Minggu lalu Umar pergi ke sekolah dengan cucuran air mata dan terisak-isak. Salah satu LKS yang diberikan gurunya seminggu lalu terselip entah dimana. “Enggak mau sekolah”….katanya sambil terisak dan memeluk ibu. mmmmmhhhh…
Umar pergi sekolah dengan terisak atau air mata menggenang di matanya bukan terjadi kali ini saja. Alasannya beragam. Yang ibu ingat, misalnya dasinya gak ketemu. Atau waktu tasnya dicuci karena ada buah busuk dan ia harus pake tasnya waktu TK.
Meskipun memang membutuhkan energi psikis, namun saya berupaya memotivasi diri sendiri untuk memanfaatkan situasi saat anak-anak mengalami “masalah” untuk mengajarkan bagaimana caranya mengatasi masalah tersebut. Azka juga dulu seperti itu. Malah lebih heboh kalau nangis….tapi seiring dengan waktu, kini saya sudah lepas tangan. Saat mengalami masalah, dia sudah bisa menyelesaikannya sendiri. Paling dia minta dukungan atau minta pendapat saya. Sebagai emak yang harus membagi waktunya dengan segala macam urusan, tentulah saya sangat senang dengan hal ini 😉
Kemampuan problem solving merupakan kemampuan yang sangat penting dimiliki oleh siapapun, termasuk anak kita. Konon, banyak hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun diri orang lain bisa terjadi saat seseorang tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ia hadapi. Akhir-akhir ini kita dibuat tercengang dengan banyaknya kejadian ‘sepele’ yang penyelesaian masalahnya begitu dramatis. Anak membunuh ibu karena tak dibelikan motor yang ia inginkan, anak gantung diri karena malu diejek temannya, anak membunuh temannya dengan sadis hanya karena pertengkaran kecil, suami membakar istri karena cemburu….naudzubillahi min dzalik… semoga kejadian-kejadian tersebut tak pernah terjadi pada kita, keluarga atau pada teman-teman kita.
Kemampuan problem solving memang merupakan ‘higher order thinking skill’ atau kemampuan berpikir level tinggi. Artinya, ia mempersyaratkan kemampuan intelektual yang cukup kompleks. Namun, apakah artinya orang yang pinter selalu punya kemampuan problem solving yang baik? Ternyata tidak. Kalau tidak percaya, lihat aja sekitar kita. Ada orang-orang bertitel akademik tinggi namun tak berdaya membuat prioritas yang tepat dalam hidupnya,misalnya…. dan banyak contoh lainnya. Yups..yups… kemampuan problem solving ternyata juga terkait dengan kematangan emosi seseorang loh…. Jadi, kalau pengelolaan emosi seseorang tak matang, bisa melumpuhkan kekuatan rasionya. Contohnya. Seseorang yang impulsif dan tak bisa menahan keinginannya untuk membeli barang-barang bermerk…bisa jadi keinginan yang tak terkelola itu melumpuhkan daya pikirnya untuk menentukan prioritas pengelolaan keuangannya.
Mengingat pentingnya kemampuan ini… kapan sih kita harus mulai mengenalkan dan mengajarkan kemampuan problem solving pada anak-anak kita? Secara psikobiologis, memang kemampuan problem solving pada individu berkembang seiring perkembangan sang CEO otak, yaitu prefrontal korteks. Dan kematangan otak bagian ini konon belum sepenuhnya matang sampai usia 25 tahun. Apakah itu artinya kita baru perlu mengajarkan kemampuan problem solving saat si prefrontal cortex sudah matang? Hohoho… tentu tidak. Kenyataannya, selain prinsip nature-nurture, masalah yang dihadapi oleh anak kita juga tak menunggu sampai usia 25 tahun.
Apa yang harus diajarkan pada anak mengenai problem solving? menurut pengalaman saya, pada tahap awal kita ajarkan 2 prinsip mengatasi masalah. Yaitu (1) problem focused coping dan (2) emotion focused coping.
Problem focused coping adalah cara menyelesaikan masalah dengan mengubah situasi. Kita gunakan cara ini saat kita menghadapi persoalan yang memang situasinya bisa kita ubah. Artinya, bisa kita selesaikan masalahnya. Misal: kayak kasus Umar kemaren. LKSnya ilang….saya bantu cari di seantero rumah. Lalu setelah gak ketemu, saya bantu tlp gurunya, minta LKS yang baru. Itu akhirnya yang membuat dia mau sekolah walaupun masih terus terisak…
Emotion focused coping adalah cara menyelesaikan masalah dengan mengubah emosi kita. Kita gunakan cara ini saat kita menghadapi persoalan yang situasinya gak bisa kita ubah, di luar kontrol kita. Misalnya, waktu awal sekolah Umar pengen “pindah sekolah” karena temen-temennya ngejek dia karena gak bisa bilang “r”. Itu adalah situasi yang uncheangable. Makanya saya bantu dia untuk mengubah perasaannya, da saya gak tau gimana caranya membuat dia bisa bilang “r”, dan juga gak bisa minta temen2nya gak mengejek dia.
Menurut saya, prinsip dasar pemecahan masalah tersebut sangat penting untuk dikenalkan pada anak. Karena, kadang kita sebagai orang dewasa pun suka “lupa” dengan prinsip ini. Ada situasi yang changeable, kita malah mengubah emosi kita…itu membuat kita jadi “cemen” hehe…gak mau berusaha…prefrontal cortexnya gak terasah. Atau sebaliknya. Permasalahan yang uncheangable, kita paksain untuk ubah situasinya… jadi we prustrasi…
Bisa gitu anak paham? bisa……yakinlah….hehe…Sekali lagi, memang sih…membutuhkan kesabaran…karena biasanya anak-anak, kalau mengalami masalah langsung lebay….alias nangis…heboh….(hehe…jangan2 gak semua anak ya, cuman anak sayah doang….). Dan kalau Umar karena lebay suka mendramatisir. Misalnya….dalam kasus LKS tadi….saya bilang “yuk kita cari”…dia jawab “kalau gak ketemu gimana”…. tentu sambil nangis…..Saya jawab “kita coba dulu aja, nanti kalau gak ketemu, kita akan telpon bu guru”….dia pun semakin keras menangis….”gimana kalau bu guru gak mau ngasih lagi, terus mas Umar nilainya nol” cenah…. Pasti situasi ini terkadang membuat kita agak “tersulut” bukan? hehe..manusiawi….itu saatnya tarik nafas….tahan….buang nafas….relaksasi 😉
Dengan pengalaman 3 anak, biasanya..kalau dalam situasi gituh, saya suka peluk dulu…sampai nangisnya brenti. Nah, kalau lebaynya udah abis, baru saya tanya masalahnya…..Lalu saya bantu mencari jalan keluarnya. Nah, disini caya bantu anak memahami situasi, apakah bisa diubah atau engga. Tentu dengan bahasa anak-anak ya … hehe…
Untuk emotion focused coping, untuk memahamkan bahwa situasinya gak bisa diubah dan mau gak mau yang harus diubah adalah perasaan kita, saya biasanya nanya apakah anak punya alternatif lain atau engga. Lalu saya berikan beberapa alternatif yang nantinya akan mentok. Misalnya kasus Umar yang diejek karen gak bisa bilang “r”, saya bilang…”gimana ya, ibu gak tau gimana caranya mas Umar bisa bilang “r” biar gak diejek…atau ibu harus ke sekolah? bilang ke temen-temen mas Umar untuk gak ngejek?” (dia bilang “jangan”). “Ibu bisa sih, pindahin sekolah mas Umar…tapi kalau nanti di sekolah baru ada yang ngejek lagi, nanti mas Umar pindah lagi?” dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, secara konkrit dia sadar situasinya gak bisa diubah. Barulah saya tekankan untuk mengubah perasaannya. Lalu dibantu gimana caranya…
Begitupun dengan problem focused coping. Ibu bilang “gimana kalau gini…terus kalau gak berhasil gini…terus gini….”. Dan, untuk mengeksekusi alternatif-alternatif itu, kita harus bantu ! itu penting banget agar ia merasa “tidak sendirian”. Menurut penghayatan saya, perasaan “i’m not alone” ini merupakan satu aspek yang menjadi dasar bagi seorang individu untuk survive. Jangan kaget kalau mendengar kata “aku pengen bunuh diri aja” dari seseorang yang merasa “sendirian”.
Sejauh ini, tenik2 tersebut berhasil meningkatkan kemampuan problem solving pada azka, umar dan hana…..step by step
Satu hal yang perlu dicatat dan digarsi bawahi….jangan take over masalah anak. Jangan selesaikan masalah anak oleh kita. Dampingi dan bantu saja. Sejauh mana bantuannya, sesuai dengan kondisi anak. Tapi sekali lagi… jangan take over masalah anak….. karema kalau itu dilakukan, kita hanya membuat anak kita menjadi individu 2L : Lebay dan Letoy hehe….
Apr 24, 2013 @ 14:41:00
keren!!!
berguna banget buat aku mbak..
makasih udah sharing..