Di tahun-tahun belakangan ini, muncul sebuah profesi baru: motivator. Kalau dimaknai dari bahasanya, motivator adalah seorang yaag memotivasi. Memotivasi artinya memberikan energi untuk bergerak mencapai apa yang diinginkan. Biasanya, seorang motivator adalah seorang yang memiliki kemampuan orasi yang baik. Biasanya mereka bisa “memukau” orang dengan kata-katanya yang bersemangat dan menanamkan keyakinan pada orang-orang yang sedang dimotivasinya bahwa “kamu bisa mencapai dan melakukan apapun yang kamu mau !!!”
Mmmmhhh… dalam profesi sebagai psikolog, saya sering dihadapkan pada situasi, dimana saya harus berhadapan, dan sayangnya harus “berbeda pendapat” dengan para “motivator” ini. Mereka bukan nama-nama yang kita kenal atau yang sering muncul di TV. Mereka adalah guru dan orangtua. Yang meyakini bahwa SETIAP ANAK BISA JADI APAPUN. SETIAP ANAK BISA MEMAHAMI APAPUN, SETIAP ANAK BISA MENCAPAI PRESTASI AKADEMIK APAPUN.
Yah, sebut saja saya pesimistis. Tapi saya tidak sependapat dengan kata-kata yang saya cetak dengan huruf kapital di atas. Di awal-awal menjalankan profesi, terus terang saja saya suka agak ragu menyampaikan “keterbatasan” seorang anak pada guru ataupun orangtua. Namun semakin banyak kasus yang saya temui, semakin banyak menemukan bukti yang menunjang pengetahuan dan keyakinan saya, kini saya lebih “argumentatif” dan lebih “assertive” saat saya menyatakan ketidaksetujuan saya terhadap kata-kata di atas.
Saya meyakini bahwa, seperti yang tertulis eksplisit dalam AlQur’an, Allah mencipatakan setiap makhluknya dalam kondisi yang terbaik, namun unik. Untuk menemukan keunikan setiap anak, diperlukan “ilmu alat”. Observasi dari orangtua, maupun alat-alat yang bisa menemukan keunikan tersebut. Karena setiap manusia itu uniklah…saya tak sepakat bahwa : “SETIAP ORANG BISA JADI ENTERPREUNEUR!!!!” Saya juga tidak setuju kalau kalau seorang dengan kecerdasan yang tergolong Cerdas Istimewa (IQ diatas 130, Skala WISC) “BISA JADI APA SAJA YANG DIA MAU. Yups, dia mungkin bisa masuk jurusan apapun lewat UMPTN dengan mudah. Mungkin dia bisa memasuki seluruh jurusan teknik di ITB, atau jurusan kedokteran manapun. Namun, untuk jadi insinyur yang enjoy dan unggul di pekerjaannya? untuk jadi dokter yang happy dengan profesinya? itu memerlukan keunikan lain dari dirinya.
Apalagi kalau bicara mengenai anak berkebutuhan khusus. Sekarang saya siap beradu argumen dengan siapapun yang bilang bahwa “MEREKA PASTI BISA SAMA DENGAN ANAK LAIN” …. tanpa perlu ada upaya pendekatan khusus untuk memahami keunikan mereka dan melakukan upaya sesuai keunikan mereka.
Ada satu contoh kasus yang paling membuat saya yakin. Ini adalah kasus anak dengan kondisi mentally retarded (MR), atau bahasa indonesianya Tuna Grahita. Menurut link http://slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=71, berikut keterangan mengani tunagrahita ini.
Pengertian tunagrahita sebagai:
1. Kelainan yg meliputi fungsi inelektual umum di bawah rata-rata (Sub-avarage).yaitu IQ 84 kebawah sesuai tes;
2. Kelainan yg muncul sebelum usia 16 tahun;
3. Kelainan yg menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Pengertian tunagrahita yang lain,sebagai berikut:
1. Fungsi intelektualnya yg lamban yaitu IO 70 ke bawah
berdasarkan tes inteligensi buku;
2. Kekurangan dalam perilaku adatif.
3. Terjadi pada masa perkembangan,yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut:
1. EDUCABLE
Anak pada kelompok ini masih mempunyi kemampuan Dalam akademik setara dengan anak regular pada kelas 5 Sekolah dasar.
2. TRAINABLE
Mempunyi kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri,dan penyesuaian sosial sangat terbatas kemampuannya untuk mendapat pendidikan secara akademik.
3. lCustodia
Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan Khusus. Dapat melatih anak tentang dasar –dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif.
Penggolongan tunagrahita untuk keperluan pembajaran sebagai berikut:
1. taraf perbatas (borderline) dalam pendidikan disebut sebagai lamban Berajar (slow learner) dengan lQ 70-85.
2. tunagrahita mampu didik (educabie mentally retarded ) dengan iQ 50-75 atau 75.
3. tunagrahita mampu latih (trainabie mentally retarded ) lQ 30 50 atau iQ 35-55.
4. 4.tunagrahita butuh rawat (dependent or protoundly mentally retarded )
Dengan lQ dibawah25 atau 30
Nah, berdasarkan teori yang relatif sama dengan keterangan di atas, ada seorang anak yang setelah diasses IQnya 40, saya sarankan untuk mendapatkan pengetahuan yang bertujuan untuk mengurus diri sendiri. Namun para motivator yang terdiri dari guru dan orangtua menyatakan optimisme mereka bahwa pasti anak ini bisa belajar. “Dia tuh bisa bu, cuman males aja”. Begitu kata mereka. Dan meskipun saya sudah mencoba mendengarkan, berupaya menampilkan data-data yang menunjukkan bahwa anak ini memiliki keterbatasan bl..bla..bla.. di lain sisi ia punya kelebihan bla..bla..bla.. yang bisa dikembangkan (dan itu bukan di area akademik)… dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan terhadap anak lainnya….. Beragam teknik konseling yang saya gunakan mental, para motivator itu tetap berkeras memberikan pengajaran yang sesuai dengan umur si anak. Maka, di sekolah yang menyebut dirinya sekolah inklusi itu pun, si anak ini tetap naik kelas. Teruuuuus…sampai dengan ia berada di kelas 3 SMP. Di kelas ini, mereka minta saya asesmen kembali. Saya sediiiiiiih sekali.. Anak ini, bertahun-tahun diajarkan di kelas, belum juga hafal huruf a sampai z dengan benar. Meunlis juga masih terbalik-balik. Sebaliknya, saat ia haid, ia belum tau bagaimana cara mengurus dirinya. Ia masih sering “kabur” dari lingkungan rumah dan sekolah. Duh….duh…duh…
Bandingkan dengan anak kedua. Sama-sama perempuan. sama-sama berIQ yang tergolong “trainable MR”. Hanya si ibu, ketika mendapatkan informasi tersebut, langsung bisa menerima. Ia pun menjadi paham kenapa anak ini, seluruh tahap perkembangannya jauh lebih lambat dibanding anak lain seusianya, dan mengapa walaupun dengan beragam cara ia mengajarkan pelajaran pada si anak, si anak susah mengerti. Maka, si ibu pun mencari beragam informasi. Sampai ia menemukan sebuah sekolah khusus untuk anak tunagrahita. SLB. Ibu itu mengatakan; “Jujur saya sebenarnya malu bu, kalau ditanya orang, anaknya sekolah di SLB. Tapi saya lihat dan saya pikir, ini sekolah terbaik untuk anak saya”. DAn, si anak pun sekolah di sana. Dengan sistem pendidikan dan guru-guru yang paham betul akan keunikannya. Di sana, ia belajar warna. Tapi tujuannya untuk memberikan pemahaman bahwa kalau ia lihat tanda berwarna merah, itu berarti bahaya. Diajarkan beragam simbol, untuk memahami tanda-tanda yang akan ia lihat dalam kehidupan di kesehariannya. Ia tau kalau lampu merah mobil berhenti, dimana ia harus menyebrang, ia dikenalkan dengan orang-orang yang harus ia mintai bantuan saat tersesat; misalnya satpam dan polisi, ia juga diajarkan mengenai identitasnya, agar kalau tersesat orang bisa membantunya…ia juga diajarkan untuk mengurus dirinya. Makan sendiri, mandi sendiri, berkomunikasi non verbal, tau apa yang harus ia lakukan saat haid…..Cukup. Memang hal-hal itulah yang ia perlukan.
Ia tidak bisa membaca banyak, tak bisa memahami banyak. Tapi ia memahami semua yang ia butuhkan untuk menjaga dirinya. Yups, itulah menurut saya makna dari “optimalisasi potensi”. Memaksimalkan apa yang sudah Allah berikan, untuk mencapai yang terbaik yang ia bisa, sesuai kemampuannya.
Maka, sekali lagi saya menyatakan bahwa saya bukan motivator. Saya tidak akan selalu mengatakan pada semua orang bahwa “ANDA BISA”, “ANAK ANDA PASTI BISA”. Tapi saya akan mengatakan, “APA YANG BISA, DAN APA YANG TIDAK BISA” dilakukan/dicapai. Plus pendekatan yang paling tepat sesuai dengan keunikan anak.
Tanpa mengurangi rasa empati pada ayah-ibu yang harus menghadapi kenyataan bahwa anak-anaknya “tak seperti anak lainnya”. Saya paham, mengatakan bahwa anak kita yang “memiliki kebutuhan khusus” sekolah di tempat yang sama dengan anak lain, di kelas yang sama dengan anak seusianya, itu jauh lebih melegakan dibandingkan mengatakan bahwa anak kita sekolah di sekolah khusus.Tapi saya ingin mengatakan bahwa…”Allah menciptakan mereka dengan kondisi terbaik. Bukan bahwa mereka bisa melakukan dan mencapai semuanya, tapi karena mereka bisa menjadi yang terbaik, sesuai dengan kondisi mereka”.
Mar 11, 2013 @ 16:06:07
Itu namanya “amanah akan ilmu”;
Tidak mengkhianati prinsip yang dianut,
tidak kalut meski cuma berjalan sendiri di jalan keyakinan
apalagi menggadaikan kebenaran demi keuntungan duniawi….