…………..
Jadi, berapa banyak anak yang akan dimiliki, menurut saya akan lebih baik jika mempertimbangkan faktor berikut ini.
Faktor ibu:
(1) Kesiapan psikologis ibu. Ada ibu yang gak pake mikir kalau hamil dan melahirkan, tapi ada ibu yang mengalami pengalaman “traumatis” saat hamil dan melahirkan, lalu belum mau punya anak lagi, pahamilah…..Karena faktor penerimaan ibu terhadap kehamilan dan kelahiran seorang anak adalah komponen dasar ikatan ibu-anak yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya.
(2) Karekteristik psikologis ibu. Ada ibu-ibu yang bisa tahan mendengar rengekan anak-anak, ada yang gak tahan. Ada yang butuh privasi dan kesendirian, tak suka hingar bingar, ada yang bisa bertoleransi dengan kehebohan anak-anak.
(3) Kesiapan fisik dan manajemen waktu. Punya anak banyak itu…melelahkan. trus me !!! hehe…oleh karena itu, untuk ibu-ibu yang masih kesulitan mengatur waktu dan kegiatannya, maka fisik dan kemampuan manajemen waktunya mesti diupgrade dulu. Saya baru yakin mengatakan ini setelah mengentahui bahwa, ada seorang ibu yang memang tidak bisa mengurus anak lebih dari 1. Setiap melahirkan anak yang baru, ia kasih anaknya yang lebih tua pada saudara2nya. …..
(4) Tingkat kesabaran ibu. Untuk ibu-ibu yang mudah tergugah emosinya, maka….punya anak banyak akan jadi stressor yang sangat berat;) karena sebaik2nya anak-anak, ada masa2 dimana mereka membutuhkan limpahan kesabaran yang tak bertepi..
(5) Ada ibu yang engga pede, takut kalau gak bisa mendidik kalau punya anak banyak. Menurut pengalaman, salah satu yang berpengaruh pada hal ini adalah “standar” yang ditetapkan oleh ibu dalam mendidik anaknya. Misalnya, dulu teman saya stress banget saat suaminya minta ia hamil lagi. Menurutnya, dengan 2 anak sekarang ini, dia gak bisa jadi ibu yang baik, apalagi kalau nambah lagi. Setelah ngobrol2, ternyata teman saya ini punya standar yang tinggi dalam pengasuhan anaknya. Sengaja tak ada TV di rumahnya, karena ia tak ingin media merusak pikiran anak-anaknya. Konsekuensinya, ia banyak meluangkan waktu untuk menemani anaknya bermain dan belajar. “Saya pengen anak-anak saya bisa ngajinya sama saya”, katanya. Maka, ia pun selalu meluangkan diri untuk mengajar mengaji anak-anaknya. “Kalau ana-anak saya berantem, saya pengen selesaikan dengan tuntas. Pikiran saya harus full untuk mereka”. Begitu katanya. Jujur saja, saya sangat menghargai gagasan dan upaya si ibu itu. Tapi, saya juga pernah menyaksikan ibu yang punya 6 anak. Begitu usia si anak 2 tahun, anak-anaknya dimasukkan di daycare yang fullday. Lalu kalau bepergian, untuk mencegah “kehebohan”, masing2 anak pegang PS. Aman….Dua profil ibu yang berbeda…
(6) Peran dan kegiatan ibu. Menurut saya, ibu yang aktifitasnya fleksibel, tak terikat secara formal sehingga lebih bisa mengatur energi dan emosi secara lebih bebas, akan lebih mudah ber-anak banyak dibandingkan dengan ibu-ibu yang bekerja di sekotor formal, serta terikat komitmen dengan institusi. Konflik yang muncul akibat peran sebagai ibu dan peran sebagai “pekerja”, bisa jadi menguras energi dan emosi.
(7) “Rencana hidup” ibu. Salah satu tugas psikologis dalam perkawinan itu adalah menjaga otonomi diri. Setiap ibu punya rencana dan keinginan di masa depannya. Seperti saya misalnya…saya punya rencaan untuk sekolah lagi. Saya juga punya jenjang karir yang ingin saya raih.
Faktor anak:
(1) Ada anak-anak yang termasuk “high maintenance”. Rewelan, “tidak mudah dibujuk”, super aktif, susah mandiri, atau bahkan memiliki kebutuhan khusus, ada anak-anak yang “low maintenance”.
(2) Kebutuhan fisik dan psikologis dasar anak. Misalnya, kebutuhan anak menyusui selama 2 tahun.
Faktor pendukung:
(1) Apakah ada pengasuh yang bisa diandalkan, yang punya ikatan kuat untuk kita “delegasikan” pengasuhan sebagian anak kita padanya.
(2) Apakah si ayah adalah tipe ayah yang merasa harus terlibat pengasuhan anak, atau merasa bahwa ”tugasku mencari uang, tugasmu mengurus anak”. Karena, dukungan dari suami, baik berupa dukungan fisik (bantuan mengajak main anak, “pegang anak”) maupun emosional (bertoleransi terhadap berkurangnya servis sebagai istri), memberikan suntikan energi yang amat besar buat si ibu.
Nah, berdasarkan aspek2 di atas, ibu coba mengevaluasi diri. Menerima Azzam sepenuh hati, iya… susah untuk tak bahagia melihat si gendut berwajah lugu itu…apalagi sekarang udah bisa senyum manis dan ngobrol hakkeng-hakkeng…gak mau dituker ama apapun ! tapi apa yang buat ibu KEWALAHAN dan akibatnya jadi MENYEBALKAN??? Oooh… fisik ibu ternyata letoy. Sekarang hampir gak kuat begadang…Maka, kalau Hana dan Azzam rewel padahal kerjaan belum beres, maka tingkat kesabaran pun menurun drastis. Itu dari faktor ibu. Dari faktor anak??? Ibu merasa ampun2 dengan siblingnya Hana ke Azzam….baik yang indirect maupun yang vulgar…. segala macam teknik dan pendekatan sudah dicoba …tapi tetep aja teguran harus diberikan saat Hana teriak2 bangunin de Azzam yang tidurnya susaaaaah banget dan sensitif kalau denger suara..;( atau saat dia narik Azzam yang lagi dipangku ibu: “De Azzam, gantian dong dipangkunya….sana…sekarang de Azzam dipangku ama teh Ema…sanah!!”. Dan…satu hal yang cukup signifikan setelah kepulangan teh Ema minggu lalu adalah…berkurangnya support external dalam mengasuh anak2. Sekarang gak ada lagi yang bisa mengalihkan perhatian Hana saat lagi rewel, atau bantu bujuk mas Umar saat lagi susah…pfuih…..
Ada satu resource yang bisa ibu berdayakan lebih nih….si abah !!! hehe…selama ini terasa banget kalau dukungannya banyak menguatkan. Contohnya, 2 minggu setelah kelahiran Azzam…ibu merasa down banget dan gak berdaya,,,,Kondisi ibu belum pulih, Azzam masih merah, Hana rewelnya minta ampun, Umar rasanya jadi tak terkendali. Waktu itu hari Sabtu, si abah di Bandung tapi ada meeting. Ibu rasanya gak kuat menahan rasa “tak berdaya” itu. Akibatnya, ibu pun nelpon si abah. Tadinya sih mau curhat …tapi ternyata yang keluar cuman tangisan dan suara “anak-anak….”….. Karena tak mampu berkata-kata, setelah 1 menit nangis di telpon, telponnya ibu tutup. Lalu masuk sms dari si abah : “aku langsung pulang, meeting kubatalkan”. Sms itu cukup meniupkan kekuatan. Perasaan “I’m not alone, ada seseorang yang selalu siap berkorban dan membantu.” itu berefek langsung pada hilangnya perasan “tak berdaya” yang asalnya dirasakan. Meskipun “langsung pulang” itu ternyata = 2 jam karena macetnya Bandung di hari Sabtu, namun kedatangan si abah sudah tak penting lagi. Segera setelah menerima sms si abah, ibu berhenti menangis, lalu bisa berpikir jernih mengatasi perilaku Hana dan Umar, dengan lebih sabar…..
So, selain sungkem besok, ibu dan abah juga tampaknya harus mendiskusikan action plan yang jelas…..meningkatkan kualitas performance sebagai ibu buat anak-anak….mmmhhhmmmm…memang….ternyata profesi menjadi ibu lebih berat dibanding profesi menjadi psikolog dan dosen ;). Namun, dengan semangat “Laaa yukallifullahu nafsan illa wus’aha….” dan komitmen terhadap action plan….semoga ibu bisa….semoga kita bisa ya anak-anak, ya bah….;)
Recent Comments