Kayaknya, besok ibu harus minta maaf yang sungguh-sungguh, atau bahkan kalau perlu, sungkem deh…sama Kaka, Umar dan Hana. Dengan cara mereka masing-masing, mereka menyatakan bahwa “setelah de Azzam lahir, ibu jadi menyebalkan” (itu bahasanya Umar). “Mas Umal paling sebel kalau ibu suaranya keras dan wajahnya cemberut”. Kalau bahasa Hana: “ibu, dede gak mau dimarahin terus sama ibu”….
Yups…yups…meskipun ibu ingin berargumen sekuat tenaga bahwa…ibu tau banget ibu gak boleh marah-marah, ibu udah berusaha menahan sekuat tenaga untuk gak marah….tapi data empirik dari para responden yang lugu dan jujur itu, pastilah yang lebih valid;)
Hhhhmmmm….jadi ingat percakapan dengan seorang teman sebulan lalu. Via chatting, ia bertanya sesuatu yang “dalem banget….”. “teh, apa yang membuat teteh memutuskan untuk mempunyai anak banyak?” itu pertanyaannya. Sebelum menjawab, saya menghayati dulu bahwa ….ya, empat itu emang banyak. Kalau waktu punya anak 3, masih gak merasa “banyak” karena masih ada temen yang punya anak segitu. Tapi begitu empat….ya….memang “banyak”. Apalagi untuk ukuran statistika jaman sekarang. Banyak bukti yang mendukung bahwa “punya empat anak itu = banyak”. Misalnya, kalau bawa anak-anak jalan-jalan, ngecek dan ngumpulin 4 anak itu rada lama hehe….dan…sampai sekarang, belum pernah nemuin buku cerita yang tokoh keluarganya ada 4 orang anak 😉 Yang paling jelas sih reaksi kaget orang-orang kalau mengetahui bahwa saya sudah punya empat anak ….. kalau temen mas, begitu tau mas anaknya empat, langsung tanya: “istrimu gak kerja ya?”
Ups….jangan lama-lama menghayati pertanyaannya…harus segera mengetik jawaban dari pertanyaan teman saya itu….. Jawaban saya adalah: “sebenernya jumlah anak yang direncanakan sih 3, tapi dapet bonus Azzam akibat upaya yang kurang maksimal untuk konsisten dengan perencanaan hehe….Makanya…sekarang akan berusaha 1000% untuk tak tambah punya anak lagi”
Si teman saya bilang, kurang lebih seperti ini: “saya masih ragu untuk tambah anak, apalagi saya kerja….gimana menurut teteh? Saya masih ragu dengan kuantitas vs kualitas” (teman saya itu sudah punya 2 anak, dan bekerja di sebuah dinas).
Waduh…pertanyaan ini paaaaaas banget sama situasi saya. Waktu itu, saya merasa sedang KEWALAHAN. Itu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi saya. Kewalahan mengurus keempat anak. Waktu itu, Azka lagi kumat sensi-nya. Disuruh makan nangis, diingetin untuk gak kelamaan nonton TV marah n mengurung diri di kamar….Umar juga lagi kumat “oposisional”nya. Marah kalau diingetin jatah main gamenya abis, disuruh mandi-makan susyaaaaah banget….Hana….lagi sibling2nya sama Azzam….dan Azzam…..masih gak mau minum ASI perah dari botol. Ditambah lagi rencana teh Ema, pengasuh setia anak-anak selama 7 tahun lebih yang akan off bulan depan karena menikah…..membuat ibu …pusing tujuh keliling.
Maka, dengan mantap, jawaban saya pada teman saya adalah:
“mempunyai anak itu, komitmen seumur hidup yang harus direncanakan dengan amat-sangat matang. Keputusan tiap ayah-ibu untuk menambah anak atau menentukan jumlah anak yang akan mereka miliki, itu sangat personal. Dan yang penting, harus didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai strength and weaknesses kita sebagai ortu. Itu kalau kita mau anak kita banyak tapi berkualitas”.
Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan penghayatan saya mengenai kesiapan seorang ibu untuk memutuskan, mau punya anak banyak atau sedikit. Ini dimensinya banyak. Dan menurut saya, seorang ibu punya hak untuk ikut menentukan berapa banyak anak yang ingin ia kandung, lahirkan, urus dan didik. Bahkan ibu menurut saya adalah “decision makernya”. Karena, di kultur manapun, peran pengasuhan dan pendidikan anak masih bertumpu pada ibu. Mau ibunya kerja, mau ibunya gak kerja, riset-riset menunjukkan bahwa teteeeep…tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan itu ada di ibu. Oleh karena itu, kesiapan ibu menjadi penting. Mempunyai anak banyak itu butuh manajemen yang prima. Baik manajemen fisik, maupun emosi. Selain resource kualitas diri seorang ibu, faktor2 internal juga harus bisa dikenali oleh seorang ibu. Yang tak kalah penring adalah….menyiapkan faktor2 pendukung.
Kenapa harus gitu? Kayaknya ribet banget….yups…NO GAIN WITHOUT PAIN… kenapa kita punya anak?kenapa kita punya anak banyak? Buat muslim, anak itu adalah investasi. Anak bisa menjadi penyelemat di dunia, dan terlebih lagi …di akhirat nanti. Dengan catatan: anaknya sholeh-sholehah. Nah, mendidik anak buat jadi sholeh-sholehah itu, tak mudah men…..butuh kuantitas dan kualitas waktu. Kenapa titik berat saya pada ibu? Karena…ibu yang terlibat face to face lebih banyak dalam pengasuhan anak. Beda…bedaaaaa banget …. Berapa milyar pun yang dikucurkan ayah untuk membiayai anaknya, effortnya beda, dan jauh lebih ringan dibanding dengan 24 jam menemani anak. Memahami kemarahannya, kesedihannya, kekesalannya….mengatasi konflik-konfliknya…..Gak percaya? Sok…para ayah, seminggu aja tukeran peran sama ibu-ibu, ngasuh anak…pasti angkat tangan 😉
Jadi, berapa banyak anak yang akan dimiliki, menurut saya akan lebih baik jika mempertimbangkan faktor berikut ini.
……bersambung ke part 2
Recent Comments