the BIG U and the small i

Konon katanya, “kesetaraan” antara suami dan istri tak akan pernah bisa dicapai dalam tataran teknis. Karena bagaimanapun, katanya sebuah keniscayaan bahwa suami  ingin “diposisikan lebih” oleh istrinya. Ada yang menjelaskan hal ini dari sudut pandang “fitrah”, “genetik”, “udah dari sononya gitu”. Ada juga yang mencoba mendebat dengan beragam argumennya bahwa fenomena ini adalah hasil dari rekonstruksi sosial. Ada juga yang mencoba menggambarkan dinamika antara faktor “nature” dan “nurture” ini. Dalam tulisan ini saya tidak mau mengutik-utik “mengapa”nya. Saya memposisikan berada pada titik bahwa, di kultur Indonesia fenomena itu ada. Bahwa seorang istri itu haruslah melayani suaminya.

Kalau saya melihat perilaku “melayani ini”, beragam…. Ada faktor waktu yang bermain di dalamnya. Angkatan ibu-ayah saya, adalah angkatan dimana pada umumnya istri berpendidikan lebih rendah dari suami, berperan sebagai ibu rumah tangga sejati. Kalau saya mencermati bagaimana pelayanan ibu saya pada ayah saya, full !!! mulai dari menyiapkan peralatan mandi, baju untuk berangkat, mengancingkan baju, menyiapkan makan, dengan standar tertentu. Saya sering merasakan rutinitas itu sebagai rutinitas yang “romantis”…. Memang kalau dilihat kasat mata, para suami seperti seorang “raja”. Namun…jangan salah….kalau saya melihat justru dengan pola ini, si suami sebenarnya tergantung secara emosional pada istri. Menurut saya, begitulah cara pasangan suami istri di kohort ibu-ayah saya saling mengikatkan diri. Saya ingat sekali, waktu ayah saya kuliah lagi di Bandung, ibu saya selalu menelpon saya: “jangan lupa nyiapin air minum buat papa…air panasnya segini, air dinginnya segini, jangan terlalu panas atau terlalu dingin….kalau goreng telor harus kayak gini….bla..bla..bla..”. Dan walaupun saya berusaha “semirip” mungkin, tetep we…ayah saya gak betah dan “gak nyaman”.

Dengan standar pelayanan seperti itu, saya memaklumi kalau di bulan-bulan pertama saya menikah, lalu orangtua saya berkunjung dan melihat bagaimana cara saya “melayani” mas; ibu saya langsung minta maaf sama mas ” Maaf ya mas, bukannya mama engga ngajarin cuman harap dimaklumi aja …bla..bla..bla..” Sepertinya mama merasa gagal mendidik saya untuk menjadi istri yang baik haha….. (Dasar anak durhaka….ibunya malu malah haha hihi….)

Sebenarnya saya engga durhaka-durhaka amat sih….Saya udah mencoba loh, mempraktekkan standar pelayanan ibu saya ke ayah saya, sama mas. Yang paling standar : nyiapin air minum. Tapi akibatnya adalah….sakit hati. Udah disiapin air minum anget….pas mas pulang disodorin… eh, mas bilang “aku pengen yang dingin ah…” dan mas ambil sendiri di kulkas. Besoknya disediain yang dingin…eh..mas mau yang anget. Yang paling sering adalah….mas lupa minum air yang saya siapin, karena kebiasaan ambil sendiri. Akhirnya kebiasaan itu hilang tanpa kesepakatan tertulis hehe… Nungguin makan, biar makan bareng…..pernah juga saya lakukan di bulan pertama menikah. Akibatnya? maag saya selalu kambuh. Bagaimana tidak? kadang mas pulang maghrib, kadang jam 7, kadang jam 9, kadang jam 12, kadang jam 3 dinihari….hiks..hiks… dan kalau saya telpon n bilang “aku nunggu makan bareng ya…”, pasti mas bilang “ngapain nunggu? kalau sakit tanggung sendiri ya…”. Dan…begitulah kejadiannya untuk setiap cara pelayanan ibu saya yang saya praktekkan ke mas.

Akhirnya, saya pun mulai mengerti. Latar belakang sosial masyarakat saat ibu-ayah saya menikah, dengan kondisi masyarakat saya-mas; beda banget. Latar belakang pendidikan dan pola asuh kami juga beda. Mas udah terbiasa kos, nyiapin apa-apa sendiri, peran istri-suami yang saya sepakati juga beda dengan peran istri-suami yang orangtua saya jalankan. Baiklah…

Tapi…..apakah itu berarti bahwa peran istri yang “melayani” suami itu hilang? Sepertinya tidak. Hanya berbeda bentuk saja menurut saya. Beda bentuk antar satu generasi dengan generasi lain, beda bentuk antar satu pasangan dengan pasangan lain. Di sinilah perlunya kejelian dan penghayatan istri. Bahwa suami, biasanya memiliki satu titik “otoritas” tertentu yang ia butuhkan. Dan kebutuhan otoritas ini, ada yang terucapkan ada yang tidak.

Untuk seorang suami, mungkin titik otoritasnya adalah dalam masalah dapur. Bahwa makna pelayanan istri adalah pada hal makanan.  Istri mutlak harus memasakkan sendiri, menyediakan sesuai selera suami, dll….  Kalau pelayanan istri dalam hal ini kurang, maka itu mengganggu otoritasnya. Ada juga tipe suaminya yang mungkin otoritasnya ia letakkan dalam masalah kasur. Bahwa ia punya otoritas yang tak mau sedikitpun diusik dalam masalah seksual. Ada juga tipe suami yang otoritasnya ia pegang dalam masalah keuangan. Istrinya boleh mengabaikan apapun, tapi kalau ia merasa “tidak dihargai” dalam masalah keuangan, otoritasnya akan terusik. Dan banyak lagi, tak terhingga tipe-tipe lain.

Istri yang bisa menghayati kebutuhan otoritas suaminya, dan bersedia memenuhinya menurut saya adalah salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga. Tapi ada satu lagi. Kalau dirasa amat sangat berat untuk memenuhinya, akan lebih baik jika mengokumikasikannya agar suami bisa menurunkan standar otoritasnya dalam suatu hal. Dengan kesepakatan yang dibicarakan, suami akan tetap mendapatkan otoritasnya, si istri pun tak merasa menderita untuk bisa memenuhinya.

Intinya, sebagai istri kita harus tetap memposisikan diri dan memiliki kerangka pikir “The Big You and The Small I”. Untuk kultur Indonesia, katanya penghayatan ini justru membuat istri juga merasa telah menjalankan perannya dengan baik. Jadi, kepercayaan diri dalam perannya sebagai istri menjadi positif.

 

 

 

2 Comments (+add yours?)

  1. renny oceanita
    Jun 04, 2013 @ 12:13:23

    menarik!!! boleh share ya mbak?….

  2. Trackback: Kenapa sih emak-emak jaman sekarang butuh “me time” ? | Fitri Ariyanti's Blog

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: