianya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah membuat pengasuhan anak oleh ayah menjadi mungkin untuk dilakukan, bahkan dalam waktu yang panjang (Casper & O’Connell, 1998; Presser, 1995). Akibat dari perubahan tersebut, maka gagasan mengenai ayah sebagai mitra pengasuhan bagi ibu mulai muncul (Pleck & Pleck, 1997).

 

Penelitian-penelitian yang terkait dengan peran ayah sebagai pengasuh anak menyimpulkan bahwa para ayah lebih terlibat dalam pengasuhan anak ketika pendapatan keluarga tergolong rendah dan karakteristik pekerjaan mereka memungkinkan untuk melakukan pengasuhan (Casper & O’Connell, 1998). Dalam sebuah penelitian terhadap kehidupan rumahtangga dari suami dan istri yang bekerja menggunakan Survey of Income and Program Participation data set for 1991 and 1993, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Semakin besar pendapatan istri dibanding suaminya, semakin besar kesediaan suami utuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya. Perubahan dalam kondisi ekonomi makro ini memainkan peran pada perubahan pengasuhan ayah, jadwal kerja dan pemasukan keuangan keluarga.  (Brayfield, 1995; Casper & O’Connell, 1998).

 

“Availability hypothesis” menyatakan bahwa semakin banyak waktu yang dimiliki ayah untuk mengasuh anaknya, semakin besar kesediaannya untuk melakukan hal tersebut. Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa suami pekerja rendahan dengan gaji yang kecil lebih terlibat dalam pengasuhan anaknya dibandingkan dengan suami yang pekerjaannya professional menengah ke atas. Kecenderungan peningkatan tanggung jawab ayah terhadap pengasuhan anak tampaknya akan terus meningkat di masa yang akan datang. Memang, tidak semua alasan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak berakar dari masalah ekonomi. Banyak juga pasangan yang berkomitmen untuk menjadi partner dalam pengasuhan anak dan mengambil kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan keayahan  (Pruett, 1987).

 

Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak

Lamb, Pleck, Charnov, & Levine (1987) mengembangkan konsep keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang terdiri dari tiga komponen:

(1)    Engagement; pengalaman ayah dalam melakukan kontak langsung dan interaksi bersama dengan anak dalam bentuk pengasuhan, bermain, atau mengisi waktu luang.

(2)    Accessibility atau availability terhadap anak; kehadiran ayah dan ketersediaan ayah untuk anak,  terlepas dari sifat atau interaksi yang terjadi antara ayah dan anak, interaksi antara ayah-anak tidak terjadi secara langsung.

(3)    Responsibility— pemahaman ayah untuk memenuhi kebutuhan anak, termasuk menyediakan sumber keuangan untuk anak, dan merencanakan serta mengelola kehidupan anak.

 

Pengaruh Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Anak Terhadap Anak (Young And Middle Children)

Pengaruh keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak terhadap perkembangan anak dipengaruhi oleh dimensi keterlibatan ayah dalam tiga area penelitian; yaitu (1) perbedaan usia anak, (2) perbedaan status ayah (apakah ayah bilogis, ayah tiri, tinggal bersama anak atau tidak), dan (3) perbedaan jalur mempengaruhi (different pathways of influence). Dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan mengenai perbedaan usia anak dan perbedaan cara mempengaruhi yang digunakan (different pathways of influence), karena dua hal tersebut yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan.

 

(1)    Perbedaan usia anak

Pada anak usia dini, keterlibatan emosi dan kelekatan dengan ayah menjadi dasar bagi perkembangan well-being anak, perkembangan kognitif dan kompetensi sosial anak (Lamb, 1997; Marsiglio et al., 1998; MacDonald & Parke, 1984; Radin, 1982). Dalam penelitian yang berbeda, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak selanjutnya berhubungan dengan kemampuan anak (misalnya IQ) dengan mempertimbangkan juga faktor lainnya yang berpengaruh, misalnya penghasilan keluarga, kesehatan bayi dan usia ayah (Yogman, Kindlon, & Earls, 1995). Tingkat keterikatan (engagement) dan pengaruhnya akan berbeda, sesuai dengan tahap perkembangan anak (Pleck, 1997). Pengasuhan ayah, bila dibandingkan dengan jenis pengasuhan anak yang lain memiliki dampak yang signifikan bagi perkembangan anak (Averett, Gennetian, & Peters, 1997).

 

Selama tahap middle childhood, keterlibatan ayah berhubungan dengan keberhasilan anak di sekolah. Hasil penelitian National Household Education Survey pada tahun 1996 menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam kegiatan anak di sekolah (misalnya menghadiri pertemuan di sekolah, menghadiri pertemuan orangtua dan menjadi sukarelawan di sekolah) baik pada keluarga single father maupun pada keluarga yang lengkap, berhubungan dengan prestasi akademik dan rasa senang anak di sekolah.

 

Pengaruh keterlibatan ayah terhadap keberhasilan anak di sekolah juga berlanjut sampai anak berada pada masa remaja. Remaja yang memiliki kelekatan yang kuat dengan ayah atau ayah biologis mereka memiliki kondisi akademik, perilaku dan emosi yang lebih baik (Furstenberg & Harris, 1993). Tingginya keterlibatan ayah dan meningkatnya kedekatan antar mereka menjaga remaja dari perilaku kenakalan remaja dan tekanan emosional (Harris, Furstenberg, & Marmer, 1998).

 

(2)  Perbedaan jalur mempengaruhi (Different pathways of influence)

Ayah dapat mempengaruhi perkembangan anak secara langsung, misalnya melalui proses pendidikan langsung pada anak, atau melalui proses yang tidak langsung, misalnya melalui hubungannya dengan ibu. Menggunakan kerangka tiga dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yang dikemukakan oleh Lamb et al. (1987), keterikatan (engagement) ayah dengan anak memberikan pengaruh langsung pada perkembangan anak. Seperti ibu, ayah menciptakan kelekatan yang penting dengan anak. Ayah secara langsung menasehati, memberikan arahan, bimbingan, dukungan emosional dan intelektual, sehingga dengan cara demikian meningkatkan pengetahuan, rasa percaya diri dan perasaan aman pada diri anak. Aksesbilitas ayah juga bisa membangun rasa aman dan kelekatan anak, meskipun pengaruh dari keterikatan (engagement) lebih kuat. Rasa tanggung jawab ayah, dalam bentuk dukungan keuangan, bisa mempengaruhi anak melalaui struktur ekonomi dalam rumah tangga; misalnya menentukan apakah anak hidup dalam kemiskinan atau tidak. Kemiskinan sangat berhubungan dengan rendahnya prestasi akademik, masalah psikososial, perilaku kenakalan remaja dan kejahatan. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak juga bisa berpengaruh secara tidak langsung pada perkembangan anak melalui pengaruhnya pada hubungan ibu-anak. Pada penelitian terhadap anak yang berusia 2 tahun, peneliti menemukan kualitas pernikahan, kualitas hubungan ayah-anak, dan perkembangan anak saling berhubungan erat (Gable, Crnic, & Belsky, 1994). Selain itu, hubungan antara ayah dan ibu mempengaruhi perilaku ibu. Keterlibatan ayah selama masa kehamilan mempengaruhi kesehatan ibu selama kehamilan; selain faktor lain yaitu penghasilan Ibu dan tingkat pendidikan ibu (Anderson & Stanley, 1976).

 

copas dari teori di proposal penelitian….*mengalihkan rasa ngantuk*

Menguatkan Konsentrasi Anak dengan Belajar di Depan TV

Tanya:

“ibu, untuk menguatkan konsentrasi anak saya, apakah boleh saya melatih dia untuk belajar di depan TV”? (anak: Laki-laki, 1o tahun, kelas 5 SD, taraf kecerdasan rata-rata, oleh guru dikeluhkan kurang konsentrasi).

Jawab:

“Menurut saya tergantung, apakah TVnya menyala atau tidak. Kalau tidak menyala, ya nggak masalah. Kalau menyala, nah itu yang harus dilihat lebih jauh….;)”

Akhir-akhir ini sering terdengar keluhan dari guru atau orangtua, bahwa anaknya (terutama usia SD) mengalami gangguan konsentrasi. Bahkan tidak jarang terdengar ungkapan ibu atau guru: “anak/murid  saya ADHD”.

Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk mengulas secara ringkas, mengenai perkembangan kemampuan anak memfokuskan perhatian. Melalui hal ini, diharapkan kita dapat menilai apakah memang perilaku anak kita termasuk mengalami gangguan pemusatan perhatian ataukah tidak.

Dalam referensi, istilah yang dikenal secara umum sebagai  “konsentrasi” adalah atensi, yang pengertiannya menurut Morgan (1989) : “Is the term given to the perceptual processes that select certain inputs for inclusion in our conscious experience, or awareness at any given time”.

Ada dua karakteristik atensi :
(1) Fokus :  situasi / obyek yang sangat disadari
(2) Margin : situasi / obyek lain (yang menyertai), yang cukup disadari

“Tugas” dari atensi adalah:

(1) Menentukan & Memfokuskan   (2) Mempertahankan

(3) (Setelah aktivitas selesai) Berhenti, Memperhatikan –> pindah ke tugas lain

Atensi berkembang melaluai beberapa tahap (Flick, 1998); sebagai berikut :

•Tahap 1 (usia lahir – 1 tahun) : mudah terganggu oleh rangsangan luar, sangat mudah teralihkan perhatiannya
•Tahap 2 (1 tahun – 2 tahun) : Mulai mampu berkonsentrasi pada tugas yang dipilihnya walaupun masih bersifat “tunggal”. Maksud tunggal di sini adalah anak hanya mampu mengerjakan satu hal. Sebagai contoh, dia tidak akan bisa mendengar ibu memanggilnya apabila sedang asyik nonton TV.
•Tahap 3 (2 tahun – 3 tahun) : Konsentrasi masih bersifat “tunggal” bila pindah ke sumber yang berbeda harus dibantu orang dewasa. Pernah lihat ibu guru TK yang menggunakan “genjringan” atau menarik perhatian murid-muridnya agar berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan selanjutnya?nah, itu contoh dari tahapan ini.
•Tahap 4 (3 tahun – 4 tahun) : masih berkonsentrasi tunggal, antara pembicara dan tugas  tapi berjadi spontan tanpa harus dibantu orang dewasa. Anak di usia ini, harusnya sudah bisa mendengar panggilan ibunya saat sedang mengerjakan kegiatan yang disukainya.
•Tahap 5  (4 tahun – 5 tahun) : Mampu dengan “2 saluran” anak dapat paham instruksi verbal berkaitan dengan tugas tanpa harus menghentikan aktivitas untuk melihat pembicara. Konsentrasi masih pendek tapi bisa mengikuti kelompok. Anak akan bisa menjawab pertanyaan, atau ngobrol sambil nonton TV, misalnya.
•Tahap 6 (5 tahun – 6 tahun) :  auditory visual dan saluran (diluar diri) sudah terintegrasi penuh, atensi sudah mapan dan dapat dipertahankan.
•Tahap 7 (7 tahun – 9 tahun): mampu menyeleksi, memfokuskan dan mempertahankan atensi dalam jangka waktu yang panjang à integrasi auditory dan visual lebih kompleks. Dengan kapasitas bereaksi secara berbeda sesuai karakteristik anak.
•Tahap 8 (9 tahun ke atas) : berkembang tajam dan berkesinambungan hingga dewasa.
Pada umumnya, rentang waktu intensitas perhatian anak  adalah sebagai berikut:
•2 tahun  :  7 menit
•3 tahun  : 9 menit
•4 tahun  : 14 menit
• 5 tahun  : 15 menit
Nah….apakah kalau putera puteri kita perkembangan atensinya berada di bawah tahapan  seharusnya ia berada, berarti ia mengaami gangguan konsentrasi?
belum tentu.
Banyak keluhan orangtua seperti ini: “bu, kalau belajar, anak saya susaaaaah banget konsentrasinya. Tapi kalau nonton TV, main game atau main puzzle kesukaannya? wuihh…bisa berjam-jam bu…”. nah, kalau kasusnya seperti ini, maka anak berarti kurang berminat terhadap kegiatan belajar. Karena minat, sangat mempengaruhi perilaku anak terhadap kegiatannya.
So….kembali lagi ke pertanyaan di awal tulisan ini, maka jawaban “seriusnya” adalah:
Anak usia 10 tahun, harusnya kemampuan memfokuskan atensinya sudah matang, secara mandiri. Kalau sudah matang, maka oke lah, boleh belajar sambil liat TV (yang tentu saja menyala) :). meskipun, i’m not sure bagaimana efektifitas pengolahan informasi dalam proses belajarnya. Apalagi kalau yang ditonton adalah tayangan favorit …jangan deeeh…. “multitasking activity” terbukti “decreasing performance” loh…Kalau anak masih berada di tahap perkembangan ateensi tahap 5 ke bawah, sebaiknya kegiatan belajar dikondisikan, tak ada stimulus luar yang bisa “menggoda imannya” 😉
Lalu, kapan anak kita disinyalir mengalami gangguan ADD/gangguan pemusatan perhatian atau ADHD/gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas? Apabila ada tanda-tanda di bawah ini:
-Inattention : kurangnya  pengendalian  pada stimuli yang datang dari luar –>sangat mudah teralih dengan “pendengaran” dan “penglihatan” di luar kegiatannya.
-Impulsive : kurangnya  pengendalian  pada stimuli yang datang dari dalam diri–>mudah teralih, meskipun tidak ada “gangguan dari luar”.
-Hyperactive : reaksi fisik berkelebihan terhadap stimuli, banyak bergerak tak bisa diam tanpa tujuan
NAh, kalau salah satu, salah dua atau salah tiga gejala di atas ditemui (biasanya keluhan dari guru adalah anak melamun, tugas tidak selesai, tidak mau diam, harus selalu diingatkan untuk menyelesaikan tugas)..maka sebaiknya anak dibawa ke psikolog. Nanti akan dilakukan pemeriksaan dan akan dilakukan pula intervensinya kalau memang terbukti anak mengalami gangguan pemusatan perhatian.
Sssst…inattention, impulsive dan hiperactive juga bisa dimiliki oleh orang dewasa loooooh 😉