Kondisi zaman sekarang, banyak membuat orangtua menjadi merinding dan ketakutan akan pergaulan anak-anaknya. Narkoba,terorisme, sex bebas, tawuran ….. yang dilakukan anak mulai usia SMP. Kejadian-kejadian yang dulu cuman sesekali kita liat di TV, sekarang ini tampak semakin mendekat. Maka, wajar kalau kemudian ada keinginan yang kuat dari orangtua untuk “memproteksi” dan “mensterilisasi” kehidupan dan pergaulan anaknya. Maka, lalu pesantren pun menjadi pilihan sekolah yang kini banyak “dilirik” orangtua.
Di kelas 4 ini, Azka cerita kalau beberapa temannya sudah berencana masuk pesantren. Ada sebuah pesantren di Subang yang masuknya cukup susah dan terkenal kualitasnya bagus. Ada juga yang akan lanjut ke pesantren di daerah jawa tengah, jawa timur dll.
Pesantren. Konon, ini adalah bentuk pendidikan khas Indonesia. Kalau dulu pesantren lekat dengan image “untuk kalangan tak berpunya” karena seringkali tak mempersyaratkan biaya, maka seiring perkembangannya kini citra pesantren menjadi lebih beragam. Ini terlihat dari namanya. Ada pesantren modern, pesantren kontemporer, dan bahasa terbarunya sekarang adalah “boarding school”. Citra pesantren yang dulu lekat dengan pendidikan untuk kalangan tak berpunya pun bergeser dengan munculnya beberapa boarding school yang menyasar orangtua kalangan menengah hingga kalangan “atas” dengan uang masuk puluhan juta rupiah.
Beberapa waktu terakhir ini, saya berkesempatan membantu sebuah pesantren-boarding school. Berikut saya coba abstraksikan beberapa pengalaman berinteraksi dengan orangtua, guru dan anak-anak di boarding school tersebut, yang semoga bermanfaat bagi orangtua yang mempertimbangkan pesantren sebagai tempat pendidikan anak-anaknya juga bagi teman-teman yang berniat untuk membangun pesantren. amiiiiin…
(1) Faktor orangtua.
Saat ortu berniat untuk memasukkan anak ke pesantren, mohon dihayati…. apa tujuannya…dan apakah tujuan tersebut peluangnya lebih besar untuk didapat di pesantren? Ortu yang memasukkan anaknya ke pesantren dengan tujuan karena pesantren membantu mereka mewujudkan visi mereka pada anak-anaknya, sebagai bagian dari pola asuh mereka, akan berbeda perilakunya dengan ortu yang memasukkan anaknya ke pesantren dengan alasan “bingung gimana ngadepinnya”, “terus terang saya gak sanggup memberikan pendidikan…soalnya kan kami berangkat jam setengah 5 pulang jam 11 malem…”.
Kelompok ortu pertama akan mempersiapkan dan mengkomunikasikan bagaimana tuntutan pesantren itu pada anak mereka. Mereka akan bertahap mengkondisikan anaknya untuk lebih mandiri misalnya….Golongan ortu kedua, mungkin tidak terlalu menghayati tuntutan pesantren terhadap anak mereka. Sebagian dari mereka justru berupaya membujuk anak-anaknya dengan hadiah, dan bahkan “membohongi” anaknya dengan hal-hal yang “enak” di pesantren. Kalau istilah iseng saya dan beberapa teman, ortu tipe ini “buang anak” ke pesantren. Pikiran liar saya membayangkan kalau komik mah ya…ada adegan ortu bawa anak ke pesantren, lalu si ortu bilang; “ustadz, nih anak saya tawuran terus, udah kenal alkohol lagi… nih, saya bayar sekian puluh juta. Tiga tahun lagi saya jemput harus udah sholeh ya, harus udah hafal 3 juz….”
Pengalaman berkomunikasi dengan beragam orangtua ini, membuat saya ingin memohon pada orangtua..hayatilah…apakah keputusan memasukkan anak ke pesantren adalah kebutuhan ortu (security feelings), atau kebutuhan anak?
(2) Faktor anak
Sebagian ortu merasa berbahagia karena keinginan untuk masuk pesantren justru berasal dari anak mereka. Tunggu dulu. PAstikan ortu mengetahui motif apa yang sebenarnya anak hayati, yang mendorongnya untuk mau ke pesantren. Terutama untuk anak usia SD yang akan masuk SMP. “Sebel soalnya di rumah dijailin kakak terus”, “pusing denger mama dan papa berantem terus” bisa jadi alasan anak. Masa sih? trust me… it is real….Alasan-alasan “superfisial” untuk menghindari situasi rumah yang tidak menyenangkan, pastilah bukan bekal yang tepat bagi anak untuk menghadapi tuntutan pesantren.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah : tentunya karakteristik unik si anak. Dua hal yang membedakan pesantren dengan bentuk sekolah lain atau full day adalah, bahwa si anak menghabiskan 24 jam bersama “orang lain”, dengan jadwal yang relatif padat. Percaya atau tidak, tapi mata pelajaran di sebuah boarding school adalah … 22 pelajaran ! tuntutan diknas plus tuntutan pelajaran agama. Belum lagi hafalan Qur’an.
Menurut penelitian teman saya, ternyata peran orangtua bagi anak usia pra dan remaja masih sangat signifikan (buat mahasiswa juga ternyata, kalau dari hasil penelitiannya). Maka, perlu dipertimbangkan apakah anak kita “is oke” hidup tanpa adanya figur yang berfungsi sebagai orangtua (mengingat rata-rata, di pesantren rasio anak dan “ibu/bapak asrama” rata-rata cukup besar, sehingga untuk anak yang membutuhkan afeksi dari figur orangtua mungkin akan cukup berat dirasa).
Selanjutnya, sumber daya energi fisik dan psikis anak juga perlu diperhatikan, apakah anak akan “kuat atau tidak” menjalani padatnya aktifitas.
(3) Faktor pesantrennya itu sendiri
Ada beragam sistem pesantren. Pastikan orangtua dan anak sama-sama tahu betul bagaimana kegiatan dan nilai-nilai yang dianut di pesantren tersebut. Kalau anak punya minat tertentu yang kuat (misalnya main basket, atau menulis, atau menggambar dll) dan anak suka banget dengan kegiatannya, cek apakah di pesantren tersebut masih bisa terfasilitasi….
JAngan cuman berhenti sampai melihat fisik pesantren saja. Kenali aturan pesantren sampai ke tataran teknis. Misalnya, kalau di sebuah pesantren tidak boleh pegang hape dan laptop….kira-kira kita bisa menerima atau tidak? Apa prinsip hukuman yang diberikan? dll…dll…
Tujuan pembelajaran di pesantren selalu mulia. Menciptakan insan-insan yang unggul di dunia dan akhirat. Cerdas, Tanggap, Peduli, Produktif, dan ….. punya self regulation yang baik.
Mungkin ada beberapa diantara kita yang melihat bahwa ada beberapa anak yang di pesantren, saat liburan di rumah ortunya, “jiga kuda leupas tina gedogan”. Bebas !!!!! Atau orangtua yang “tidak tega” membangunkan anaknya untuk sholat subuh (kasian, kalau di pesantren kan bangunnya harus jam tiga..)…..saat itu terjadi, saatnya kita merenung dan mengevaluasi …apa tujuan kita memasukkan anak ke pesantren?
Buat ortu… yuks, kita tunjukkan keunggulan sistem pendidikan pesantren dengan membantu mengupayakan agar anak kita menjadi “tershibgoh” setelah mengikuti pesantren (dan itu tak mungkin terjadi kalau kita tak hayati perasaan dan kebutuhan anak).
Buat penyelenggara pesantren…..niat mulia harus didukung oleh “ilmu alat” yang sesuai. Harapan ortu bahwa pesantren adalah “bengkel akhlak” tak bisa diubah. Maka, harus dilakukan upaya sungguh-sungguh, untuk memikirkan sistem bagaimana yang bisa membuat para santri itu selalu shalat tahajjud, di pesantren maupun di luar pesantren. Tak mau menyentuh materi pornografi, bukan saja saat di pesantren karena tak ada akses untuk itu, tapi juga saat mereka berada di luar, dimana di sekitar mereka banyak kesempatan namun mereka memilih tidak.
Recent Comments