Benar vs Bijak

Zaman awal-awal menikah dulu, mas pernah “berguru” secara privat pada salah seorang ustadz di Bandung ini. Beliua pemimpin sebuah pesantren. Setiap pulang mengaji, mas pasti selalu cerita apa hasil pengajiannya dengan sang Ustadz.

Suatu hari, mas cerita bahwa hari itu sang Ustadz bercerita bahwa beliau sudah beberapa mendapatkan “desakan” dari beberapa pihak untuk berpoligami. Hal ini karena pihak-pihak tersebut menganggap si ustadz sudah mumpuni untuk berpoligami. Istrinya sendiri sudah memberikan kartu hijau. Sang ustadz menyampaikan, bahwa secara pribadi memang tak ada halangan bagi beliau untuk berpoligami. Calon yang ditawarkan atau menawarkan diri sudah ada beberapa, istri sudah mengizinkan, secara finansial sudah mencukupi, kemampuan bersikap adil….. ya…. akan dicoba dengan ilmu yang sudah ia miliki.

Hanya saja, ia memustuskan tak akan memilih jalan itu. “Masyarakat kita belum siap” kata beliau. “Saya khawatir kalau saya berpoligami, saya tak bisa lagi melakukan kebaikan sebanyak apa yang bisa saya lakukan saat tak berpoligami karena nilai-nilai yang ada di masyarakat masih menganggap buruk poligami tanpa menelisik satu demi satu kasusnya”.

Saya dan mas, menganggap sikap beliau adalah sikap yang bijak. Kalau beliau berpoligami, itu tak salah. Tapi tak berpoligami, adalah pilihan dan keputusan yang bijak. Pendapat saya dan mas ini bukan berarti bahwa person yang memilih poligami kemudan menjadi tak bijak menurut kami. Ini adalah salah satu contoh kasus dimana ada tingkatan yang lebih tinggi dari bersikap benar, yaitu bersikap bijak.

Ada banyak contoh kasus lainnya. Misalnya, seorang tokoh masyarakat yang memiliki simbol penegak kebenaran. Tidak salah ia memiliki dan menunjukkan kemewahan karena ia dikarunia rejeki materi yang berlimpah olehNya. Namun akan bijak jika ia tak menunjukkan kemewahannya dan lebih akrab dengan kalangan tak berpunya.

Ada banyak contoh lainnya dalam keseharian kita. Kita punya banyak peristiwa yang memberikan kita pilihan apakah kita “hanya” akan berbuat benar atau akan berbuat bijak. Menulis status, menshare informasi, dan seribu satu kegiatan lainnya. Seorang yang bijak, akan selalu menahan diri terlebih dahulu, mengolah dan berpikir matang, mempertimbangkan segala aspek saat melakukan suatu tindakan.

Saya ingin sekali sampai pada tingkatan bijak. Syukurlah, saya punya beberap senior yang sudah berada pada tahap itu. Mengamati cara mereka bicara, bersikap, berperilaku….. mengagumkan sekali…Di sisi yang sama, saya juga memiliki senior yang belum sampai pada tahapan itu. Dan menurut pengamatan saya, kebijakan itu tak terkait usia, gelar akademis, atau atribut2 lain. Ia lebih ditentukan oleh kesadaran dan penghayatan.