1997. Mata kuliah Psikologi Umum. Seorang dosen senior yang waktu itu menjadi idola mahasiswa seantero psikopad memperkenalkan satu konsep yang baru buat saya. Beliau mengatakan kurang lebih : “kalau saya mengusir anda lalu anda keluar….jangan bilang kalau anda keluar karena diusir saya. Anda yang memilih, memutuskan keluar. Itu sepenuhnya keputusan anda. Kenapa? karena sebenarnya anda punya pilihan untuk tetap berada di ruangan ini”. Sebagai anak lulusan SMA yang culun dan tengah mencari jati diri (halah….), saat itu saya tidak mengerti tapi terpesona dengan konsep itu. Itu adalah cara pandang dan dimensi yang tak pernah terpikirkan di benak saya. Walaupun saat itu tidak mengerti, namun saya memegang prinsip itu.
Beberapa bulan lalu, ingatan saya tersegarkan kembali. Saat itu talkshow mengenai pengaruh media pada anak. Kenalan saya, seorang dosen fikom senior mengisahkan pertemuannya dengan seorang sobatnya yang kini malang melintang memproduseri sebuah acara terkenal. Sayangnya, acara itu secara umum bukanlah acara yang “mendidik”. Kenalan saya tersebut mengisahkan, ia bertanya pada si sobat: “ngapain lu bikin acara kayak gitu…itu gak mendidik…merusak…bla..bla…bla..”. Si sobat menjawab: “alahhhh…lu susah-susah amat…kan ada remot. Tinggal lu pencet tuh remote, matiin acara gue, bebas….”. Mmmmhhh…saya sepakat sekali dengan kesimpulan yang diambil oleh kenalan saya tersebut, bahwa…seberbahaya apapun efek dari sesuatu, kita lah yang sepenuhnya pegang kendali ! kita lah yang sepenuhnya memutuskan tindakan kita ! kita punya sepenuhnya hak veto untuk menentukan informasi apa yang kita masukkan ke indra kita.
Yups… saya tidak sepakat pada pandangan bahwa teknologi membuat kita dan anak-anak kita adalah korban zaman dan tak berdaya. Memang kalau mau bicara tentang banyak hal di zaman kita ini…tak pernah terbayangkan sebelumnya. Coba saja sebutkan dampak negatif dari beragam tools di sekitar kita:
TV: sinetron yang tak mendidik, acara idol-idolan yang membuat anak2 dan remaja semua ingin jadi artis, kartun yang memberi contoh agresi, gosip yang membuat ibu2 tidak sadar mengkonsumsi ghibah, iklan makanan tak sehat yang bikin anak keranjingan jajan, pemberitaan yang menggiring opini publik, dll dll…
INTERNET: facebook yang mangancam keharmonisan keluarga karena potensial bikin CLBK, mudahnya akses pornografi untuk anak, banyaknya iklan online shop yang menggoda, perang status yang berujung pada emosi jiwa, macam-macam info tidak jelas yang dengan satu klik saja bisa kita sebarkan dengan mudah, dll dll
BB: bisa menjauhkan yang dekat,mengganggu komunikasi keluarga karena tiap detik tang tung tang tung bunyi, bikin apa-apa pengennya ditunjukkin ke orang lain hingga tak tersisa amal yang menjadi “rahasia” dengan tuhannya…dll, dll
IPAD: bikin anak malas belajar dan bergerak, kurang sosialisasi, dll dll
KARTU KREDIT: dengan beragam promo dan diskonnya membuat kita terbutakan untuk tak lagi berpikir rasional mengenai apa yang diperlukan ….
2 tahun, 5 tahun, 10 tahun lagi…entah apa lagi yang akan ditemukan…tak akan terbayangkan oleh kita.
Mudah, memang mudah sekali buat kita untuk “menyalahkan” semua tools itu. “Gara-gara kartu kredit gampang gesek sih, gw jadi kalap kalau belanja…jadi we gaji gue gak pernah cukup”…”Gara-gara ipad, anak gw jadi sering ngamuk kalau ipadnya diambil…” … “gara-gara hitam putih sih, gw jadi sholat maghribnya telat”. Yups, its an easy way menyatakan kita adalah “KORBAN” dari arus yang tengah terjadi di sekitar kita.
Apalagi kalau dilebarkan ke hal lain…” masalahnya gw dulu suka dipukul sih ama ortu gw, jadi wajar kan kalau sekarang gw juga pengennya ngejiwir anak gue”… “suami gw selingkuh sih, jadi aja gw pengen bales selingkuh lagi”…
No No No…..Kita bukan korban !!!! kenapa? karena kita makhluk Allah yang paling mulia !!! karena kita punya akal.
Kemuliaan kita, terletak pada kemampuan kita untuk memilih. Malaikat, meskipun ia senantiasa berdzikir dan beribadah, tak semulia manusia. Karena ia tak punya pilihan lain.
Maka, stop …. memiliki sikap mental bahwa kita adalah korban, bahwa kita tak berdaya.
Kita berdaya! kita yang sepenuhnya memutuskan apakah kita akan mengambil benefitnya atau mau menikmati negatifnya…
Yups, memang adakalanya kita tak bisa sendirian untuk menentukan pilihan yang tepat. Tapi tetap, penghayatan bahwa kita bukanlah korban adalah titik pijak pertama untuk meminta bantuan, memBERDAYAkan diri kita.
May 24, 2013 @ 17:50:33
Nice post. Tapi kita ga boleh lupa berapa wanita yang diperkosa karena lelaki yang telah menjadi “korban” pornografi.
Dalam scope yg kecil, kita bisa bilang spt diatas. Namun dalam sebuah sistem masyarakat tidak bisa 🙂
Cheers,
-r/K-