seribu satu ibu

Sebenarnya tulisan ini inginnya diposting pas hari ibu. Draftnya udah tersimpan lama….Tapi gak apa2 lah…”better late than never” bukan?

Saya sering bertanya dalam hati…..ibu yang baik itu seperti apa?

Dari dulu sampai sekarang, jawaban dari pertanyaan itu tetap sama. Jawabannya berupa kenangan. Kenangan saat sore hujan…kami berdua-saya dan adik saya- selesai main hujan-hujanan, telah mandi air hangat, pakai baju hangat, dan menonton rinai hujan  di ruang tamu. Lalu pisang goreng buatan mama pun tersaji. Hangat. Enak. Saya masih bisa merasakan rasanya sampai sekarang. Begitupun cireng isi nasi- penganan khas buatan mama.

Saya juga bisa menggambarkan baju-baju “seragam” lebaran saya dan adik saya, yang mama jahit dengan tangannya sendiri, tak lupa jas kecil hasil praktek ujian menjahit mama, yang saya pakai kalau cuaca dingin saat SD. Saya juga masing ingat renda-renda putih hiasan kursi hasil rajutan mama.

Saya ingat rutinitas mama. Tiap malam, beliau akan mengecek pensil-pensil kami dan merautkan satu persatu.  Pensil tajam membuat tulisan jadi bagus, kata mama. Pagi hari, setelah sarapan tersaji, saya dan adik akan antri untuk disisir, diikat dan diberi pita. Pilihannya mau kucir satu, kucir dua, kucir setengah, kepang satu, kepang dua…. Rambut harus diikat kalau sekolah. Biar tidak mengganggu konsentrasi….begitu kata mama.

Yups, jawaban dari pertanyaan di awal tulisan ini adalah pengalaman saya dengan mama. Begitulah gambaran ibu yang baik buat saya. Seperti mama. Ada secara fisik, lekat dengan kehidupan anak-anaknya. Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik.

Apakah saya ingin menjadi ibu yang baik? pastinya.  Tapi anehnya, saya tak sama sekali mengikuti jejak langkah mama. Dan aneh kuadratnya, meskipun tak seperti gambaran itu, saya tetap saja merasa “baik-baik saja”.

Seiring perjalanan hidup saya, terutama 10 tahun terakhir sejak saya menikah….saya melihat banyak fenomena pilihan hidup para ibu. Lalu kemudian tak hanya melihat, saya pun melihat, mengenal…..beragam macam pilihan ibu….

Saya amat sangat mengagumi teteh-teteh saya, ibu-ibu ber IPK tinggi dari PT-PT terbaik, yang menyimpan rapi ijazahnya, lalu menjadi ibu rumah tangga dengan satu alasan…..agar bisa mendidik anak-anaknya dengan optimal.

Tapi selanjutnya saya pun mengenal para ibu yang mengambil jalan lain. Para ibu yang tetap mengejar cita-citanya. Para ibu yang tetap menjalankan profesinya, para ibu yang tetap sekolah…keluar kota, bahkan keluar negeri. Dan para ibu yang tetap mengejar cita-citanya ini, pastinya “meninggalkan anak-anaknya”. Dalam hitungan jam per hari, hitungan hari, minggu, bulan, bahkan tahun.

Dulu, saya akan menilai ibu-ibu yang tetap mengejar cita-citanya ini, yang “menomorduakan” anak-anaknya itu, sebagai ibu yang egois. Tapi setelah saya mengenal mereka,  saya berubah pikiran.

Bahkan, ada satu kisah ibu yang membuat saya merenung mendalam dan menghayati kembali makna “ibu yang baik”.

Ia adalah senior saya. Sejak muda sudah terjun di dunia perlindungan ibu dan anak. Entah berapa ribu wanita korban KDRT yang sudah beliau bantu konseling, sampai mereka yang merasakan trauma bisa menjalani kehidupannya kembali dan bangkit….Saya beberapa kali bilang pada beliau, bahwa kalau nanti anak-anak saya sudah besar, saya ingin bergabung dengannya.

Suatu hari beliau ceritera, bahwa suatu waktu zaman dulu,  ia telah berjanji untuk pergi bersama suami dan anaknya yang waktu itu masih usia SD. Namun 2 jam sebelum pergi, ada telpon dari kepolisian, meminta beliau datang untuk membantu seorang wanita muda yang mengalami perkosaan. Beliau pun pergi. Ternyata kondisi dan situasi wanita korban perkosaan itu, membutuhkan bantuan yang lebih lama dari yang diperkirakan. Satu jam…dua jam…tiga jam…empat jam…. Beliau pun baru pulang jam 2 dini hari.

Sang suami sudah memahami situasi ini karena sudah puluhan kali mengalami. Tidak demikian dengan putri kecilnya yang masih berusia SD. Saat ia pulang, pintu kamar si putri terkunci, dengan tulisan tertempel di pintunya. “AKU BENCI MAMA. AKU GAK MAU BICARA LAGI SAMA MAMA. SELAMANYA. MAMA PEMBOHONG, TIDAK MENEPATI JANJI”. Mata beliau masih berkaca-kaca saat menceriterakan bagian itu pada saya, meskipun kejadiannya telah berpuluh tahun lalu.

“Saya bisa menghayati betapa marahnya dia…saya kembali mengevaluasi pilihan-pilihan hidup saya. Yang membuat saya tenang adalah pelukan suami saya yang berkata…tenang…dia masih marah. tapi dia akan mengerti…”.

Selama seminggu si putri menutup komunikasi dengan si ibu. Sarapan buatan ibu tak disentuh, sapaan ibu tak dijawab….sampai akhirnya si ibu memutuskan untuk menulis surat. Surat yang menyatakan betapa bingungnya ia saat jam-jam menjelang ia harusnya pergi dengan keluarganya. Lalu ia pun menceriterakan tak mungkin ia meninggalkan gadis muda yang begitu sakit, bingung, takut,putus asa, marah,  karena diperkosa 3 pemuda yang harus ia bantu. “Saat itu, akhirnya ibu memutuskan untuk menemani dia dibanding menemani kamu, nak …. itu karena saat itu, ada ayah yang menyertaimu….sedangkan wanita muda itu….saat itu, ia tak punya siapa-siapa…maafkan ibu kalau pilihan ibu salah menurutmu”.

Seminggu setelahnya, si putri masih tak bergeming. “Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa mungkin pilihan saya selama ini salah….saya juga amat sangat merasa… saya bukan ibu yang baik” kata beliau. Pagi harinya, si ibu menemukan surat dari si putri “Aku marah banget sama ibu. Tapi aku BANGGA punya ibu yang baik. Sekarang aku gak marah lagi. Tapi ibu masih punya utang loooh…”. Saya masih simpen surat itu sampai sekarang. Beliau menutup ceritanya.

……….

Yups… ada satu saat dimana saya berpikir … kalau pilihan ibu itu, bagai vektor-vektor (halah, so matematis…tapi bener ! visualisasi panah2 itu yang keluar di kepala saya). Ada yang mengarahkan kebaikan dirinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sepenuhnya,  ada yang berusaha membagi kebaikan dirinya pada pemenuhan keluarga dan pemenuhan kebutuhan diri serta lingkungannya, macam2 lah variasinya. Kebaikan seorang ibu, menurut saya adalah resultan dari kebaikan-kebaikan yang ia lakukan. Di dalam rumah dan di luar rumah. Maka, selama arah vektor itu positif… keberkahanlah yang akan ia dapatkan. Keberkahan dari apa yang ia lakukan di luar rumah akan  menjaga keluarganya untuk tetap baik.

Yups, selain kagum pada ibu2 yang ikhlas memendam cita-citanya di luar, saya juga menyimpan kekaguman yang sama pada ibu-ibu yang memutuskan beraktivitas di luar, namun pulang ke rumah dan menjalankan “second shift*” dengan ikhlas, tanpa mengeluh bahwa ia telah lelah di luar.

*second shift adalah istilah yang menggambarkan bahwa “ibu2 bekerja” biasanya tetap dituntut untuk melakukan tugas2 domestik sama baiknya dengan” ibu tak bekerja”.

Salam takzim buat seluruh ibu2 di seluruh dunia, yang meskipun memutuskan pilihan yang berbeda, namun pilihannya dilakukan atas kesadaran dan penghayatan serta keikhlasan…..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: