Minggu lalu, selama seminggu sebagai “dosen muda” (cihuy….masih disebut muda hehe…) saya mengikuti pelatihan “Penulisan Artikel Ilimiah untuk Jurnal Internasional”. Trainernya adalah seorang pak dosen yang dalam setahun berhasil mempublish 4 paper di jurnal internasional. Hari Senin, hari pertama beliau memberikan pelatihannya, beliau mengatakan bahwa “….untuk bisa menulis paper ilmiah, kita harus memiliki jadwal waktu menulis yang rutin”. Beliau mencontohkan, beliau sendiri setiap hari Sabtu jam 8-11 akan “menghilang”. “Hape saya matikan, saya tidak akan bisa ditemui dan diganggu siapapun. Seminggu 3 jam itulah saya mengharuskan diri saya untuk menulis” begitu kata beliau.
Langsunglah kami, para emak-emak bergosip menanggapi kata-kata beliau. Yang intinya adalah…”haduuuuuuh, mana bisa kayak gitu….anak-anak kita mau dikemanain….lha wong mau ngimel bentar aja….minta ampun susahnya. Tiap buka laptop, pasti langsung direcokin anak-anak”… Ah, terus terang saja saya merasa lega … ternyata nasib saya sama dengan yang lain haha….Selanjutnya, Pak Trainer bertanya kepada kami…kapan waktu luang yang bisa kami manfaatkan untuk menulis paper. Semua emak menjawab “malam….setelah anak-anak tiduuuuuuur….” 😉
Dua minggu lalu, masih di rangkaian acara pelatihan “Kompetensi Dasar Dosen” ini kami ber outbound-ria. Dalam sesi yang dipandu teman-teman tim psikologi, ada satu sesi semacam “life time reflection”. Di sesi ini, masing-masing kami harus menghayati titik-titik penting dalam perjalanan karir kami sebagai dosen, baik yang positif maupun negatif. Hasil refleksi kami itu lalu kami presentasikan dalam kelompok kecil. Kebetulan saya sekelompok dengan 2 emak…. Saya sampai tidak bisa menahan genangan air mata saya…. tema-tema yang terungkap dari para emak itu tak lain dan tak bukan adalah….konflik antara kesempatan prestasi yang bisa dicapai dengan kodrat sebagai istri dan ibu. Banyak potensi prestasi yang tak bisa diraih oleh para emak ini.
Yups…..yups… “karena kita perempuan”…. saya sangat setuju dengan ungkapan dari sobat saya, seorang sahabat yang kami sering saling curhat mengenai beragam situasi yang membuat kita “gubrak”, yang selalu saja hot issuenya adalah konflik antara cita-cita dan keinginan kita sebagai individu versus peran sebagai istri dan ibu. Pengen menerima tawaran sekolah ke luar negeri, pengen join research, pengen ikut conference ini -itu, pengen ikut pelatihan ini-itu, pengen penelitian ini-itu, pengen ikut wokshop ini-itu, pengen nulis paper ini-itu VERSUS family time, anak sakit, komplain suami, gak ada pembantu, mendukung suami yang tengah menghadapi masalah, menu makan sehat, nemenin belajar anak-anak, dll…dll….Situasi demikian membuat kaki kami rasanya pengen lari tapi keiket…tentunya dalam situasi-situasi tertentu membuat “gubrak”.
Hhhmmm….berarti bener dung ya, kata para feminis sekuler bahwa…. menikah itu, menjadi penghambat wanita untuk maju. Tapi….kok saya gak setuju ya? kenapa….? saya ingin mengutip kata-kata seorang juara lomba games komputer dari korea (saya tonton di bbc, perlombaannya sepuluh jam nonstop dan tingkat dunia haha….); yang tak bisa ikut bertanding lagi tahun depannya karena usianya sudah di luar kriteria. “Kalau saya bisa jadi yang terbaik dalam lomba ini, berarti saya bisa jadi yang terbaik dalam bidang lain”.
Jadi…. menurut saya…. seorang perempuan yang high achiever, tak akan benar-benar terikat kakinya. Ia akan terus mencari celah dan potensinya tetap akan “menyeruak” dalam sisi-sisi kehidupannya. Seorang perempuan yang high achiever, meskipun ia menjadi ibu rumah tangga, tak akan menjadi ibu rumah tangga “biasa”. Ia akan mengasuh anak-anaknya, dengan upaya terbaik yang ia bisa (duh, sering minder deh sama ibu-ibu RT yang wawasannya mengenai gizi dan kesehatan anak selangit). Sebagian ibu RT yang high achiever ini, tak akan betah tinggal diam, mereka akan produktif. Maka, biasanya potensi hebat yang mereka miliki “menyeruak” dalam beragam bentuk: bisnis yang home based, pembangunan komunitas, dll dll.
Begitupun dengan emak-emak yang memilih untuk berkontribusi di ranah profesional. Emak-emak ini, akan amat terlatih untuk mengatur pikiran dan emosinya antara urusan domestik dan profesional. Cirinya, emak-emak ini akan seimbang dalam kehidupannya. Ia tegak kokoh berdiri karena ia berprestasi di rumah maupun di luar rumah, sesuai STANDAR TERTINGGI YANG IA TETAPKAN. Jadi, bisa jadi ia tak bisa mencapai cita-cita tertinggi dalam karirnya. Bisa jadi ia tak bisa selalu mengantar anaknya ke sekolah. Tapi yang pasti, emak-emak yang menyadari perannya dengan sepenuh hati, akan mencapai kebahagiaan tertinggi yang bisa ia raih.
Saya tahu itu karena itulah yang saya lihat di sekitar saya, dari para emak teman-teman dan senior saya.
Itulah untungnya kita sebagai perempuan. Karena kita perempuan, kita selalu diasah untuk menjadi bijak, melalui pilihan-pilihan yang selalu harus kita buat, yang seringkali tidak harus dibuat oleh para laki-laki 😉
Hari Kartini 2013
Recent Comments