Sejak 30 tahun yang lalu, di negara-negara barat sono, para peneliti mulai tertarik untuk meneliti subjek baru dalam konteks pengasuhan anak, yaitu : ayah. Ada dua hal yang mendasari mengapa seorang ayah kini juga disorot. Dua hal tersebut adalah:
(1) Adanya trend peningkatan jumlah ibu yang bekerja. Di Amerika, didapatkan data bahwa pada tahun 1950, hanya 12% ibu yang memiliki anak prasekolah yang bekerja. Di tahun 1983 meningkat menjadi 50% dan di tahun 1997, jumlah ibu bekerja dengan anak usia prasekolah adalah 2/3nya (Bureau of Labor Statistic, 1986, 1997). Bekerjanya ibu di luar rumah tidak diimbangi oleh adanya fasilitas pengasuhan anak, sehingga mau tidak mau kemudian ayah dituntut untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak.
(2) Perkembangan sosial lain yang membuat keberadaan ayah bagi anak-anaknya menjadi sorotan adalah semakin banyaknya keluarga yang tanpa ayah. Data di Amerika menunjukkan bahwa pada tahun 1997, 24% anak tinggal hanya bersama ibunya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada dampak pada anak sebagai akibat dari ketidakhadiran ayah mereka?
Di Indonesia, saya belum berhasil menemukan data yang komprehensif untuk menggambarkan apakah jumlah ibu bekerja juga menjadi bertambah. Demikian juga mengenai gambaran poin yang kedua (apakah ada yang bisa memberikan info, kira2 data itu bisa saya dapat dari mana? maklum saya mah kuper 😉 Namun dari pengamatan, tampaknya dua fenomena diatas mulai terlihat juga di Indonesia.
Selama 30 tahun tersebut, banyak hasil telah didapat. Telah ada model yang komprehensif mengenai “fatherhood” dan “fathering” . Model psikologis, sosiologis, antropologis, ekonomis, dan model yang interdisipliner. Salah satu yang sering dipublikasikan adalah mengenai “dampak keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak”. Intinya adalah; keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak berdampak positif pada anak di usia manapun, baik itu pada aspek kognitif (kemampuan problem solving, prestasi akademik, dll dll), emosi (regulasi, awarenes, dll dll) dan sosial (kepercayaan diri, kepekaan, dll dll). Dengan hasil-hasil tersebut, maka gambaran ayah yang “baik” sekarang bergeser ke konsep ayah yang lebih “hangat” dan “afektif” pada anak-anaknya.
Itu di negara2 “western” sonoh. Di Asia, pada International Conference on Fatherhood in 21st Century Asia: Research, Interventions, and Policies di Singapura 3 tahun lalu, disimpulkan bahwa para ayah di Asia masih “tertinggal jauh” dalam kegiatan melibatkan diri dalam pengasuhan anak.
Saya sendiri, meskipun penelitian di Indonesia mengenai dampak keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak belum banyak yang melakukan, tapi saya meyakini bahwa ayah, memang harus terlibat dalam pengasuhan anak. Tidak saja efeknya buat anak, tapi juga buat si ayah sendiri. Seorang rekan senior saya pernah menyatakan bahwa ia mengkondisikan hubungan yang “romantis” antara ayah dan anak-anaknya. Saya masih ingat kata-kata beliau: “sejelek-jeleknya ibu, dia tuh pasti dicari sama anak, dibutuhkan oleh anak. Tapi ayah? kalau dia tak meng-eksis-kan dirinya buat anak-anaknya, tak akan ada “jejak”nya dalam kehidupan anak”….
Yups…yups…saya meyakini bahwa peng-alam-an dan penghayatan “keayahan” itu, adalah “sesuatu” buat si ayah. Jadi, buat ibu-ibu….memang harus mendorong dan mengkondisikan agar ayah mau melibatkan diri dalam kehidupan putera-puterinya.
Berikut adalah faktor-faktor yang bisa menjadi pendorong, namun juga bisa jadi penghambat keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak:
(1) Kesehatan mental ayah
Ayah yang “sehat mental” akan jauuuuh lebih berkualitas dalam hubungan dengan anak-anaknya dibandingkan ayah-ayah yang kurang sehat mental; misalnya memiliki adiksi tertentu, atau emosinya sangat labil, dll.
(2) Harapan mengenai peran keayahan
Sikap ayah terhadap perannya sebagai ayah memprediksi kualitas hubungan dan ikatan emosi dengan anak pada usia anak 12 bulan . Positif parenting ayah juga berkorelasi kuat dengan apakah kehamilannya diharapkan atau tidak. Ada banyak penelitian juga yang mengkaji bagaimana para pria itu “bertransisi” menjadi seorang “Ayah” baik dalam kognisi maupun emosi. Seruuuu deh penelitian-penelitiannya teh. Intinya, menurut saya sih…seperti juga seorang ibu yang melakukan upaya “menyiapkan diri” untuk menjadi seorang ibu yang baik, harus ada awareness juga pada seorang pria ketika statusnya berubah menjadi “ayah”.
(3) Hubungan dengan ibu
Ayah yang memiliki hubungan yang positif dengan ibu akan lebih terlibat dengan kehidupan anak. Penelitian juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki keyakinan bahwa ayah tidak akan mampu dan kurang pantas melakukan kegiatan domestik dan pengasuhan anak akan menghambat keterlibatan ayah untuk terlibat dengan anak-anaknya. Pandangan ibu mengenai pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dan kepuasan karena ayah terlibat dalam pengasuhan anak memprediksi frekuensi dari keterlibatan ayah. Jadi, kalau si ayah enggan untuk “dekat” dengan anak-anaknya, mungkin perlu dilihat bagaimana hubungan si ayah dengan ibu. Poin kedua adalah, seringkali justri ibu yang menjadi “gatekeeper”, menghalangi keterlibatan si ayah dengan beragam alasannya.
(4) Keluarga asal ayah
Hubungan ayah dengan anggota keluarganya maupun teman-temannya juga merupakan faktor penting . Laki-laki yang menerima lebih banyak dukungan emosional dari tempat kerja dan keluarga asalnya memiliki anak yang lebih merasa “aman”. Ingatan ayah mengenai pengalaman masa kecilnya juga mempengaruhi keterlibatan mereka dengan anak-anak mereka. Tapi, ini bukan berarti bahwa seorang laki-laki yang tidak memiliki pengalaman positif dengan ayah menjelma menjadi seperti ayahnya itu. Ingat….ingat…manusia punnya satu hal yang tak dimiliki makhluk lain, yaitu : BELAJAR !
(5) Latar belakang dan faktor kontekstual
Status sosial ekonomi ayah jelas mempengaruhi hubungannya dengan istri maupun anaknya. Ayah yang memiliki tingkat pendidikan tinggi lebih sering bermain dengan anaknya dibandingkan ayah-ayah yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah . Pencapaian akademis ayah berkorelasi dengan jumlah waktu yang diberikan ayah untuk melakukan pengasuhan.
(6) Karakteristik anak
Semua hubungan sosial antara ayah dengan anak adalah proses yang sifatnya transaksional. Keterlibatan ayah dengan anaknya akan dipengaruhi oleh karakteristik anak, respons serta perilaku anak akan dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku ayah.
(7) Kebijakan publik
Kebijakan publik berdampak pada jumlah, frekuensi, dan jenis keterlibatan ayah. Misalnya: jam kerja ayah, jenis dan tempat kerja ayah.
Nah… faktor-faktor diatas memang hasil penelitian dalam konteks kondisi ayah di “western” sono. Bagaimana dengan di Indonesia? Itulah yang sedang coba saya pahami. Harus dimulai dari persepsi mengenai konsep “ayah” dalam kultur kita. Itulah yang berusaha saya “garap” dalam roadmap penelitian saya. Sudah ada beberapa hasil, misalnya …konsep ayah dan penghayatan peran ayah bagi orang di desa dan di kota beda loh…. lalu jenis aktifitas yang dilakukan ayah yang berasal dari suku tertentu, ternyata berbeda dengan ayah dari suku lainnya….penelitian lainnya sedang berjalan dan sedang direncanakan. Moga2 beberapa tahun ke depan sudah ada model yang fit mengenai fatherhood di Indonesia.
Yang jelas, pengetahuan mengenai peran ayah dalam pengasuhan anak buat saya pribadi, “ultimate goal”nya adalah…“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Annisa:9). Apalagi menurut seorang ustadz, tokoh pengasuhan anak yang diungkap dalam AlQur’an adalah seorang ayah, yaitu Lukman.
A man may biologically father a child, but that does not guarantee that he will be a father
Menjadi ayah yang hebat hanya membutuhkan satu syarat, yaitu: MAU !!!
Recent Comments