Mari Kita Tetap Bahagia Meski Bukan Adam-Hawa

Konon katanya, orang yang paling bahagia di bumi ini adalah Nabi Adam dan Siti Hawa. Kenapa? Karena mereka gak punya mertua haha…

Joke itu menunjukkan bahwa….seringkali, hubungan antara menantu dan mertua tak terjalin dengan baik. Bahkan tak jarang mertua, menjadi sumber konflik antara pasangan suami istri. Biasanya sih antara menantu perempuan dan mertua perempuan….meskipun tak jarang juga konflik antara menantu laki-laki dan mertu perempuan, atau sebaliknya.

Dan ternyata, itu tak hanya terjadi di kultur Indonesia saja. Dr. Hans Evert, penggagas teori “couple resilience”, saat memberikan workshop Oktober tahun lalu menceritakan bahwa di kultur negaranya  -Selandia Baru-, ketidakharmonisan hubungan mertua-menantu pun sudah merupakan hal yang umum.

Sebelum menikah, pernah ada seorang teman perempuan yang menceriterakan bahwa beberapa tahun pernikahannya, ia tak pernah berkomunikasi dengan mertuanya. “Gue gak tau harus ngomong apa, beliau juga…jadi kalau ketemu, paling salaman, terus udah itu diem….bahkan kalau kita duduk sebelahan pun, diem aja….”. Si teman saya dan mertuanya memang beda suku dan bahasa.

Waduh, deg-degan juga denger cerita itu. Maklum, hal tersebut juga potensial terjadi pada saya. Waktu sebelum menikah memperkenalkan diri ke Emak dan Bapak calon mertua via surat aja, mas yang translate smua tulisan saya ke bahasa Jawa. Dan pas mas kirim balik surat saya versi bahasa Jawa, ampuuuuun gak ada satu pun kata yang saya mengerti….;)

Alhamdulillah kekhawatiran saya tak terbukti. Begitu bertemu emak dan bapak, terutama emak….mereka menggunakan bahasa Indonesia, meski terpatah-patah. Demikian sampai kurang lebih setahun…..setelah itu, walau tanpa ada persetujuan lisan, akhirnya emak mencampur bahasanya dengan abhasa Jawa, dan akhirnya, bahasa Jawa full kalau bicara dengan saya. Saya juga lebih senang. Gak tega liat emak mikir kalau berkomunikasi pake bahasa Indonesia;)

So, bermodalkan pengetahuan vocabulary bahasa jawa yang kurang lebih 20 kata (haha….) dan mengerahkan kemampuan memahami komunikasi non verbal, komunikasi kami berlangsung lancaaaaar……Emak berbahasa Jawa, saya coba tangkep intinya, dan merespons pake bahasa Indonesia. Amaaan….Kadang-kadang Azka suka tanya kalau saya lagi “ngobrol” sama Emak. “Bu, emang ibu ngerti tadi Yangti ngomong apa?” …… “ hehe….kayaknya sih tadi Yangti ngomongin saudaranya yang sakit…;)”. Tapi sikap “attending” yang diajarkan di mata kuliah konseling itu, amat sangat berguna!!! Buktinya….sampai sekarang emak gak pernah kapok “curhat”  sama saya hehe….

Sunda-Jawa Timur. Beda budaya? Pastinya. Banget. Apakah jadi permasalahan hubungan saya dengan emak? Tidak. 90% karena kontribusi tingkat toleransi Emak yang tinggi terhadap perbedaan yang ditunjukkan satu-satunya mantu dari “Sundo” ini. Walaupun emak “wong ndeso” dan hanya lulusan Sekolah Dasar, tapi emak sudah terbiasa menghadapi dan menghargai perbedaan. Lha wong kalau ketemu, keempat “cah lanang”nya, para master dan doktor di bidangnya masing-masing itu, kerjanya pasti diskusi, berdebat, berargumen tentang segala topik. Poleksosbudhankam ;)…..heboooooh banget….kalah lah…debat capres mah ;). Mbak Lis, satu-satunya anak Emak yang perempuan yang biasanya menutup diskusi itu dengan menengahi…

Terutama kalau ada beda waktu mulai ramadhan dan lebaran…..semalam suntuk bisa terjadi diskusi yang…..tak berujung pada persatuan….Besoknya, di rumah ini ada yang lebaran….ada yang masih puasa…. dan Emak, pasti ikut apa kata Kyai NU meskipun anak-anaknya sudah mempersuasi dengan beragam cara. Astronomi lah, madzhab ini itu lah….Emak dengerin sih…tapi …ya itu tadi…keputusan Emak akan lebaran kapan, tunggu instruksi pak Kyai 😉 Itu yang saya suka dari keluarga ini…. demokratis banget !!!

Obrolan-obrolan dengan mas dan beberapa kali berkunjung ke Kediri, sangat membantu untuk memahami isi pikiran dan perasaan Emak. Sehingga dengan demikian, jauh lebih mudah bagi saya untuk memahami keinginan, pilihan, dan perasaan yang Emak hayati, yang berbeda dengan sudut pandang saya.

Dengan demikian, saya memang harus selalu ber-alhamdulillah mengenai hubungan dengan Emak dan keluarga besar Kediri….

Beberapa kali mendapatkan klien dengan kasus konflik mertua-menantu…mmmhhhmmm…kadang, awalnya adalah masalah sepele, tapi kemudian “merajalela” ke beragam masalah, sampai tak tahu lagi ujung pangkalnya. Berdasarkan pengalaman, biasanya yang menjadi sumber awal permasalahan adalah:

  • mertua belum siap “melepas” anaknya untuk “orang lain” (gue yang susah-susah nyekolahin…eh, begitu lulus langsung nikah….bukannya nyenengin dulu ortu..;)
  • mertua kurang setuju dengan salah satu, salah dua atau salah banyak hal dari menantunya (anak gue segitu kerennya…masa cuman dapetin yang gitu doang? 🙂
  • menantu yang kurang memahami 2 poin di atas 😉

Saya ingin menutup tulisan ini dengan wejangan dari mamah Dedeh;). Kurang lebih begini wejangan beliau:

“Hei para menantu…sadarlah bahwa…kalian, ketemu sama suami kalian itu saat suami udah ganteng, udah bisa cari duit sendiri, nah…yang ngurus dari bayi, dari yang dia belum bisa apa-apa, itu emaknya….”

Karena saya masih sebatas berperan sebagai menantu, maka…saya cuman bisa mengajak teman-teman yang …mungkin, saat ini masih ada yang mengganjal dalam hubungannya dengan mertua…pemahaman terhadap sumber awal yang menjadi konflik dengan mertua, plus wejangan mamah Dedeh di atas bisa membuat kita lebih ringan untuk “mengalah” kalau ada perbedaan antara kita dengan beliau-beliau. Pasti kita mencintai suami kita. dan bagian dari mencintai suami kita  adalah, mencintai orang yang mencintai suami kita…yaitu ibu-ayahnya.

So, yuks…yuks…kita putuskan bahwa, meskipun kita tak sama dengan Nabi Adam dan Siti Hawa karena kita punya mertua, tapi kita akan tetap se-bahagia mereka;)

5 Comments (+add yours?)

  1. Putri Ayuningtyyas
    Aug 05, 2015 @ 11:13:10

    Assalamu’alaikumwrwb. Mba Fitri, Perkenalkan saya Putri. Alumnus Magister PIO Unpad angkatan 6. Saya baru seminggu ini membaca blog mba Fitri dimulai May 2012, namun serasa sudah mengenal dekat. hehehe…
    Tiba akhirnya saya membaca bagian ini, sangat, sangat mengena.
    Dari dulu rasanya ingin saya mendiskusikan topik ini, namun belum ada keberanian. Apakah mba Fitri bersedia bila saya hubungi untuk berdiskusi (atau bahkan konseling) untuk masalah ini? Mohon maaf kalau pertanyaannya sudah pernah diajukan dan mengganggu waktunya mba Fitri. Terima kasih banyak sebelumnya.

  2. fitriariyanti
    Aug 08, 2015 @ 11:14:03

    Hai Put….boleh Put…saya praktek di BPIP dengan perjanjian di hari Sabtu 😉

  3. putriayuningtyas
    Aug 08, 2015 @ 11:32:46

    Terima kasih banyak atas jawabannya mba. Untuk perjanjian saya kontak langsung ke BPIP saja mba??

  4. putriayuningtyas
    Aug 08, 2015 @ 11:34:03

    Terima kasih banyak atas jawabannya, mba. Untuk selanjutnya saya langsung kontak dengan BPIP saja, mba?

  5. fitriariyanti
    Aug 27, 2015 @ 22:51:43

    iya Put ….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: