Simulasi Poligami

Obral-obrol tentang poligami selalu membuat suasana menjadi seru. Dalam tataran apapun, dengan siapapun, pro kontra dari topik ini selalu bikin perbincangan menjadi bergairah. Begitu pula saat topik ini dibicarakan oleh abah dan ibu

Contohnya adalah seperti ini :
Abah:
“Aneh deh kenapa dirimu gak mengijinkan aku poligami? Padahal kalau aku poligami kan…. yang repot aku. Gak ada pengaruhnya sama dirimu. Dirimu kan tetep dapat nafkah lahir batin dari aku…kalau aku gak adil tinggal protes.. kalau aku… aku harus jelasin ke mama papa Purwakarta, jelasin ke keluarga kediri, trus kalau  ada keperluan bareng antara dua istri misalnya undangan di waktu yang sama, atau sakit bareng, atau pas bagi raport anak dari istri pertama dan kedua barengan……kan repot bener aku… dan yang aku gak kebayang banget adalah… kalau mudik lebaran gimana ya? Belum kepikiran aku solusinya”

….haha….
Jawab Ibu:
“Makanya bah, aku tuh tidak mengizinkan karena aku sayang sama dirimu. Berpoligami itu berat… adil itu berat….makanya kalau dirimu berpoligami, aku harus memastikan bahwa dirimu menjalankannya dengan baik dan benar, jadi kita bisa kumpul bareng lagi di syurga nanti… Aku harus memastikan dirimu memiliki bekal dan kualifikasi yang memadai untuk menjalankan  poligami…. Kalau engga, berarti aku menjerumuskanmu..”

Abah:
“Emang kualifikasi yang memadai itu kayak gimana? harus terukur dong….”

Ibu:
“Pertama : aspek finansial. Indikatornya gak ada cicilan apapun, udah punya uang untuk umroh sekeluarga tiap bulan…
Kedua : aspek kematangan emosi. Indikatornya 1 tahun berturut-turut gak bikin istri nangis. Kalau istri satu aja dibikin nangis….gimana kalau lebih dari satu…
Ketiga : aspek kekuatan spiritual. Indikatornya  tilawah satu juz per hari plus tahajud tiap malam. Sekurang2nya setahun berturut turut. Kalau kualifikasi itu sudah terpenuhi, baru kupertimbangkan apa akan mengijinkanmu atau engga”

Abah:

“Finansial….bisa lah… Terus dirimu perasaan udah lebih dari satu tahun deh gak nangis karena aku. Berarti aspek itu udah lulus ya… Yang berat yang ketiga nih….”

Minggu lalu, ibu punya argumen baru tentang poligami ini. Ini dia speech ibu :

“Bah… kata teori ya, sesuatu yang baru itu selalu menumbuhkan excitement, karena ada harapan akan sesuatu yang lebih baik. Jadi, kalau punya istri baru… walaupun mungkin dia gak lebih oke dari yang lama…. si suami pasti lebih excitement ke istri baru. Apalagi kalau emang lebih oke. Misal masakannya lebih enak… atau lebih penurut.. …Berat bah untuk adil pada situasi itu”. “Terus bah ya… ini pengalamn langsung ibu. Teori itu teh bener loh bah… itu abah beliin ibu laptop baru… walaupun yang lama sebenarnya masih oke, tapi setelah dateng yang baru, ada pembanding… yang lama jadi keliatan butuuuut banget. Jadi susah banget bah bisa adil itu.

Abah : “ah,itu mah dirimu aja… aku mah bisa adil …”

Ibu : “Nah……sini abah ikut ibu ke depan… ”

( di depana rumah kami, saat itu tengah hujan rintik-rintik. Ada dua mobil terparkir. Satu mobil kantor, ada di garasi dan tertutup cover mobil. Mobil merk baru yang langsung keluar dari dealer. Satu lagi Taruna kami. Kami beli second hand tentunya. Tak tertutup kanopi garasi dan tak bercover).

Ibu:

“Coba abah lihat perlakuan abah…. mana mobil yang lebih berjasa untuk kita dan anak-anak? Taruna bukan?  dan dia dibiarkan di luar…kehujanan… . Sedangman mobil baru? Di garasi, ditutup cover lagi… itu simulasi dari sikap  abah kalau berpoligami…”

Abah : “Hahahahaha….”

Ibu kenal jenis tawa itu. Tawa pengakuan …..ibu pun tersenyum penuh kemenangan…
Huhuy…. mari kita tunggu argumen kocak si abah berikutbya

Pesantren Yes Pesantren No

Kondisi zaman sekarang, banyak membuat orangtua menjadi merinding dan ketakutan akan pergaulan anak-anaknya. Narkoba,terorisme,  sex bebas, tawuran ….. yang dilakukan anak mulai usia SMP. Kejadian-kejadian yang dulu cuman sesekali kita liat di TV, sekarang ini tampak semakin mendekat. Maka, wajar kalau kemudian ada keinginan yang kuat dari orangtua untuk “memproteksi” dan “mensterilisasi” kehidupan dan pergaulan anaknya. Maka, lalu pesantren pun menjadi pilihan sekolah yang kini banyak “dilirik” orangtua.

Di kelas 4 ini, Azka cerita kalau beberapa temannya sudah berencana masuk pesantren. Ada sebuah pesantren di Subang yang masuknya cukup susah dan terkenal kualitasnya bagus. Ada juga yang akan lanjut ke pesantren di daerah jawa tengah, jawa timur dll.

Pesantren. Konon, ini adalah bentuk pendidikan khas Indonesia. Kalau dulu pesantren lekat dengan image “untuk kalangan tak berpunya” karena seringkali tak mempersyaratkan biaya, maka seiring perkembangannya kini citra pesantren menjadi lebih beragam. Ini terlihat dari namanya. Ada pesantren modern, pesantren kontemporer, dan bahasa terbarunya sekarang adalah “boarding school”. Citra pesantren yang dulu lekat dengan pendidikan untuk kalangan tak berpunya pun bergeser dengan munculnya beberapa boarding school yang menyasar orangtua kalangan menengah hingga kalangan “atas” dengan uang masuk puluhan juta rupiah.

Beberapa waktu terakhir ini, saya berkesempatan membantu sebuah pesantren-boarding school. Berikut saya coba abstraksikan beberapa pengalaman berinteraksi dengan orangtua, guru dan anak-anak di boarding school tersebut,  yang semoga bermanfaat bagi orangtua yang mempertimbangkan pesantren sebagai tempat pendidikan anak-anaknya juga bagi teman-teman yang berniat untuk membangun pesantren. amiiiiin…

(1) Faktor orangtua.

Saat ortu berniat untuk memasukkan anak ke pesantren, mohon dihayati…. apa tujuannya…dan apakah tujuan tersebut peluangnya lebih besar untuk  didapat di pesantren? Ortu yang memasukkan anaknya ke pesantren dengan tujuan karena pesantren membantu mereka mewujudkan visi mereka pada anak-anaknya, sebagai bagian dari pola asuh mereka, akan berbeda perilakunya dengan ortu yang memasukkan anaknya ke pesantren dengan alasan “bingung gimana ngadepinnya”, “terus terang saya gak sanggup memberikan pendidikan…soalnya kan kami berangkat jam setengah 5 pulang jam 11 malem…”.

Kelompok ortu pertama akan mempersiapkan dan mengkomunikasikan bagaimana tuntutan pesantren itu pada anak mereka. Mereka akan bertahap mengkondisikan anaknya untuk lebih mandiri misalnya….Golongan ortu kedua, mungkin tidak terlalu menghayati tuntutan pesantren terhadap anak mereka. Sebagian dari mereka justru berupaya membujuk anak-anaknya dengan hadiah, dan bahkan “membohongi” anaknya dengan hal-hal yang “enak” di pesantren. Kalau istilah iseng saya dan beberapa teman, ortu tipe ini “buang anak” ke pesantren. Pikiran liar saya membayangkan kalau komik mah ya…ada adegan ortu bawa anak ke pesantren, lalu si ortu bilang; “ustadz, nih anak saya tawuran terus, udah kenal alkohol lagi… nih, saya bayar sekian puluh juta. Tiga tahun lagi saya jemput harus udah sholeh ya, harus udah hafal 3 juz….”

Pengalaman berkomunikasi dengan beragam orangtua ini, membuat saya ingin memohon pada orangtua..hayatilah…apakah keputusan memasukkan anak ke pesantren adalah kebutuhan ortu (security feelings), atau kebutuhan anak?

(2) Faktor anak

Sebagian ortu merasa berbahagia karena keinginan untuk masuk pesantren justru berasal dari anak mereka. Tunggu dulu. PAstikan ortu mengetahui motif apa yang sebenarnya anak hayati, yang mendorongnya untuk mau ke pesantren. Terutama untuk anak usia SD yang akan masuk SMP. “Sebel soalnya di rumah dijailin kakak terus”, “pusing denger mama dan papa berantem terus” bisa jadi alasan anak. Masa sih? trust me… it is real….Alasan-alasan “superfisial” untuk menghindari situasi rumah yang tidak menyenangkan, pastilah bukan bekal yang tepat bagi  anak untuk menghadapi tuntutan pesantren.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah : tentunya karakteristik unik si anak. Dua hal yang membedakan pesantren dengan bentuk sekolah lain atau full day adalah, bahwa si anak menghabiskan 24 jam bersama “orang lain”, dengan jadwal yang relatif padat. Percaya atau tidak, tapi mata pelajaran di sebuah boarding school adalah … 22 pelajaran ! tuntutan diknas plus tuntutan pelajaran agama. Belum lagi hafalan Qur’an.

Menurut penelitian teman saya, ternyata peran orangtua bagi anak usia pra dan remaja masih sangat signifikan (buat mahasiswa juga ternyata, kalau dari hasil penelitiannya). Maka, perlu dipertimbangkan apakah anak kita “is oke” hidup tanpa adanya figur yang berfungsi sebagai orangtua (mengingat rata-rata, di pesantren rasio anak dan “ibu/bapak asrama” rata-rata cukup besar, sehingga untuk anak yang membutuhkan afeksi dari figur orangtua mungkin akan cukup berat dirasa).

Selanjutnya, sumber daya energi fisik dan psikis anak juga perlu diperhatikan, apakah anak  akan  “kuat atau tidak” menjalani padatnya aktifitas.

(3) Faktor pesantrennya itu sendiri

Ada beragam sistem pesantren. Pastikan orangtua dan anak sama-sama tahu betul bagaimana kegiatan dan nilai-nilai yang dianut di pesantren tersebut. Kalau anak punya minat tertentu yang kuat (misalnya main basket, atau menulis, atau menggambar dll) dan anak suka banget dengan kegiatannya, cek apakah di pesantren tersebut masih bisa terfasilitasi….

JAngan cuman berhenti sampai melihat fisik pesantren saja. Kenali aturan pesantren sampai ke tataran teknis. Misalnya, kalau di sebuah pesantren tidak boleh pegang hape dan laptop….kira-kira kita bisa menerima atau tidak? Apa prinsip hukuman yang diberikan? dll…dll…

Tujuan pembelajaran di pesantren selalu mulia. Menciptakan insan-insan yang unggul di dunia dan akhirat. Cerdas, Tanggap, Peduli, Produktif, dan ….. punya self regulation yang baik.

Mungkin ada beberapa diantara kita yang melihat bahwa ada beberapa anak yang di pesantren, saat liburan di rumah ortunya, “jiga kuda leupas tina gedogan”. Bebas !!!!! Atau orangtua yang “tidak tega” membangunkan anaknya untuk sholat subuh (kasian, kalau di pesantren kan bangunnya harus jam tiga..)…..saat itu terjadi, saatnya kita merenung dan mengevaluasi …apa tujuan kita memasukkan anak ke pesantren?

Buat ortu… yuks, kita tunjukkan keunggulan sistem pendidikan pesantren dengan membantu mengupayakan  agar anak kita menjadi “tershibgoh” setelah mengikuti pesantren (dan itu tak mungkin terjadi kalau kita tak hayati perasaan dan kebutuhan anak).

Buat penyelenggara pesantren…..niat mulia harus didukung oleh “ilmu alat” yang sesuai. Harapan ortu bahwa pesantren adalah “bengkel akhlak” tak bisa diubah. Maka, harus dilakukan upaya sungguh-sungguh, untuk memikirkan sistem bagaimana yang bisa membuat para santri itu selalu shalat tahajjud, di pesantren maupun di luar pesantren. Tak mau menyentuh materi pornografi, bukan saja saat di pesantren karena tak ada akses untuk itu, tapi juga saat mereka berada di luar, dimana di sekitar mereka banyak kesempatan namun mereka memilih tidak.

 

 

Penangkal Jitu Ejekan

Suatu hari, ibu iseng tanya mas Umar terkait pengalaman awal di sekolahnya yang sempat “down” karena diejek gara-gara dia belum bisa (tepatnya engga bisa) bilang “r”.

“Mas, masih ada yang ngejek mas umar gak bisa bilang r engga?” tanya ibu. “Engga … sekalang mah temen-temen mas Umal ngejek mas Umal mewalnainya colat-colet” katanya. Hehe…memang motorik halus Umar agak tertinggal. Tidak heran kalau kegiatan mewarnai, dia belum bisa full dan rapi. Lha wong nilai mewarnainya di raport dapet C hehe… “Terus, gimana perasaan mas Umar?” tanya ibu lagi. “Kalau kata ibu, emang ini kayak colat-colet?” katanya sambil menunjukkan hasil mewarnainya. “Ya, memang engga begitu rapih sih untuk anak kelas 1 SD, tapi mewarnai kan bukan keahlian mas Umar” kata ibu. “Oh iya yah…kan keahlian mas Umal mah…bla..bla..bla..” katanya….

Goood…Goood…ibu senang sekali dengan sikap mas Umar.

Ibu juga bertanya sama Kaka Azka, mengingat tak pernah ada “laporan” acara ejek-ejekan diantara temen2 Kaka. “Temen-temen Kaka ada yang suka ngejek gak?” tanya ibu. “Uh….banyak bu, suka..teman Kaka, **** disebutnya ketan gosong karena kulitnya item” kata Azka. “Kalau Kaka pernah ada yang ngejek engga?” tanya ibu lagi. “Pernah, ada yang bilang Kaka item” kata Azka. Ibu cukup kaget juga, mengingat sampai saat ini Kaka gak pernah cerita padahal dia tuh selalu cerita apapun secara detil. Kata si abah; “Harusnya Kaka jawab gini: yeee….kamu belum ketemu ibu aku sih…ibu aku lebih item tau” hahaha…..dasar si abah ! Eh, tapi ibu penasaran banget jadi tanya lagi sama Kaka; “terus Kaka jawab apa sama yang ngejek itu?” Kaka menjawab; “Ya Kaka jawab aja……ah, warna kulit mah gak penting!”

Goood…Goood….kali ini ibu merasa bahagiaaaaaa banget dengan sikap kaka Azka.

Yups…yups… ibu punya keyakinan bahwa gak bisa kita ngubah orang lain. Gak bisa kita menuntut orang lain untuk selalu supportif pada kita sesuai dengan cara yang kita inginkan.  Tapi kita punya pilihan sepenuhnya, mau bagaimana kita menyikapi “ejekan” atau situasi negatif apapun yang kita alami. Dan prinsip ini, ingin sekali ibu tanamkan pada anak-anak. Prinsip yang kedua yang ingin ibu tanamkan adalah, bahwa anak-anak ibu bisa memisahkan mana yang PENTING untuk dimaknakan dan mana yang TIDAK PENTING sehingga bisa diabaikan.

Kalau mau merenungi lebih mendalam, seseorang yang merasa ia SESEORANG , tak akan merasa down dengan kata-kata orang lain. Dan, bahwa ia adalah SESEORANG adalah hal yang perlu kita tumbuhkan dalam diri anak kita. Bahasa populernya mah KEPERCAYAAN DIRI.

Apakah menanamkan kepercayaan diri itu adalah menanamkan bahwa anak kita seseorang yang HEBAT? no no no… bukan. Studi mengenai faktor apa sih dalam individu yang membuat seseorang bisa “bertahan” mengalami beragam “ancaman”   menunjukkan bahwa orang yang “KUAT” bukanlah orang yang merasa bahwa ia BISA SEMUANYA. Orang yang TANGGUH adalah seorang yang “LENTUR”. Bahasa ilmiahnya “resilien”. Ia adalah seseorang yang paham bahwa ia punya kekuatan bla..bla..bla.. sekaligus juga punya kelemahan bla..bla..bla….. dan ia tetap merasa oke dengan kelemahannya tersebut.

Ada satu model yang diperkenalkan oleh Edith Grotberg (1999) mengenai faktor Resiliensi, adalah sebagai bertikut:

I have (aku punya…)

Faktor ”I have” adalah dukungan dan sumber daya eksternal yang bisa meningkatkan resiliency. Sebelum anak menyadari siapa dirinya (I am) atau mengetahui apa yang bisa ia lakukan (I can), anak memerlukan dukungan dan sumber daya dari lingkungan yang mengembangkan perasaan aman dan nyaman, yang merupakan dasar bagi pengembangan resiliency. Dukungan ini menjadi hal yang penting dalam tumbuh kembang anak.

I am (aku adalah…)

Faktor ”I am” adalah kekuatan personal dan internal anak, yang meliputi perasaan, sikap dan keyakinan yang ada dalam diri anak.

I Can (aku bisa….)

Faktor ”I can” adalah keterampilan sosial dan interpersonal anak. Anak mempelajari keterampilan sosial tersebut melalui orang yang berinteraksi dengannya dan dari orang-orang yang mengajari mereka.

Dalam faktor “I Have”, peran orangtua sangatlah penting, karena penghayatan “I Have” pada anak akan terbentuk melalui:

  • Adanya satu atau lebih figur dalam keluarga yang bisa ia percayai dan mencintai saya tanpa syarat
  • Adanya satu atau lebih figur di luar keluarga yang bisa ia percayai tanpa syarat
  • Adanya figur yang memberi batas terhadap perilakunya
  • Adanya figur yang menyemangati untuk menjadi mandiri
  • Adanya figur teladan yang baik
  • Adanya keluarga dan lingkungan yang stabil

Semoga ibu dan abah bisa menumbuhkan kepercayaan diri sekaligus kerendahan hati pada Kaka Azka, Mas Umar, Kaka Hana dan de Azzam.Amiiin…

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Annisa:9)

 

 

Benar vs Bijak

Zaman awal-awal menikah dulu, mas pernah “berguru” secara privat pada salah seorang ustadz di Bandung ini. Beliua pemimpin sebuah pesantren. Setiap pulang mengaji, mas pasti selalu cerita apa hasil pengajiannya dengan sang Ustadz.

Suatu hari, mas cerita bahwa hari itu sang Ustadz bercerita bahwa beliau sudah beberapa mendapatkan “desakan” dari beberapa pihak untuk berpoligami. Hal ini karena pihak-pihak tersebut menganggap si ustadz sudah mumpuni untuk berpoligami. Istrinya sendiri sudah memberikan kartu hijau. Sang ustadz menyampaikan, bahwa secara pribadi memang tak ada halangan bagi beliau untuk berpoligami. Calon yang ditawarkan atau menawarkan diri sudah ada beberapa, istri sudah mengizinkan, secara finansial sudah mencukupi, kemampuan bersikap adil….. ya…. akan dicoba dengan ilmu yang sudah ia miliki.

Hanya saja, ia memustuskan tak akan memilih jalan itu. “Masyarakat kita belum siap” kata beliau. “Saya khawatir kalau saya berpoligami, saya tak bisa lagi melakukan kebaikan sebanyak apa yang bisa saya lakukan saat tak berpoligami karena nilai-nilai yang ada di masyarakat masih menganggap buruk poligami tanpa menelisik satu demi satu kasusnya”.

Saya dan mas, menganggap sikap beliau adalah sikap yang bijak. Kalau beliau berpoligami, itu tak salah. Tapi tak berpoligami, adalah pilihan dan keputusan yang bijak. Pendapat saya dan mas ini bukan berarti bahwa person yang memilih poligami kemudan menjadi tak bijak menurut kami. Ini adalah salah satu contoh kasus dimana ada tingkatan yang lebih tinggi dari bersikap benar, yaitu bersikap bijak.

Ada banyak contoh kasus lainnya. Misalnya, seorang tokoh masyarakat yang memiliki simbol penegak kebenaran. Tidak salah ia memiliki dan menunjukkan kemewahan karena ia dikarunia rejeki materi yang berlimpah olehNya. Namun akan bijak jika ia tak menunjukkan kemewahannya dan lebih akrab dengan kalangan tak berpunya.

Ada banyak contoh lainnya dalam keseharian kita. Kita punya banyak peristiwa yang memberikan kita pilihan apakah kita “hanya” akan berbuat benar atau akan berbuat bijak. Menulis status, menshare informasi, dan seribu satu kegiatan lainnya. Seorang yang bijak, akan selalu menahan diri terlebih dahulu, mengolah dan berpikir matang, mempertimbangkan segala aspek saat melakukan suatu tindakan.

Saya ingin sekali sampai pada tingkatan bijak. Syukurlah, saya punya beberap senior yang sudah berada pada tahap itu. Mengamati cara mereka bicara, bersikap, berperilaku….. mengagumkan sekali…Di sisi yang sama, saya juga memiliki senior yang belum sampai pada tahapan itu. Dan menurut pengamatan saya, kebijakan itu tak terkait usia, gelar akademis, atau atribut2 lain. Ia lebih ditentukan oleh kesadaran dan penghayatan.

 

seribu satu ibu

Sebenarnya tulisan ini inginnya diposting pas hari ibu. Draftnya udah tersimpan lama….Tapi gak apa2 lah…”better late than never” bukan?

Saya sering bertanya dalam hati…..ibu yang baik itu seperti apa?

Dari dulu sampai sekarang, jawaban dari pertanyaan itu tetap sama. Jawabannya berupa kenangan. Kenangan saat sore hujan…kami berdua-saya dan adik saya- selesai main hujan-hujanan, telah mandi air hangat, pakai baju hangat, dan menonton rinai hujan  di ruang tamu. Lalu pisang goreng buatan mama pun tersaji. Hangat. Enak. Saya masih bisa merasakan rasanya sampai sekarang. Begitupun cireng isi nasi- penganan khas buatan mama.

Saya juga bisa menggambarkan baju-baju “seragam” lebaran saya dan adik saya, yang mama jahit dengan tangannya sendiri, tak lupa jas kecil hasil praktek ujian menjahit mama, yang saya pakai kalau cuaca dingin saat SD. Saya juga masing ingat renda-renda putih hiasan kursi hasil rajutan mama.

Saya ingat rutinitas mama. Tiap malam, beliau akan mengecek pensil-pensil kami dan merautkan satu persatu.  Pensil tajam membuat tulisan jadi bagus, kata mama. Pagi hari, setelah sarapan tersaji, saya dan adik akan antri untuk disisir, diikat dan diberi pita. Pilihannya mau kucir satu, kucir dua, kucir setengah, kepang satu, kepang dua…. Rambut harus diikat kalau sekolah. Biar tidak mengganggu konsentrasi….begitu kata mama.

Yups, jawaban dari pertanyaan di awal tulisan ini adalah pengalaman saya dengan mama. Begitulah gambaran ibu yang baik buat saya. Seperti mama. Ada secara fisik, lekat dengan kehidupan anak-anaknya. Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik.

Apakah saya ingin menjadi ibu yang baik? pastinya.  Tapi anehnya, saya tak sama sekali mengikuti jejak langkah mama. Dan aneh kuadratnya, meskipun tak seperti gambaran itu, saya tetap saja merasa “baik-baik saja”.

Seiring perjalanan hidup saya, terutama 10 tahun terakhir sejak saya menikah….saya melihat banyak fenomena pilihan hidup para ibu. Lalu kemudian tak hanya melihat, saya pun melihat, mengenal…..beragam macam pilihan ibu….

Saya amat sangat mengagumi teteh-teteh saya, ibu-ibu ber IPK tinggi dari PT-PT terbaik, yang menyimpan rapi ijazahnya, lalu menjadi ibu rumah tangga dengan satu alasan…..agar bisa mendidik anak-anaknya dengan optimal.

Tapi selanjutnya saya pun mengenal para ibu yang mengambil jalan lain. Para ibu yang tetap mengejar cita-citanya. Para ibu yang tetap menjalankan profesinya, para ibu yang tetap sekolah…keluar kota, bahkan keluar negeri. Dan para ibu yang tetap mengejar cita-citanya ini, pastinya “meninggalkan anak-anaknya”. Dalam hitungan jam per hari, hitungan hari, minggu, bulan, bahkan tahun.

Dulu, saya akan menilai ibu-ibu yang tetap mengejar cita-citanya ini, yang “menomorduakan” anak-anaknya itu, sebagai ibu yang egois. Tapi setelah saya mengenal mereka,  saya berubah pikiran.

Bahkan, ada satu kisah ibu yang membuat saya merenung mendalam dan menghayati kembali makna “ibu yang baik”.

Ia adalah senior saya. Sejak muda sudah terjun di dunia perlindungan ibu dan anak. Entah berapa ribu wanita korban KDRT yang sudah beliau bantu konseling, sampai mereka yang merasakan trauma bisa menjalani kehidupannya kembali dan bangkit….Saya beberapa kali bilang pada beliau, bahwa kalau nanti anak-anak saya sudah besar, saya ingin bergabung dengannya.

Suatu hari beliau ceritera, bahwa suatu waktu zaman dulu,  ia telah berjanji untuk pergi bersama suami dan anaknya yang waktu itu masih usia SD. Namun 2 jam sebelum pergi, ada telpon dari kepolisian, meminta beliau datang untuk membantu seorang wanita muda yang mengalami perkosaan. Beliau pun pergi. Ternyata kondisi dan situasi wanita korban perkosaan itu, membutuhkan bantuan yang lebih lama dari yang diperkirakan. Satu jam…dua jam…tiga jam…empat jam…. Beliau pun baru pulang jam 2 dini hari.

Sang suami sudah memahami situasi ini karena sudah puluhan kali mengalami. Tidak demikian dengan putri kecilnya yang masih berusia SD. Saat ia pulang, pintu kamar si putri terkunci, dengan tulisan tertempel di pintunya. “AKU BENCI MAMA. AKU GAK MAU BICARA LAGI SAMA MAMA. SELAMANYA. MAMA PEMBOHONG, TIDAK MENEPATI JANJI”. Mata beliau masih berkaca-kaca saat menceriterakan bagian itu pada saya, meskipun kejadiannya telah berpuluh tahun lalu.

“Saya bisa menghayati betapa marahnya dia…saya kembali mengevaluasi pilihan-pilihan hidup saya. Yang membuat saya tenang adalah pelukan suami saya yang berkata…tenang…dia masih marah. tapi dia akan mengerti…”.

Selama seminggu si putri menutup komunikasi dengan si ibu. Sarapan buatan ibu tak disentuh, sapaan ibu tak dijawab….sampai akhirnya si ibu memutuskan untuk menulis surat. Surat yang menyatakan betapa bingungnya ia saat jam-jam menjelang ia harusnya pergi dengan keluarganya. Lalu ia pun menceriterakan tak mungkin ia meninggalkan gadis muda yang begitu sakit, bingung, takut,putus asa, marah,  karena diperkosa 3 pemuda yang harus ia bantu. “Saat itu, akhirnya ibu memutuskan untuk menemani dia dibanding menemani kamu, nak …. itu karena saat itu, ada ayah yang menyertaimu….sedangkan wanita muda itu….saat itu, ia tak punya siapa-siapa…maafkan ibu kalau pilihan ibu salah menurutmu”.

Seminggu setelahnya, si putri masih tak bergeming. “Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa mungkin pilihan saya selama ini salah….saya juga amat sangat merasa… saya bukan ibu yang baik” kata beliau. Pagi harinya, si ibu menemukan surat dari si putri “Aku marah banget sama ibu. Tapi aku BANGGA punya ibu yang baik. Sekarang aku gak marah lagi. Tapi ibu masih punya utang loooh…”. Saya masih simpen surat itu sampai sekarang. Beliau menutup ceritanya.

……….

Yups… ada satu saat dimana saya berpikir … kalau pilihan ibu itu, bagai vektor-vektor (halah, so matematis…tapi bener ! visualisasi panah2 itu yang keluar di kepala saya). Ada yang mengarahkan kebaikan dirinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sepenuhnya,  ada yang berusaha membagi kebaikan dirinya pada pemenuhan keluarga dan pemenuhan kebutuhan diri serta lingkungannya, macam2 lah variasinya. Kebaikan seorang ibu, menurut saya adalah resultan dari kebaikan-kebaikan yang ia lakukan. Di dalam rumah dan di luar rumah. Maka, selama arah vektor itu positif… keberkahanlah yang akan ia dapatkan. Keberkahan dari apa yang ia lakukan di luar rumah akan  menjaga keluarganya untuk tetap baik.

Yups, selain kagum pada ibu2 yang ikhlas memendam cita-citanya di luar, saya juga menyimpan kekaguman yang sama pada ibu-ibu yang memutuskan beraktivitas di luar, namun pulang ke rumah dan menjalankan “second shift*” dengan ikhlas, tanpa mengeluh bahwa ia telah lelah di luar.

*second shift adalah istilah yang menggambarkan bahwa “ibu2 bekerja” biasanya tetap dituntut untuk melakukan tugas2 domestik sama baiknya dengan” ibu tak bekerja”.

Salam takzim buat seluruh ibu2 di seluruh dunia, yang meskipun memutuskan pilihan yang berbeda, namun pilihannya dilakukan atas kesadaran dan penghayatan serta keikhlasan…..