Kita bicara solusi saja yuks….

Terus terang, saya merasa bosan dan tak berminat lagi membicarakan topik “beratnya beban akademis anak SD”.

“Banyak banget pelajarannya”. “Buku pelajarannya bahasanya abstrak banget”. “Gurunya gak bisa ngajarnya” “Banyak topik yang engga penting diajarkan sama anak kelas 1…”.

Dulu saya masih suka ikutan ngobrol. Tapi kemudian, karena rasanya itu tak berujung pada solusi dan tak mengubah keadaan, saya jadi bosan. Mungkin, karena setelah beberapa kali bertemu dengan orang2 diknas dan membicarakan hal ini dengan mereka, lalu saya mengetahui kemana larinya program2 peningkatan skill mengajar guru, menghayati penguasaan guru SD terhadap aspek pedagogis dan penguasaan materi pelajaran….saya merasa….sulit sistemnya untuk dirubah….Maka, mendingan energi untuk mengeluh dan membicangkan masalah ini dikonversi menjadi energi untuk mencari solusi.

Dalam kapasitas sebagai ibu, menurut saya solusinya adalah…mengcover apa2 yang kita rasa kurang itu, dengan upaya yang kita lakukan.

Langkah konkritnya misalnya:

  • Untuk masalah “banyak banget pelajarannya” dan “Banyak topik yang engga penting diajarkan sama anak kelas 1…”. Menurut saya, kita buat saja standar untuk anak kita. Misalnya, yang penting harus dikuasai itu pelajaran x,y,z. Yang lainnya…gak terlalu dikuasai juga gak apa-apa…. Secara praktis, misalnya kita bisa mengarahkan penguasaan anak pada pelajaran yang akan di UANkan. Bahasa Indonesia, IPA, Matematika. Karena tiga pelajaran itu juga melatih logika berpikir dan kepekaan terhadap lingkungan. Boleh lah ditambah lagi beberapa pelajaran yang menurut ayah-ibu penting. Mungkin IPS, PKN, Bahasa Sunda…tapi yang jelas, kalau kita memang merasa tuntutan akademik terhadap anak kita banyak, ya kurangi aja….bikin standar sendiri. Dan jangan bete kalau anak kita gak prima di semua pelajarannya.
  • “Buku pelajarannya abstrak banget”. Daripada ngedumel2 dan gak didenger sama para pengarang buku, saya lebih memilih jalan….ya sudah kita konkritkan aja bahasa2 abstrak di buku itu…saat kita menemani anak belajar. Jangan cuman minta anak untuk menjawab soal “sebutkan contoh kerukunan hidup di sekolahmu”… atau minta anak baca tentang bab kerukunan. Tapi coba anak tanya…kerukunan itu apa sih? Itu konsep abstrak banget buat anak kelas 1, tapi kalau dijelaskan dengan contoh2 sehari-hari, anak akan ngerti. Lebih bagus lagi kalau ibu2 bagi tugas, mengkonkritkan bahasa abstrak dari buku2 SD…lalu kita terbitkan buku pelajaran yang lebih “ramah kognisi anak”….sip bukan? 😉
  • Sekarang ini, banyak ragam macam sekolah. Kalau memang merasa bahwa anak kita terlalu dituntut berlebihan, lebih baik cari sekolah yang orientasinya gak ke akademik. Tapi harus konsisten loh…kalau nanti anaknya gak bisa masuk SMP favorit, jangan gak pede atau defense berlebihan.

Ada solusi lain yang lebih yahud dari para ibu2 binangkit ? monggo…monggooo… hidup SOLUSI !!!

berapa banyak anak? catatan emak “the little four” (part two-end)

…………..

Jadi, berapa banyak anak yang akan dimiliki, menurut saya akan lebih baik jika mempertimbangkan faktor berikut ini.

Faktor ibu:

(1)  Kesiapan psikologis ibu. Ada ibu yang gak pake mikir kalau hamil dan melahirkan, tapi ada ibu yang mengalami pengalaman “traumatis” saat hamil dan melahirkan, lalu belum mau punya anak lagi, pahamilah…..Karena faktor penerimaan ibu terhadap kehamilan dan kelahiran seorang anak adalah komponen dasar ikatan ibu-anak yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya.

(2)  Karekteristik psikologis ibu. Ada ibu-ibu yang bisa tahan mendengar rengekan anak-anak, ada yang gak tahan. Ada yang butuh privasi dan kesendirian, tak suka hingar bingar, ada yang bisa bertoleransi dengan kehebohan anak-anak.

(3)  Kesiapan fisik dan manajemen waktu. Punya anak banyak itu…melelahkan. trus me !!! hehe…oleh karena itu, untuk ibu-ibu yang masih kesulitan mengatur waktu dan kegiatannya, maka fisik dan kemampuan manajemen waktunya mesti diupgrade dulu. Saya baru yakin mengatakan ini setelah mengentahui bahwa, ada seorang ibu yang memang tidak bisa mengurus anak lebih dari 1. Setiap melahirkan anak yang baru, ia kasih anaknya yang lebih tua pada saudara2nya. …..

(4)  Tingkat kesabaran ibu. Untuk ibu-ibu yang mudah tergugah emosinya, maka….punya anak banyak akan jadi stressor yang sangat berat;) karena sebaik2nya anak-anak, ada masa2 dimana mereka membutuhkan limpahan kesabaran yang tak bertepi..

(5)  Ada ibu yang engga pede, takut kalau gak bisa mendidik kalau punya anak banyak. Menurut pengalaman, salah satu yang berpengaruh pada hal ini adalah “standar” yang ditetapkan oleh ibu dalam mendidik anaknya. Misalnya, dulu teman saya stress banget saat suaminya minta ia hamil lagi. Menurutnya, dengan 2 anak sekarang ini, dia gak bisa jadi ibu yang baik, apalagi kalau nambah lagi. Setelah ngobrol2, ternyata teman saya ini punya standar yang tinggi dalam pengasuhan anaknya. Sengaja tak ada TV di rumahnya, karena ia tak ingin media merusak pikiran anak-anaknya. Konsekuensinya, ia banyak meluangkan waktu untuk menemani anaknya bermain dan belajar.  “Saya pengen anak-anak saya bisa ngajinya sama saya”, katanya. Maka, ia pun selalu meluangkan diri untuk mengajar mengaji anak-anaknya. “Kalau ana-anak saya berantem, saya pengen selesaikan dengan tuntas. Pikiran saya harus full untuk mereka”. Begitu katanya. Jujur saja, saya sangat menghargai gagasan dan upaya si ibu itu. Tapi, saya juga pernah menyaksikan ibu yang punya 6 anak. Begitu usia si anak 2 tahun, anak-anaknya dimasukkan di daycare yang fullday. Lalu kalau bepergian, untuk mencegah “kehebohan”, masing2 anak pegang PS. Aman….Dua profil ibu yang berbeda…

(6)  Peran dan kegiatan ibu. Menurut saya, ibu yang aktifitasnya fleksibel, tak terikat secara formal sehingga lebih bisa mengatur energi dan emosi secara lebih bebas, akan lebih mudah ber-anak banyak dibandingkan dengan ibu-ibu yang bekerja di sekotor formal, serta terikat komitmen dengan institusi. Konflik yang muncul akibat peran sebagai ibu dan peran sebagai “pekerja”,  bisa jadi menguras energi dan emosi.

(7)  “Rencana hidup” ibu. Salah satu tugas psikologis dalam perkawinan itu adalah menjaga otonomi diri. Setiap ibu punya rencana dan keinginan di masa depannya. Seperti saya misalnya…saya punya rencaan untuk sekolah lagi. Saya juga punya jenjang karir yang ingin saya raih.

Faktor anak:

(1)  Ada anak-anak yang termasuk “high maintenance”. Rewelan, “tidak mudah dibujuk”, super aktif, susah mandiri,  atau bahkan memiliki kebutuhan khusus, ada anak-anak yang “low maintenance”.

(2)  Kebutuhan fisik dan psikologis dasar anak. Misalnya, kebutuhan anak menyusui selama 2 tahun.

Faktor pendukung:

(1)  Apakah ada pengasuh yang bisa diandalkan, yang punya ikatan kuat untuk kita “delegasikan” pengasuhan sebagian anak kita padanya.

(2)  Apakah si ayah adalah tipe ayah yang merasa harus terlibat pengasuhan anak, atau merasa bahwa ”tugasku mencari uang, tugasmu mengurus anak”. Karena, dukungan dari suami, baik berupa dukungan fisik (bantuan mengajak main anak, “pegang anak”) maupun emosional (bertoleransi terhadap berkurangnya servis sebagai istri), memberikan suntikan energi yang amat besar buat si ibu.

Nah, berdasarkan aspek2 di atas, ibu coba mengevaluasi diri. Menerima Azzam sepenuh hati, iya… susah untuk tak bahagia melihat si gendut berwajah lugu itu…apalagi sekarang udah bisa senyum manis dan ngobrol hakkeng-hakkeng…gak mau dituker ama apapun ! tapi apa yang buat ibu KEWALAHAN dan akibatnya jadi MENYEBALKAN??? Oooh… fisik ibu ternyata letoy. Sekarang hampir gak kuat begadang…Maka, kalau Hana dan Azzam rewel padahal kerjaan belum beres, maka tingkat kesabaran pun menurun drastis. Itu dari faktor ibu. Dari faktor anak??? Ibu merasa ampun2 dengan siblingnya Hana ke Azzam….baik yang indirect maupun yang vulgar…. segala macam teknik dan pendekatan sudah dicoba …tapi tetep aja teguran harus diberikan saat Hana teriak2 bangunin de Azzam yang tidurnya susaaaaah banget dan sensitif kalau denger suara..;( atau saat dia narik Azzam yang lagi dipangku ibu: “De Azzam, gantian dong dipangkunya….sana…sekarang de Azzam dipangku ama teh Ema…sanah!!”. Dan…satu hal yang cukup signifikan setelah kepulangan teh Ema minggu lalu adalah…berkurangnya support external dalam mengasuh anak2. Sekarang gak ada lagi yang bisa mengalihkan perhatian Hana saat lagi rewel, atau bantu bujuk mas Umar saat lagi susah…pfuih…..

Ada satu resource yang bisa ibu berdayakan lebih nih….si abah !!! hehe…selama ini terasa banget kalau dukungannya banyak menguatkan. Contohnya, 2 minggu setelah kelahiran Azzam…ibu merasa down banget dan gak berdaya,,,,Kondisi ibu belum pulih, Azzam masih merah, Hana rewelnya minta ampun, Umar rasanya jadi tak terkendali. Waktu itu hari Sabtu, si abah di Bandung tapi ada meeting. Ibu rasanya gak kuat menahan rasa “tak berdaya” itu. Akibatnya, ibu pun nelpon si abah. Tadinya sih mau curhat …tapi ternyata yang keluar cuman tangisan dan suara “anak-anak….”….. Karena tak mampu berkata-kata, setelah 1 menit nangis di telpon, telponnya ibu tutup. Lalu masuk sms dari si abah : “aku langsung pulang, meeting kubatalkan”. Sms itu cukup meniupkan kekuatan. Perasaan “I’m not alone, ada seseorang yang selalu siap berkorban dan membantu.” itu berefek langsung pada hilangnya perasan “tak berdaya” yang asalnya dirasakan. Meskipun “langsung pulang” itu ternyata = 2 jam karena macetnya Bandung di hari Sabtu, namun kedatangan si abah sudah tak penting lagi. Segera setelah menerima sms si abah, ibu berhenti menangis, lalu bisa berpikir jernih mengatasi perilaku Hana dan Umar, dengan lebih sabar…..

So, selain sungkem besok, ibu dan abah juga tampaknya harus mendiskusikan action plan yang jelas…..meningkatkan kualitas performance sebagai ibu buat anak-anak….mmmhhhmmmm…memang….ternyata profesi menjadi ibu lebih berat dibanding profesi menjadi psikolog dan dosen ;). Namun, dengan semangat “Laaa yukallifullahu nafsan illa wus’aha….” dan komitmen terhadap action plan….semoga ibu bisa….semoga kita bisa ya anak-anak, ya bah….;)

berapa banyak anak? catatan emak “the little four” (part one)

Kayaknya, besok ibu harus minta maaf yang sungguh-sungguh, atau bahkan kalau perlu, sungkem deh…sama Kaka, Umar dan Hana. Dengan cara mereka masing-masing, mereka menyatakan bahwa “setelah de Azzam lahir, ibu jadi menyebalkan” (itu bahasanya Umar). “Mas Umal paling sebel kalau ibu suaranya keras dan wajahnya cemberut”. Kalau bahasa Hana: “ibu, dede gak mau dimarahin terus sama ibu”….

Yups…yups…meskipun ibu ingin berargumen sekuat tenaga bahwa…ibu tau banget ibu  gak boleh marah-marah, ibu udah berusaha menahan sekuat tenaga untuk gak marah….tapi data empirik dari para responden yang lugu dan jujur itu, pastilah yang lebih valid;)

Hhhhmmmm….jadi ingat percakapan dengan seorang teman sebulan lalu. Via chatting, ia bertanya sesuatu yang “dalem banget….”. “teh, apa yang membuat teteh memutuskan untuk mempunyai anak banyak?” itu pertanyaannya. Sebelum menjawab, saya menghayati dulu bahwa ….ya, empat itu emang banyak. Kalau waktu punya anak 3, masih gak merasa “banyak” karena masih ada temen yang punya anak segitu. Tapi begitu empat….ya….memang “banyak”. Apalagi untuk ukuran statistika jaman sekarang. Banyak bukti yang mendukung bahwa “punya empat anak itu = banyak”. Misalnya, kalau bawa anak-anak jalan-jalan, ngecek dan ngumpulin 4 anak itu rada lama hehe….dan…sampai sekarang, belum pernah nemuin buku cerita yang tokoh keluarganya ada 4 orang anak 😉 Yang paling jelas sih reaksi kaget orang-orang kalau mengetahui bahwa saya sudah punya empat anak ….. kalau temen mas, begitu tau mas anaknya empat, langsung tanya: “istrimu gak kerja ya?”

Ups….jangan lama-lama menghayati pertanyaannya…harus segera mengetik jawaban dari pertanyaan teman saya itu….. Jawaban saya adalah: “sebenernya jumlah anak yang direncanakan sih 3, tapi dapet bonus Azzam akibat upaya yang kurang maksimal untuk konsisten dengan perencanaan hehe….Makanya…sekarang akan berusaha 1000% untuk tak tambah punya anak lagi”

Si teman saya bilang, kurang lebih seperti ini: “saya masih ragu untuk tambah anak, apalagi saya kerja….gimana menurut teteh? Saya masih ragu dengan kuantitas vs kualitas” (teman saya itu sudah punya 2 anak, dan bekerja di sebuah dinas).

Waduh…pertanyaan ini paaaaaas banget sama situasi saya. Waktu itu, saya merasa sedang KEWALAHAN. Itu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi saya. Kewalahan mengurus keempat anak. Waktu itu, Azka lagi kumat sensi-nya. Disuruh makan nangis, diingetin untuk gak kelamaan nonton TV marah n mengurung diri di kamar….Umar juga lagi kumat “oposisional”nya. Marah kalau diingetin jatah main gamenya abis, disuruh mandi-makan susyaaaaah banget….Hana….lagi sibling2nya sama Azzam….dan Azzam…..masih gak mau minum ASI perah dari botol. Ditambah lagi rencana teh Ema, pengasuh setia anak-anak selama 7 tahun lebih yang akan off bulan depan karena menikah…..membuat ibu …pusing tujuh keliling.

Maka, dengan mantap, jawaban saya pada teman saya adalah:

“mempunyai anak itu, komitmen seumur hidup yang harus direncanakan dengan amat-sangat matang. Keputusan tiap ayah-ibu untuk menambah anak atau menentukan jumlah anak yang akan mereka miliki, itu sangat personal. Dan yang penting, harus didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai strength and weaknesses kita sebagai ortu. Itu kalau kita mau anak kita banyak tapi berkualitas”.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan penghayatan saya mengenai kesiapan seorang ibu untuk memutuskan, mau punya anak banyak atau sedikit. Ini dimensinya banyak. Dan menurut saya, seorang ibu punya hak untuk ikut menentukan berapa banyak anak yang ingin ia kandung, lahirkan, urus dan didik. Bahkan ibu menurut saya adalah “decision makernya”. Karena, di kultur manapun, peran pengasuhan dan pendidikan anak masih bertumpu pada ibu. Mau ibunya kerja, mau ibunya gak kerja, riset-riset menunjukkan bahwa teteeeep…tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan itu ada di ibu. Oleh karena itu, kesiapan ibu menjadi penting. Mempunyai anak banyak itu butuh manajemen yang prima. Baik manajemen fisik, maupun emosi. Selain resource kualitas diri seorang ibu, faktor2 internal juga harus bisa dikenali oleh seorang ibu. Yang tak kalah penring adalah….menyiapkan faktor2 pendukung.

Kenapa harus gitu? Kayaknya ribet banget….yups…NO GAIN WITHOUT PAIN… kenapa kita punya anak?kenapa kita punya anak banyak? Buat muslim, anak itu adalah investasi. Anak bisa menjadi penyelemat di dunia, dan terlebih lagi …di akhirat nanti. Dengan catatan: anaknya sholeh-sholehah. Nah, mendidik anak buat jadi sholeh-sholehah itu, tak mudah men…..butuh kuantitas dan kualitas waktu. Kenapa titik berat saya pada ibu? Karena…ibu yang terlibat face to face lebih banyak dalam pengasuhan anak. Beda…bedaaaaa banget …. Berapa milyar pun yang dikucurkan ayah untuk membiayai anaknya, effortnya beda, dan jauh lebih ringan dibanding  dengan 24 jam menemani anak. Memahami kemarahannya, kesedihannya, kekesalannya….mengatasi konflik-konfliknya…..Gak percaya? Sok…para ayah, seminggu aja tukeran peran sama ibu-ibu, ngasuh anak…pasti angkat tangan 😉

Jadi, berapa banyak anak yang akan dimiliki, menurut saya akan lebih baik jika mempertimbangkan faktor berikut ini.

……bersambung ke part 2