Saya paling suka dengan pengajian yang tidak hanya memberikan pengetahuan mengenai beragam ayat dan hadits, tapi juga menjelaskan asbabun nuzul dari ayat/hadits tersebut, serta mengulasnya dalam konteks kekinian. Keuntungan menyampaikan ajaran agama dengan cara demikian adalah, kita diajak berpikir kritis mengenai konteks situasi saat suatu ayat/hadits itu ada, dan apa semangat yang terkandung dari ayat/hadits tersebut. “Semangat” … atau “ruh” …atau “makna” …. atau “esensi” inilah yang menurut saya, akan terinternalisasi menjadi suatu energi yang membuat ajaran agama itu benar-benar berfungsi sebagai “the way of life” bagi setiap pribadi yang menghayatinya. Bukan hanya sebagai ritual atau simbol yang tak dipahami maknanya, sehingga tak berjejak menjadi kepribadian.
Misalnya, esensi sholat dan berdoa itu adalah “berkomunikasi” dengan Allah. Syariat poligini itu didasari oleh semangat “membatasi”, karena saat itu sudah biasa para pria di budaya arab memiliki banyak istri. Makna berjilbab itu adalah menjaga kehormatan diri, dll.
Menurut saya, banyak syariat agama yang esensinya terikat dengan benang merah yang sama, yaitu “menahan diri, mengalahkan hawa nafsu”. Salah satu penjelasan yang sangat sederhana namun “dalam” mengenai hal ini diutarakan oleh Kang Jalal dalam salah satu bab di bukunya “Meraih Cinta Illahi”. Kurang lebih beliau menyampaikan bahwa ketika kita ingin mendekatkan diri pada Allah, bagaikan seseorang yang terhalang tembok bata. Terlebih dahulu ia harus merobohkan satu demi satu batu bata yang menghalanginya tersebut untuk bisa bergerak mendekat menuju Allah. Proses merobohkan satu demi satu bata itu, adalah proses “mengalahkan” hawa nafsu. Maka, orang yang tak biasa menahan diri dan mengalahkan hawa nafsunya, tak akan bisa mendekat padaNya.
Memang, adalah hal yang manusiawi saat kita ingin menikmati yang “enak-enak” baik dalam hal fisik (makanan, pakaian, seksual) atau psikologis (dipuji, dipandang hebat, dikagumi,dll). Namun kita harus ingat…bahwa kita punya potensi untuk menjadi lebih baik dibanding malaikat, karena kita punya satu hal yang tak dimiliki makhluk apapun di dunia ini, yaitu…akal.
Maka, apapun yang kita lakukan, apapun…apapun itu….entah itu berhaji, berpoligami, berhijab, berpartai, berfacebook, dll… kalau itu dimaksudkan sebagai bagian dari menjalani sajadah panjang dalam kehidupan ini, hendaknya didorong oleh semangat untuk menahan hawa nafsu, bukan menyalurkan hawa hafsu.
Saya ingat ajaran “ustadz” saya dalam rangka berlatih “menghancurkan tembok” hawa nafsu kita. “Lakukan apa yang tidak ingin dilakukan, jangan lakukan apa yang ingin dilakukan” kata beliau. Melaksanakan rumus itu, buat saya amat sangat berat. Menahan untuk tak membeli ini-itu yang sejatinya tak saya perlukan padahal hati pengen banget dan uangnya ada, menahan untuk tak komentar ini itu yang sesungguhya tak bermanfaat padahal gak tahan banget, menahan untuk melakukan ini-itu yang bisa menghasilkan pujian pada diri saya …. tapi… saya yakin…begitu satu demi satu bata hawa nafsu itu terrobohkan…bukan hanya hawa nafsu yang terkalahkan, namun kita pun akan menjelma menjadi seorang yang berkepribadian kuat. Kita tak hanya menjadi indah di mata ALlah, juga menyejukkan di mata manusia. Karena itulah esensi ajaran agama. …..
Recent Comments