My Preadolescent Girl

Dulu, saya selalu berpikir bahwa setelah anak-anaknya lepas usia balita, maka seorang ibu akan merasa “bebas”, dengan asumsi bahwa di usia SD, anak sudah “tidak terlalu membutuhkan kehadiran ibunya secara fisik” lagi. Apalagi kalau anak sudah masa remaja….Makanya, saya merencanakan kuliah S3 lima tahun lagi, saat Azzam sudah masuk SD. Jadi bisa ambil program sandwich gitu, biar ngerasain kuliah di luar negeri haha….

Tapi suatu hari, saat saya sedang menonton acara talkshow mengenai wanita-wanita enterpreuneur yang sukses, salah seorang wanita pengusaha itu menuturkan bahwa ia menjadi pengusaha dan berhenti kerja kantoran ketika anaknya menjelang usia remaja. “di usia menjelang remaja, kehadiran saya sangat dibutuhkan oleh anak saya” katanya. Keheranan saya terjawab dari hasil penelitian rekan saya yang menyatakan bahwa bagi mahasiswa semester 2 pun, ternyata orangtua masih menjadi “significant others” yang mereka butuhkan kehadirannya.

………………..

Beberapa bulan terakhir ini, ada satu perubahan besar dalam “konstelasi hubungan” Azka dan Umar. Hal itu disebabkan oleh perubahan sikap dan perilaku yang amat drastis dari si sulung, Kaka Azka. Dia yang begitu “baik hati, tidak sombong, rajin menabung, taat pada orangtua” tiba2 berubah menjadi “galak” dan “menyeramkan”. Kegiatan hariannya didominasi oleh tiga hal: nangis, marah, ngomel. Yang jadi subjek kemarahan, sumber tangisan dan subjek omelan tak lain dan tak bukan adalah … Umar. Karena mereka berdua beraktivitas bersama.

Yups..yups…saya tahu…bahwa menjelang usia 10 tahun ini, Azka sudah memasuki usia prapubertas. Itu artinya hormon2 dalam tubuhnya tengah “bergejolak” untuk mempersiapkan kematangan ciri seksual primer maupun sekunder. Saya juga tahu bahwa di usia ini, anak menjadi sangat “tidak nyaman” dengan diri dan lingkungannya, jadinya super sensi dalam artian negatip.

Tapi ya, pemahaman itu tak ada apa2nya dibanding pengalaman meng-alam-i langsung situasi itu. Teteeeeep aja saya terkaget2 ketika mengingatkan Azka untuk sholat, untuk makan…padahal cuman sekali, dengan nada “biasa”….tiba-tiba yang bersangkutan langsung marah dan ….bruuuuk….pintu kamar pun dibanting….mmmmmhhhh…..*relaksasi*. Atau kalau Azka udah berdekatan sama Umar ….pasti deh…ujung2nya dua-duanya nangis.

Sejauh ini, yang ibu lakukan tiga  hal:

(1) Ibu tahu, ibu harus merespons emosi Kaka Azka. Tak ada alasan. Jadi, karena kalau bahas kasus pertengkaran dengan Umar satu persatu kadang2 gak jelas gimana ceritanya…. (kata umar: mas umar cuman diem aja..engga ngapa2in…kata azka: iya, tapi kakinya nempel ke kaka…kaka engga suka!) …. akhirnya ibu mengeluarkan jurus pamungkas…PELUK…Seperti kemarin pagi…ibu udah mau berangkat banget….Azka marah-marah dan nangis engga tau kenapa…. baiklah…ibu peluk dulu….setengah jam…. Tapi lumayan lah, jitu juga….biasanya kalau udah dipeluk gitu, 2-3 hari mah bisa “normal”  perilakunya 😉

(2) Ibu ajak Kaka dan Umar bicara….bahwa ya…….Kaka emang lebih sensitif karena tubuhnya sedang berubah … bla..bla..bla…ujung dari pembicaraan itu? kata Umar: “berarti kaka udah remaja…udah baligh…berarti kalau engga sholat udah berdosa…tuuuh…kaka kadang masih suka ketiduran untuk sholat isya…”. Langsung dibalas Azka: “enak aja…kamu tuh…..emang kamu engga pernah ketiduran gitu? kamu juga suka ketiduran lupa beresin buku !” bla…bla..bla…*ibu relaksasi lagi ….*

(3) Ibu mengajarkan “teknik” menghindari pertengkaran Azka-Umar. “Kaka jangan komentarin mas Umar. Jangan ngomel.”. “MAs Umar, kalau kaka komentar, jangan langsung marah”….

Mmmmhhhmmm… 3 anak, dengan keunikan dan PR stimulasi yang berbeda2, rasanya dunia anak prasekolah sudut dan lika-likunya sudah terjelajahi semua. Tapi ini adalah “rimba baru” buat ibu. Exciting journey….

Sebagai bekal mengarungi new journey ini, ibu belajar lagi-lah tentang si preadolescent :

  • The preadolescent experiences physical growth that is more rapid than at any other time since infancy.
  • The preadolescent begins to develop bodily characteristics that distinguish the adult male and female.
  • The preadolescent may begin to feel extremely self-conscious. 
  • The preadolescent may experience rapid emotional swings which can be confusing to both parent and child.
  • The preadolescent may experience feelings with more intensity than an adult and give into impulses more than an adult. 
  • The preadolescent may begin to analyze situations and use reason with abstract thought, and hence think more like an adult than a younger child.
  • The preadolescent may use reason and abstract thought to question authority and parental values. 
  •  The preadolescent shifts social priorities to peer friendships, wishing to spend all free time with friends.
  • The preadolescent experiences a loss of self-confidence, while sometimes appearing cocky and self-assured.

Tips for Parents:

  • Listen to your preadolescents and take their feelings seriously. 
  • Work together to solve problems when they arise.
  • Talk with your child about changes. 
  • Talk to parents of older children to get perspective.
  • Realize that your child’s growing sense of independence is normal and healthy. 
  • Be in touch with the school if there are any concerns.
  • Look for the counseling department’s upcoming parenting workshop on preadolescence.

Mmmmhhhh…..jadi, memang ternyata pengalaman menjadi ibu itu, selalu membuat kita belajar. Mulai ketika test pack menunjukkan dua garis, sampai dengan ajal memisahkan……

*loveazka*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: