Berkelompok Dengan Dewasa

Sebagai “homo homini socius”, adalah sebuah keniscayaan kalau kita punya kecenderungan untuk bergabung bersama kelompok orang yang biasanya punya sisi kesamaan dengan kita. Entah itu kesamaan hobi, profesi, pandangan agama, keluarga, dll dll. Bahkan dalan ajaran agama, “kebersamaan” ini mendapatkan perhatian juga. Shalat berjamaah misalnya, derajatnya lebih tinggi daripada sholat sendirian. Bahkan kejahatan yang dilakukan bersama secara terorganisir, hasilnya akan lebih sukses dibandingkan kebaikan yang dilakukan sendiri-sendiri. Dari pandangan barat, Stephen R. Covey dengan teori “interdependensi”nya menyatakan bahwa di masa depan, orang yang akan sukses adalah orang yang bisa membangun kerjasama dengan orang lain yang memiliki kompetensi berbeda, mengingat tantangan di masa depan tak akan bisa dihadapi oleh “single competence”.

Kalau dilihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, berkelompok ini merupakan tanda kematangan sosial anak. Biasanya anak di usia “late childhood”, sudah bisa atau sudah harus bisa berkelompok bersama teman sebayanya. Memang sih, karena sudut pandang kognitif anak yang masih diwarnai oleh “egocentrism” yaitu belum sepenuhnya bisa menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, maka kelompok2 anak usia SD, SMP dan SMA ini seringkali bersifat eksklusif dan konformis. Eksklusif karena biasanya mereka menutup diri dari masuknya orang lain. Biasanya mereka punya simbol tersendiri, seragam, gaya, bahasa, sampai “salam rahasia”. Mereka juga menganggap hanya kelompok mereka yang paling hebat. Ciri lain yaitu konformis. Kata om Wiki, Conformity is the act of matching attitudes, beliefs, and behaviors to group norms.  Ciri konformitas yang paling utama menurut saya yaitu…TIDAK KRITIS ! pokonya yang penting sama, seragam. Banyak kita dengar peristiwa yang mencerminkan hal ini. Misalnya remaja anggota geng motor. Satu orang yang berselisih karena masalah pribadi, seluruh kelompok menyerang kelompok yang lain. Right or wrong he/she is my friend ! kita harus membelanya ! begilah kira2 semboyan mereka.

Seiring dengan perkembangan akal kita, seharusnya orang dewasa yang berkelompok  bisa menunjolkan ciri-ciri yang lebih “dewasa”. Apalagi orang dewasa biasanya berkelompok untuk suatu misi yang mulia. Misi menyebarkan kebaikan agama misalnya.  Sayangnya, kemuliaan misi ini sering tercoreng oleh sikap-sikap yang sifatnya emosional dari anggota kelompok yang bersangkutan. Sikap emosional ini kemudian yang membuat suatu kelompok menjadi eksklusif. Eksklusifitas inilah yang membuat kebaikan yang dibawa dan ingin disebarkan oleh kelompok tersebut, menjadi terhambat.

Ada beberapa pengalaman saya terkait hal itu. Dulu, pernah dalam suatu situasi pemilihan ketua suatu organisasi saya  berada dalam perbincangan dengan beberapa teman. Topik pembicaraan kami adalah menentukan siapa yang akan lebih baik untuk kami pilih. Teman-teman saya ini bergabung dalam sebuah kelompok. Bla..bla…bla…bla… intinya, kami sepakat bahwa dari segi kompetensi, si A yang lebih kompeten. Lalu tiba-tiba, salah seorang teman saya bicara: “tapi kan…si A itu bukan i****h…” (i****h adalah panggilan untuk sesama anggota kelompok teman saya tersebut). Kata-kata seorang teman saya itu diamini oleh teman saya yang lain dan akhirnya, semua bersepakat untuk memilih si B yang dari segi kompetensi pas-pasan…(kecuali saya tentunya, saya kan teguh pendirian haha…muji diri sorangan ;). Waktu itu, sebagai orang yang “culun”, saya merasakan perasaan …. marah…..It’s unfair !!!

Dan rasa marah yang sama terbangkitkan kembali beberapa bulan ke belakang. Saya membantu seleksi masuk siswa sekolah milik satu kelompok tertentu. Setelah dikeluarkan rekomendasinya…. ternyata… beberapa bulan kemudian sekolah ybs mengirimkan anak yang dirasa “bermasalah” . Saya lihat lagi rekomendasi yang saya berikan saat seleksi, ternyata memang si anak berada di urutan paling bawah. Waktu itu saya tanyakan pada pihak sekolah..pihak sekolah bilang “ya bu, kami memiliki kebijakan kalau i****h, apapun kondisinya akan kami terima”. Saat itu rasa marah langsung terbangkitkan. Bukan…saya bukan marah karena rekomendasi saya tidak diikuti. Itu memang kewenangan sekolah. Yang saya marah adalah, It’s unfair !!!!! kenapa kalau memang ada policy itu, kenapa tidak disampaikan secara transparan? ada berapa puluh anak yang “tergeser” posisinya oleh kebijakan itu. Kalaulah kebijakan itu disampaikan transparan, pastilah orang lain lebih bisa mengantisipasi. Waktu saya sarankan untuk melakukan transparansi itu, mereka tidak mau dengan alasan “itu dapat menimbulkan gejolak di masyarakat bu”. Akhirnya, karena kali ini saya sudah tidak culun lagi, saya  sampaikan bahwa itu bertentangan dengan hati nurani saya, dan saya tidak mau bekerjasama lagi.

Saya juga masih ingat waktu saya akan menikah dengan mas dan mengabarkan pada seorang teman di kelompok ini, teman saya bertanya ” dia  ngaji gak Fit?” waktu itu saya jawab: “Ngaji rutin di Daarut Tauhiid dan Percikan Iman”. Saya terkaget-kaget ketika teman saya itu bilang “itu mah bukan ngaji Fit. Ngaji itu bla..bla.bla..”. Untunglah saya tidak perlu meminta restu teman saya tersebut..karena ternyata walaupun tidak “ngaji”, kebaikan suami saya cukup memadai (haha….)

Beberapa waktu lalu saya membaca buku Dr. Ali Syariati tentang Haji. Di dalamnya ada pembahasan mengenai thawaf. Dalam thawaf, yang menjadi pusat putaran umat muslim sedunia bukan hanya ka’bah, tapi juga makam Siti Hajar. Siti Hajar Allah muliakan sebagai salah satu tokoh ibu, istri dan wanita yang mulia. Ali Syariati menyampaikan pertanyaan2 yang menggugah kesadaran tentang eksklusivisme ini. Beliau mengungkapkan: Dari sekian banyak wanita, mengapa Allah memilih budak? Dari sekian banyak budak, mengapa Allah memilih budak miskin dari ethiopia? menurut pandangan manusia, posisi Siti Hajar adalah terendah. Tapi Allah ingin menunjukkan bahwa kotak-kotak status itu tak ada !

Kalau kita sebagai orang dewasa berkelompok, juga sebenarnya harus kritis dan tak harus konformis. Itu hanya mengaburkan perjuangan dan visi yang diusung. Tak harus membela semua orang yang menjadi bagian kelompok kita. Tak harus sikap kita seragam. Itu hanya membuat kita “malas” berpikir bagaimana caranya berkomunikasi dan menyatukan perbedaan.

Tapi, sebagai orang yang “ingin dewasa” saya menyadari dan mengakui…banyak teman-teman saya di kelompok ini yang juga kritis, bisa menghargai orang lain di luar kelompoknya, tak ragu menyebut “salah” pada anggota kelompoknya yang memang salah tanpa merasa “mengkhianati perjuangan” dan merasa tetap merasa menjadi “someone” meskipun mungkin “rejected” di kelompoknya …

Yups..kelompok itu kan cuman pilhan “sajadah panjang” aja. Toh, di hadapan Allah, nanti kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing bukan? kayaknya gak bisa ya, kita bilang “kata ketua kelompok saya” sama Allah….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: