ku telepon gak diangkat-angkat/aku sms gak dibales-bales/sudah sebulan gak pulang-pulang/aku di rumah nunggu kebingungan
ada tetangga tahu, bawa berita duka/rupanya suamiku sedang bahagia bersama …
kawin lagi, suamiku istrinya baru lagi/stress lagi, aku jadi stress lagi
kawin lagi, suamiku direbut orang lagi/nangis lagi, aku jadi nangis lagi
hancur, hatiku hancur, rasanya ku ingin kabur/sakit, batinku sakit, dunia terasa pahit
…….. baris2 di atas adalah syair lagu “kawin lagi”; lagu dangdut yang dinyanyikan oleh Siti Badriah ( haha…..pengen ketawa sendiri nih…). Lagu itu pertama kali saya dengar beberapa bulan lalu, waktu saya terpaksa kerja di salah satu ruangan di kampus, menggunakan komputer umum yang ternyata, selama satu jam saya bekerja di sana nonstop memutar lagu tersebut. Sejam non stop gituh loh…..lirik lagu itu terngiang terus sampe beberapa hari kemudian;). Kemarin pagi, saat saya sarapan di kampus bersama seorang teman, lagu itu terdengar lagi…..haha…..
Saya lupa saya baca di artikel apa, namun saya ingat sekali isinya: bahwa budaya (lagu, film, tayangan TV) pada suatu masa, di suatu komunitas, merupakan cermin dari gambaran nyata komunitas tersebut. Budaya itu merupakan indikator yang paling jujur dari sebuah kondisi masyarakat. Begitu katanya.
Jadi…balik lagi ke lagu Siti Badriah…meskipun buat saya “gak kebayang” ada peristiwa seperti yang digambarkan dalam lirik lagu tersebut, namun….saya meyakini…bahwa itulah potret masyarakat kita. Bahwa kejadian itu terjadi. Sungguh. Di kalangan masyarakat tertentu. Demikian juga dengan sinetron. Akhir2 ini sedang rame keberatan dengan sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”. Bahwa dalam keidupan masyarakat kita ada seorang haji yang perangainya seperti itu, ya…itulah realitanya. Ketika saya sedang scanning channel, saya pernah sekilas melihat adegan sinetro TBNH ini, seorang wanita tokoh antagonis berkata kurang lebih begini: “waduh, gue udah lama gak denger gosip … gue harus dateng pengajian nih… soalnya kan…sumber gosip itu dari ibu2 pas pengajian”….
Sedih? sebagai muslimah, saya sedih sekali. Tapi saya sama sekali tidak mau men”deny” bahwa fenomena itu tidak ada di masyarakat kita. Ada. Bahkan mungkin menggejala. Lalu Infotainment….melihat “trend” berita yang dibuat TV, pengarahan opini publik tentang yang benar jadi salah dan sebaliknya…..ya, itulah gambaran kehidupan masyarakat kita. Sekali lagi, itu bukan untuk di “deny”, tapi untuk disadari.
Lalu, setelah disadari apa? Kesadaran bahwa demikianlah potret sebagian masyarakat kita, menurut saya akan membuat kita aware, bagaimana seharusnya kita mengarahkan keluarga kita. Sisi positifnya, kita menjadi punya gambaran konkrit mengenai sikap-sikap dan perilaku-perilaku apa yang harus kita hindari. Kalau kita berhaji, berarti kita harus luruskan niat, karena gampang sekali nanti kita dinilai “ah, hajinya kayak haji x”. Kalau mau pengajian, berarti kita jadi aware untuk tidak membuat efek samping perkumpulan pengajian itu membicarakan hal2 yang malah “menghapus” informasi yang kita dapat dari pengajian.
Meskipun, kalau saya menjadi orang “behind the scene”nya media, saya akan memegang teguh prinsip “cover both side”. Saya akan menunjukkan ada haji yang kelakuannya menggerahkan, ada haji yang perilakunya menyejukkan; ada ibu-ibu pengajian yang hobinya bergosip, ada ibu-ibu pengajian yang hobinya beramal. Dan saya akan menggunakan kemampuan saya untuk mempersuasi orang untuk mewujudkan hal yang positif … karena kan, satu orang melakukan kebaikan karena upaya yang kita lakukan, pahalanya mengalir pada kita.
Tapi ya….karena saya cuman seorang ibu, jadi yang bisa saya lakukan adalah membentengi keluarga saya dari arus penggiringan opini dan nilai yang menyesatkan….minimal membentengi agar tidak terpapar oleh tayangan2 itu…
Recent Comments