Peyoratif

Beberapa bulan yang lalu, saya pernah diminta untuk mengisi sebuah acara yang cukup besar. Kebetulan jadwal saya kosong, saya oke kan. Saya sudah siapkan pula materi sesuai dengan topik permintaan panitia. H-3, tiba-tiba Azzam panas. Tentunya saya tidak mau ambil resiko. Langsung saya hubungi beberapa teman untuk menggantikan saya mengisi acara tersebut, dan alhamdulillah salah satu teman saya bisa. Saya beri tahu panitianya, oke. Malamnya menjelang acara diadakan, si panitia mengontak saya. Ada nada cemas dalam suaranya. Intinya, dia membujuk saya untuk tetap mengisi materi besok. Saya cukup heran, mengingat baru saja saya menelpon teman saya yang akan menggantikan saya tersebut untuk menanyakan persiapannya dan berterima kasih, dan dia bilang siap. Waktu saya tanya ke panitia mengapa ia meminta saya padahal teman saya sudah siap, mereka berkata : “bener bu, beliau siap dan akan datang? soalnya kita ragu bu…beliau bilangnya insya allah”. Waduh, saat mendengar itu…di satu sisi saya pengen ngakak…di sisi lain…heran, sedih juga…saya coba tanya lagi si panitia, emang what’s wrong dengan jawaban Insya Allah. Mereka bilang…..”ya…kan insya allah artinya gak pasti bu…..”

Hhmmmm….setelah mendengar jawaban itu, saya tau pasti apa perasaan saya. Sedih. Di satu kajian yang saya ikuti, seorang ustadz pernah mengupas makna “Insya Allah” ini. Sebenarnya, “Insya Allah” yang artinya “jika Allah menghendaki” ini memang mutlak harus kita ucapkan saat berjanji akan melakukan sesuatu. Mengapa mutlak? karena itu adalah wujud ketauhidan kita. Bahwa kita mengakui, kita itu tak punya kekuatan apa-apa untuk memastikan masa depan yang akan kita jalani. Bahwa kita mengakui, Allah dengan keMaha-annya lah yang menentukan apakah yang kita janjikan itu bisa kita penuhi atau tidak. Jika kita tidak mengucapkannya (dan tak hanya mengucapkan harusnya, tapi juga menghayati), maka itu berarti kita ujub. Kita tidak mengakui bahwa satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu mingu, satu bulan…dari sekarang… Allah maha kuasa untuk membuat kita sakit, kecelakaan, bahkan meninggal….intinya, Allah yang menentukan apakah kita bisa atau tidak memenuhi janji yang kita ucapkan. Dalam sekali maknanya bukan?

Tapi, saya sama sekali tidak menyalahkan pemahaman dan perasaan si panitia. Kalau mau jujur, memang insya allah, dengan atau tanpa sadar, sering kita gunakan sebagai “tameng” atau alasan bagi kita saat kita tidak bersungguh-sungguh akan datang atau melakukan sesuatu. Kalau kita merasa yakin akan datang atau melakukan sesuatu, kita akan berkata “oke, pasti gue dateng…pasti gue kerjain”. Kalau kita sebenarnya tidak berniat untuk datang atau mengerjakan, kita cenderung mengatakan “siiip…insya allah deh, gue datang. insya allah lah gue coba kerjain”. Dari intonasi pengucapannya aja biasanya udah beda. Mau yang lebih jelas lagi? pernah gak denger seorang yang bercakap-cakap gini: “kok lu gak dateng sih di acara kemaren?” jawabnya “kan gue bilang juga insya allah…”. Pernah kan? yups…karena sangat mungkin, itu adalah kata-kata kita sendiri.

Kalau dalam pelajaran Bahasa Indonesia, fenomena tersebut dinamakan peyoratif. Makna kata yang menjadi lebih buruk dibandingkan makna sebenarnya. Dan, sebagai seorang muslimah saya amat sedih karena kasus peyoratif tidak hanya terjadi pada “insya allah” saja. Banyak. Saya pernah menulis catatan tentang seorang anak yang begitu ketakutan mendengar kata “astagfirullahal adzim”. Karena saat itu diucapkan ibunya, itu tandanya ibunya marah dan akan memarahi atau memukulnya. Waktu saya menemani seorang kolega saya dari Belanda jalan-jalan lalu saya mengucapkan “Allahu Akbar” saat melihat pemandangan yang sangat indah, kolega saya itu heran. Dia bertanya apa artinya “allahu akbar”. Setelah kami berbincang tentang itu, barulah saya paham kenapa dia heran. Rupanya, ia menonton tayangan TV ketika sekelompok orang berpakaian “islam” melempari dan “menyerbu” sebuah bangunan, diiringi teriakan “Allahu Akbar”. Dia menyangka arti “Allahu Akbar” adalah “Serbuuuuu” gitu. Duh, sediiiih banget bukan…

Banyak sekali terminologi yang amat indah, baik, mulia, terdegradasi sedemikian rupa menjadi nama-nama judul sineron atau nama-nama pemeran utama sinetron. Berkah, Hikmah, Maghfiroh, Hidayah, mungkin sekali anak-anak kita nanti tak tau apa makna dari terminologi-terminologi itu. Apa yang akan dihayati anak-anak kita saat berdoa “allahumma inna nas’aluka salamatan fiddin..waafiyaa fil jasad… waziadatan fil ilmi… wabarokatan fi rizki…. wataubatan qoblal mauuut… wa rohmatan indal maut …wamaghfirotan ba’dal maut” ? mungkin  kayak membaca jampi-jampi aja…tanpa pemaknaan. Gimana doanya mau dikabul kalau kita tidak paham dan tidak memiliki emosi yang kuat terhadap doa yang kita panjatkan?

Padahal ya, kalau kita tahu….makna “barokah” aja…setahu saya, itu artinya kebaikan yang terus menerus, permanen tak berhenti. Kalau kita tahu maknanya, maka pasti ada dorongan emosi yang kuat saat kita memohon agar pernikahan kita barokah, keluarga kita barokah, ilmu kita barokah, rejeki kita barokah, anak-anak kita barokah…dan emosi itu, yang akan  menggetarkan Arsy-Nya, membuat para malaikat mengaminkan permohonan kita.

Yang lainnya, misalnya….menurut saya, sebuah tayangan sinetron yang ratingnya lagi tinggi sekaang ini sudah berhasil mendegradasi makna haji. Membuat orang tanpa sadar, urung azzamnya untuk berhaji dan menggapai haji mabrur. Padahal ya, kalau kita baca buku tentang haji…kita sering lupa kalau haji itu adalah rukun islam. Pandangan kita tentang haji menjadi dibatasi oleh seorang tokoh Haji yang antagonis, yang mungkin tanpa sadar membuat kita menjadi tidak terlalu bersungguh-sungguh mengupayakannya. Padahal hadits mengatakan bahwa “barangsiapa yang telah memiliki bekal dan kendaraan lalu dia tidak berhaji maka bila mati, ia mati sebagai Yahudi atau Nasrani”.

Jadi, apa yang harus kita lakukan? daripada mengutuki sinetron atau mengutuki orang lain…sudahlah…kita refleksikan saja pada diri kita. Minimal, kita tak terbawa arus peyorasi. Minimal, kita pahami makna dari masing2 terminologi dzikir dan do akita. Jelaskan pada orang-orang terdekat kita. Pasangan, anak, murid, tetangga, siapa saja. Dan selanjutnya, kita harus jadi “agen amelioratif”. Kita tinggikan kembali makna dari kalimah dzikir dan doa itu melalui perbuatan kita. Kita angkat kembali makna “insya allah” menjadi seperti seharusnya. Kita biarkan orang tahu bahwa yang menjadi motivasi terdalam dari  prestasi kita adalah barokah yang kita harapkan. Kita tunjukkan pada dunia bahwa yang membuat kita menjadi kuat saat menghadapi ujian adalah kekuatan hikmah.

Minimal, kita jangan berperan menjadi “agen peyoratif”…

Yang tidak boleh di”nanti”kan…..

Dalam bulan ini, sudah dua kali saya berkunjung ke pengadilan agama. Tentunya bukan untuk mendaftarkan cerai gugat, ataupun untuk menghadiri persidangan cerai talak. Naudzubillahimin dzalik, semoga pernikahan kami langgeng sampai di akhirat nanti.

Saya mengunjungi pengadilan agama dalam rangka penelitian. Saya bergabung dengan tim yang meneliti faktor-faktor psikologis penyebab terjadinya perceraian yang semakin meningkat angkanya di Bandung ini. Berdasarkan penelitian tersebut, kami bercita-cita menyusun modul dan mengembangkan program pelatihan preventif, untuk membekali para pasangan yang akan menikah dengan pengetahuan atau keterampilan yang akan membuat pernikahan mereka kuat dan tak akan berakhir dengan perceraian. Doakan moga2 cita-cita kami  ini tercapai ya teman-teman….

Bulan suci ternyata tak membuat ruangan tunggu di pengadilan agama menjadi kosong. Setiap hari, ruangan tempat para pasangan yang mendaftarkan perceraian, menunggu dipanggil untuk masuk ke ruang sidang, berdiskusi dengan pengacara, dan aktivitas lain terkait dengan proses perceraian yang sedang mereka jalani penuh sesak. Berpuluh-puluh  tempat duduk tak mampu menampung jumlah peserta yang ada.

Perceraian. Meskipun tidak ada seorang pun yang mencita-citakannya, namun nyatanya kini semakin banyak yang memilihnya. Baik karena kesadaran maupun karena keterpaksaan. Saya sendiri yakin bahwa –kalau ajaran agama memperbolehkan sesuatu, maka pasti ada kebaikan di dalamnya. Secara operasional, penelitian-penelitian menemukan bukti empiris bahwa perceraian yang sehat jaauuuuuuuh lebih baik dibandingkan pernikahan yang sakit.

Suami istri yang saling tidak puas dengan situasi pernikahan mereka, akan punya seribu satu alasan yang mendorong mereka untuk melakukan keburukan-keburukan seperti selingkuh, menghina, menyakiti fisik- dibandingkan jika mereka berdua memutuskan berpisah dan memulai hidup baru yang lebih baik.  Anak-anak yang menyaksikan orangtua bertengkar, saling membenci, saling menyakiti baik psikologis maupun fisik, akan lebih menderita dibanding anak-anak yang diberikan penjelasan bahwa walaupun ibu dan ayahnya berpisah sebagai suami istri, namun mereka tetap bersama sebagai ibu dan ayah.

Data sementara yang kami dapatkan adalah kehidupan perkawinan dari sejumlah pasangan yang kemudian berujung pada perceraian. Secara umum, dari segi hukum perceraian bisa diajukan oleh istri (cerai gugat) atau oleh suami (cerai talak). Mencermati perkembangan kehidupan perkawinan dari data yang sudah kami dapatkan, ada dua hal yang bisa saya hayati.

(1)  Saat kita menikah, kita benar-benar tidak tahu “masalah” apa yang akan kita hadapi, darimana sumbernya, sebesar apa masalah itu. WE REALLY REALLY HAVE NO IDEA. Dalam terminologi agama, itu namanya ujian. Saya selalu membayangkan, bahwa ketika pasangan mengikat janji, pasti mereka membicarakan bayangan-bayangan indah yang akan mereka jalani dalam pernikahan mereka. Tapi ada seribu satu ujian yang mungkin mereka alami. Mungkin mereka akan mengalami ujian berat yang kalau tak berhasil mereka atasi, akan membuat keluarga yang mereka impikan menjadi syurga dunia, berubah menjadi neraka dunia. Mungkin saja ujian itu berupa anak yang tak kunjung hadir, adanya wanita atau pria lain yang menggangu, mertua yang terlalu ikut campur, anak yang mengalami cacat signifikan, istri mengalami kecelakaan, suami di PHK dari tempat kerjanya, pasangan memiliki kelainan seksual, pasangan mengalami gangguan mental, dan ada banyak hal lain yang tak terbayang oleh kita, namun mungkin terjadi. Maka, kesiapan mental dan kekuatan hubungan untuk menghadapi –bukan hanya kebahagiaan namun juga kepedihan- menjadi sangat penting. Itulah sebabnya upaya-upaya untuk menggali faktor-faktor ketahanan keluarga, menjadi penting untuk dilakukan.

 

(2)  Jika tidak mengalami “ujian yang berat”, banyak perceraian yang diawali oleh “ketidakpuasan kecil” pada pasangannya. “Ketidakpuasan kecil” ini kemudian menjadi bola salju. Bahayanya adalah saat si pasangan yang merasa tidak puas lalu melakukan satu hal yang ia rasa benar karena merupakan “reaksi” dari perilaku pasangannya. Lalu si pasangan membalas…demikian selanjutnya. Misalnya…seorang suami merasa istrinya lebih mementingkan pekerjaan dibanding dirinya, lalu ia berselingkuh. Ia merasa tindakannya ini bukan salahnya, tapi salah si istri. SI istri yang mengetahui suaminya selingkuh, membalas dengan selingkuh lagi. Ia merasa tidak salah. Ia merasa bahwa tindakannya dikarenakan perilaku si suami. “Chain reaction” inilah yang biasanya terjadi. Terus….terus…terus….sampai suatu titik, persoalannya membesar dan kompleks, tak tahu harus mengurainya darimana. Padahal, bila “ketidakpuasan kecil” ini dibicarakan, diperbaiki dan diselesaikan  mungkin ini tak akan bergulir menjadi suatu persoalan yang membuat ikatan yang telah dijalin menjadi putus. Itulah sebabnya, keterampilan mengkomunikasikan perasaan dan permasalahan dalam keluarga, menjadi penting untuk dikuasai pasangan.

Ramadhan, harusnya menjadi bulan keluarga. Biasanya, di bulan ramadhan tuntutan pekerjaan menjadi menurun. Karena asumsi bahwa energi untuk melakukan pekerjaan menurun seiring asupan makanan yang berkurang. Yang jelas jam kerja PNS menjadi berkurang satu jam. Entah kalau di swasta. Seharusnya, waktu yang lebih luang ini dialihkan untuk memperhatikan keluarga kita secara lebih intensif.

Buat keluarga yang tidak pernah sempat makan bersama, waktu sahur sangat mungkin bisa makan bersama. Saat itu adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi sejauh mana kehangatan yang ada antara anggota keluarga, sebesar apa masalah yang kita temui dalam keluarga…kekuatan-kekuatan apa yang kita miliki dalam keluarga…

Bulan suci ini adalah bulan untuk merenung, berefleksi. Mengevaluasi diri dan keluarga. Kapan lagi kita “dipaksa” bangun dini hari selain di bulan ini? Bisa kita manfaatkan untuk sholat, lalu berdoa, lalu mengevaluasi kehidupan kita

Tadi sore saya ikutan anak-anak menonton film Spy Kids yang terakhir. Messagenya jelas: terkadang kita, ayah dan ibu yang bekerja sering “menunda” waktu bersama keluarga. Kita berpikir “nanti”lah kalau sudah punya rumah yang lebih besar, nanti kalau target kerjaan ini sudah tercapai, nanti kalau liburan, nanti kalau punya waktu lebih banyak, nanti, nanti, nanti…No no no… membangun hubungan keluarga……suami dengan istri, ayah dengan anak, ibu dengan anak, kakak dengan adik, adalah satu hal yang tidak bisa di “nanti”kan.

Saya kini banyak menyaksikan…bahwa di akhir hidup seseorang, saat seseorang sudah kehilangan semua kekuatannya- kekuatan fisik, pikiran, kekayaan, jabatan, se”hebat” apapun ia di luar rumah, yang menentukan kebahagiaannya adalah di dalam rumah. Keluarga. Dan hubungan yang erat antar anggota keluarga itu, adalah sebuah proses. Semakin lama ia terjalin, semakin kuat hubungannya.

Jangan katakan nanti. Lakukan sekarang. Mengobrol, memeluk, menemani, mendengarkan, membacakan cerita, menyelesaikan masalah, memberi umpan balik, menceriterakan perasaan dengan orang-orang tercinta di keluarga kita. Lakukan sekarang. Jangan ditunda. Nanti menyesal.

learning to live together

1997. semester satu. mata kuliah psikologi umum. psikologi unpad. jatinangor.

Kami ber76 diajar oleh salah seorang dosen senior yang pada waktu itu menjadi idola kami. Selain dosen, beliau juga trainer di beberapa perusahaan multinasional. Tidak heran kalau selama 3 sks kuliah beliau, semangat kami selalu “terbakar”. Beliau tak hanya mengajarkan apa yang ada di buku mengenai psikologi umum, tapi materi perkuliahannya membuka wawasan yang sangat luaaaaas. Salah satu yang saya ingat adalah, beliau menjelaskan mengenai 4 pilar pendidikan versi UNESCO. Jaman itu, gagasan itu masih sangat baru. Tapi saya masih sangat ingat waktu beliau mengatakan: learning to know, learning to do, learning to live together, learning to be. Jadi, menurut beliau…tujuan pendidikan tinggi alias perkuliahan harusnya bukan hanya mengajarkan mahasiswa untuk tahu dan terampil, tapi harus sampai di dua tujuan yang lebih tinggi, yaitu learning to live together dan akhirnya learning to be.

Learning to live together….

Saat si abah sedang di luar kota, biasanya kami berlima tidur bersama-sama di ruang tengah. Saat anak-anak sudah terlelap dengan berbagai posenya dan saya masih terjaga karena mengerjakan ini-itu, kadang saya memandang wajah mereka satu-satu, lalu bertanya pada diri saya sendiri….pendidikan seperti apa ya, yang sesungguhnya mereka butuhkan di jaman ini….Jaman yang sudah amat berbeda situasinya dengan jaman yang ibu alami dulu….dan pastinya, jaman di masa depan yang akan sangat berbeda dengan zaman ini. Kini beragam sekolah dan lembaga nonformal menawarkan beragam konsep pendidikan untuk anak. Tapi….ibu ingiiiin sekali bisa menghayati…apa sebenarnya yang sungguh-sungguh mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan ini, biar selamat dan sukses dunia-akhirat.

Salah satu hasil “perenungan” ibu, yang mereka butuhkan adalah “learning to live together”. Belajar hidup bersama orang lain. Bersosialisasi. Bekerjasama. Berharmoni. Berukhuwah. Tentang ini, Stephen R. Cover melalui buku fenomenal “The Seven Habbit….”nya sejak lama sudah memperkenalkan konsep “interdependensi”. Bahwa orang yang sukses di masa depan, katanya adalah orang yang independent secara pribadi, tapi punya sense saling ketergantungan.

Yups, “masa depan” itu sudah kita alami kini. Sekarang ini, bukan jamannya lagi seorang merasa “hebat” sendirian. Gak akan laku. Kalau ibu bantu seleksi pegawai untuk perusahaan besar, pasti mereka minta orang yang kemampuan kerjasama nya baik. Kenapa? karena sekarang era spesialisasi. Gak mungkin seseorang tahu semuanya secara mendalam. Dia butuh menghargai kemampuan orang lain. Dia butuh bekerjasama, empati, menempatkan diri…

Learning to live together ini…. benar-benar harus diajarkan pada anak-anak kita, menurut saya. Kita lihat potret di masyarakat…  Waduhh…semakin hari, semakin kita melihat banyak perilaku yang mencerminkan bahwa masyarakat sulit untuk bisa melihat sudut pandang orang lain. Mulai dari para pemakai motor yang pengennya cepet sampai tujuan, gak peduli move yang dia lakukan mencelakakan dan menyulitkan orang lain atau engga…para masyarakat yang hobiiiii bikin “polisi tidur” yang jarak dan ketinggiannya gak kira-kira…, penghuni komplek yang gak mau iuran perbaikan jalan dengan alasan “saya kan jarang di rumah, jarang pake jalannya”, para ibu berjilbab yang mengetek 5-6 kursi di pengajian untuk temennya, membiarkan ibu-ibu renta terpaksa berdesakan padahal sampai pengajian usai si temennya gak dateng (ini pengalaman pribadi), bahkan sampai di rumah Allah pun, konon banyak orang yang demi mencium hajar aswad, rela menyikut kiri-kanan, tak peduli orang terjatuh akibat ulahnya. Padahal jelas2 mencium hajar aswad itu sunnah, melukai orang lain itu haram.

Ya, rasa kebersamaan itu perlu ditumbuhkan. Itulah sebabnya saya senaaaaaang banget dengan sekolah yang “care” dengan hal itu dan mengajarkannya pada anak-anak. Di sekolah Azka dan Umar, mereka melakukan sistem penilaian ala Hogwarts. Bagaimana itu? Setiap topik pelajaran, mereka dibuat berkelompok. Sekitar lima orang. Nama kelompoknya sesuai dengan topik pelajarannya. Misalnya nama anggota tubuh dalam bahasa arab, nama binatang dalam bahasa Inggris, atau nama benda dalam bahasa sunda. Setiap kelompok mendapat nilai dari perilaku mereka, yang akan menjadi nilai kelompok. Misalnya, kalau ada anggota kelompok yang makannya tidak habis, kelompok itu dikurangi sekian nilainya. Kalau ada anggota kelompok yang membantu guru, kelompok itu mendapat nilai plus sekian. Di akhir topik, kelompok yang nilainya tertinggi akan mendapat hadiah. Saya ingat, beberapa kali Umar dan Azka membawa seperangkat alat sholat…eh, alat tulis dan bilang itu hadiah karena kelompok mereka nilainya tertinggi. Lalu untuk topik selanjutnya, kelompoknya diubah lagi. Apakah ini efektif sebagai media “learning to live together?” Menurut saya, ya. Minimal, anak jadi “aware”. Misalnya Umar, gak mau kesiangan karena kalau kesiangan, kelompoknya akan berkurang nilainya. Sense bahwa perilakunya berpengaruh pada orang lain, itu adalah satu poin penting yang berharga. Itu namanya kepedulian.

Di tingkat yang lebih tinggi, sistem itu membuat benih kepedulian itu terus tumbuh dan berujung pada action. Saya ingat di kelas 3, Azka cerita bahwa ia sekelompok dengan anak ynag masih suka mengamuk di kelas. Karena itu berakibat pengurangan nilai kelompok, maka mereka pun “membantu” teman yang suka ngamuk itu. Misalnya ketika terlihat tanda-tanda si teman akan marah dan mengamuk, teman-temannya akan berusaha untuk mengalihkan perhatian atau mengubah situasi…

Di kelas 4, saya kagum sekali dengan sistem yang dibuat guru IPS Azka. Ada sistem kakak-adik. “Kakak” adalah anak-anak yang nilainya bagus. “adik” adalah anak-anak yang nilainya tidak terlalu bagus. Setiap kakak punya dua adik. Si kakak bertanggung jawab membuat si adik-adiknya memahami pelajaran dengan baik dan mendapat nilai 100 pada setiap tugas atau ulangan. Menurut saya, sistem ini keren banget. Kenapa? karena saya beberapa kali mendapat laporan dari Azka yang “bersedih” karena, meskipun dia dapat nilai baik, dia tidak berhasil membuat “adik-adik”nya mendapat nilai baik juga. Tapi juga, beberapa kali Azka cerita dengan wajah berbinar bahwa ia “berhasil” membuat “adik-adiknya” memahami pelajaran dan mereka bertiga mendapat nilai seratus! bukan 100nya yang buat saya hepi, tapi rasa “peduli”nya itu yang priceless…

Bulan Ramadhan…dimana anak-anak kita belajar menghayati anak-anak lain yang tak seberuntung mereka bisa mendapatkan makanan kapanpun mereka mau, seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk mengajarkan learning to live together. Bahwa dalam Islam, sholat diawali dengan mengagungkan nama Allah, dan diakhiri dengan kepedulian ke arah kiri dan kanan kita.

practice make perfect ; yes, it absolutely true…

Pagi tadi, setelah sahur dan sholat subuh saya ngelonin Azzam. Udara yang dingin dan posisi tiduran menyusui Azzam membuat saya tak tahan menolak rasa kantuk, dan saya pun tertidur pulaaaas….  Saat saya terbangun, Azzam sudah tak ada di samping saya. Terdengar teriakan-teriakannya diantara celoteh kakak-kakak dan mas-nya. Begitu saya keluar kamar…..JRENGG…. suasana rumah….persis kapal pecah. Buerantakaaaaaan…..lantai liciiiin….karena ada tumpahan susu plus minyak-minyak, piring-gelas dan segala macam sisa sahur yang belum sempat dibereskan, plus segala macam mainan yang sedang dimainkan anak-anak. Keempat anak tampak “kucel” masih dengan baju tidur mereka.

Baiklah….saatnya beres2…..membereskan segala macam barang yang tak pada tempatnya, mengumpulkan piring-gelas dan segala macam yang harus dicuci, mengumpulkan sampah, menyapu….meminta Kaka Azka membantu cuci piring, masak air, mandiin anak-anak, lalu meminta si abah ngajak main anak-anak di luar, pintu dikunci, ngepel (harus 3 kali biar lengket-lengketnya ilang)…..TRINGGG…kurang dari 1 jam, rumah plus anak-anak kinclong kembali.

Apa istimewanya dengan kejadian itu? tiba-tiba saya tersadar sesuatu….I do it without negative feeling !!! horeeee !!!! Ibu mengerjakannya tanpa pake kesal atau marah !!! Ini harus dirayakan !!! haha…. kenapa sih se-lebay itu ?

Begini teman….

Setelah teh Ema, “manager” rumah kami resign karena menikah Agustus tahun lalu, I’m not “lucky”. Terhitung 5 asisten yang datang dan pergi. Dalam hitungan bulan, minggu, hari bahkan jam haha….Akhirnya, sampai satu titik gak ada yang bantu sama sekali, dan setiap hari saya membawa Hana dan Azzam ke daycare di Jatinangor. Melihat situasi itu, akhirnya Pak Ayi, sopir kami menawarkan istrinya, teh Rini untuk mengasuh Azzam. Hanya karena ia pun punya anak kecil sebesar Hana, ia minta Azzam dibawa ke rumahnya yang tak begitu jauh dari rumah kami. Lalu bibinya, bisa membantu membereskan rumah, nyuci dan nyetrika. Akhirnya, beberapa bulan ini kami pun berjalan dengan bantuan itu. Teh Rini dan si bibi, akan datang jam setengah 7, pas Azka dan Umar pergi sekolah. De Azzam akan dibawa ke rumah teh Rini, de Hana akan diantar sekolah, bibi akan beberes rumah, nyuci dan nyetrika. Kalau Hana tidak sekolah, nanti pas bibi pulang jam 10an, teh Rini akan datang ke rumah nemenin Hana,  jadi ngasuh ber3: Hana, Azzam dan anaknya, de Rendy. Jam kerja teh Rini berakhir kalau ibu atau abah datang. Jadi teh Rini bisa pulang jam 1, jam 3, jam 4, atau kalau ibu ada sesuatu hingga pulangnya maghrib, teh Rini pun akan pulang maghrib.

Jujur saja, ada perbedaan “mendasar” penghayatan saya terhadap peran teh Rini dan bibi. Saya menerima mereka dalam kondisi benar2 “tidak berdaya”. Hal itu membuat saya menghayati bahwa posisi mereka benar2 “membantu”. Secara psikologis, ada perbedaan mendasar dengan harapan saya pada asisten lain sebelumnya. Kali ini, saya menghayati bahwa seluruh manajemen keluarga, anak-anak, adalah tugas kami berdua. Teh Rini dan bibi benar-benar hanya membantu.

Dan itu akan sangat terasa di weekend. Saat teh Rini dan si bibi off. Benar2 kami berdua yang berjibaku take care of everything. Biasanya, sabtu atau minggu pagi, kami berbagi tugas. Abah, mas Umar dan Kaka Hana bagian ke pasar, ibu bagian beberes rumah. Barulah setelah itu kami bisa jalan-jalan. Kalau weekend itu kebetulan ibu atau abah ada kerjaan yang mendesak, gantian…shif-shift-an sama ngurus anak-anak. Sore hari pun demikian. Abah bagian mandiin anak-anak, ibu bagian beberes rumah kembali plus masak. Nah…di bulan-bulan awal, weekend terasa amat sangat berat. Saya belum tanya anak-anak…tapi pasti anak-anak benci masa-masa itu. Masa-masa dimana saya maraaaaaah terus. Gimana engga? siapa yang engga stress melihat keadaan rumah yang gak pernah beres…. lelaaaaaaah banget rasanya. Jalan-jalan yang biasanya menjadi refreshing, kadang jadi horor karena itu berarti sebelumnya ibu dan abah sering “berantem”. Ibu pengen berangkat setelah rumah beres karena gak kebayang nanti pulang ke rumah kalau rumah dalam kondisi berantakan, si abah bilang “cuek aja lah…..”.  Jadi, kalau ibu beberes pasti sambil ngomel. Dan itu cape. capeeeee banget. Mengelola emosinya itu yang bikin cape. Apalagi kalau ada tamu…..rasa “malu” itu jadi stressor sendiri.

Kurang lebih 6 bulan berlalu…. Pagi tadi saya benar-benar tersenyum… Ternyata latihan pengelolaan emosi itu tampaknya sudah berhasil haha…. Ya..alhamdulillah…Benarlah mantra “laa yukallifullaha nafsan illa wus’aha” itu. Allah sudah mengukur ujian yang diberikan pada hambaNya (ssst…..sejak 6 bulan lalu, tiap sholat subuh rokaat pertama, itu surat yang saya baca, sekalian selftalk ;). Alhamdulillah Azzam berada di tangan yang tepat. Teh Rini sangat responsif. Tiap setengah tujuh, mendengar suara salam teh Rini, Azzam langsung dadah sama ibu. Multiple attachmentnya berhasil 😉 Umar….gak pernah seberhasil ini membuat dia bertanggung jawab membereskan tempat tidur. Karena kan, kalau gak dia beresin…gak akan ada yang beresin ;). Azka…… tugasnya mencuci piring dan masak nasi sudah berjalan otomatis. Dan kontribusi si abah…. i love you .. haha….

Yups…inilah cara Dia membuat ikatan di keluarga ini rasanya menjadi sangat erat. Itulah sebabnya di rumah kami yang sedang dibangun, meskipun jumlah kamarnya menjadi dua kali lipat, tapi tak ada kamar yang diperuntukkan untuk asisten;)

acara tv ramadhan: bukan hitam putih

http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/13/07/10/mppepi-ulama-kecam-tayangan-lawakan-televisi

http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/13/07/10/mppbe8-kpi-jangan-jadikan-agama-jadi-bahan-lelucon

http://www.itoday.co.id/politik/acara-humor-di-tv-selama-ramadhan-tak-mendidik

http://www.islamedia.web.id/2013/07/himbauan-masyarakat-tv-sehat-indonesia.html

Link-link diatas adalah sebagian kecil suara “masyarakat” yang mengeluhkan tontotan tak mendidik selama Ramadhan. Saya setuju dengan suara-suara tersebut. Tapi saya juga paham mengapa tahun demi tahun, meskipun suara-suara “protes” semakin lantang, namun acara-acara demikian pun tetap bertahan. Malah lebih parah mungkin.

Kata hukum ekonomi, supply itu didasarkan pada demand. Suply acara-acara ramadhan yang “kurang mendidik” tetap ada karena demand-nya pun ada. Konkritnya, segala macam acara sinetron, humor, kuis, talkshow dll yang “kurang mendidik” itu survive karena ada sponsor. Sponsor mau karena banyak yang nonton bukan? Jadi, kalau sebagian kelompok masyarakat kita jengah dengan acara-acara tersebut, ada kelompok lain yang jumlahnya mungkin lebih besar, menikmati acara-acara tersebut.

Sebagian dari kita sudah paham bahwa ramadhan adalah bulan yang amat mulia, yang setiap detiknya harus diisi dengan kebaikan dan ibadah; sehingga kebutuhan akan kekhusyuan dan acara-acara yang mendekatkan diri pada Allah amat besar. Di sisi lain, ada sekelompok besar masyarakat kita yang masih berpendapat bahwa yang dibutuhkan adalah kegiatan-kegiatan atau tontonan yang membuat rasa kantuk saat sahur menghilang,  lapar di siang hari menjadi tak terasa. Untuk kelompok ini, maka acara TV yang dibutuhkan adalah acara-acara yang bisa membuat waktu berlalu dengan cepat, sehingga rasa lapar dan haus segera berlalu, makan dan minum segera boleh kembali. Bukankah ada beberapa tingkat kelompok orang yang berpuasa? Nah, kebutuhan kelompok kedua ini-lah yang membuat para produser memproduksi tayangan-tayangan TV yang “kurang mendidik” tadi.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Ada banyak, sesuai dengan kapasitas kita. Buat yang punya modal besar, punya kemampuan….membuat stasiun TV yang jauh lebih Islami di jaman kini, mungkin menjadi fardhu kifayah. Buat para tokoh bangsa seperti JK..menyuarakan hal ini juga merupakan satu kontribusi yang berharga… Buat teman-teman dari LSM…upaya-upaya yang dilakukan baik yang berupa advokasi maupun birokrasi, amat-sangat diperlukan.

Sementara itu, buat kita para emak di rumah…..unit analisis terkecil dari masyarakat…yang bisa kita lakukan adalah…jelas-jelas mensortir acara-acara TV di ramadhan. Kalau 75% aja emak-emak gak nonton lawakan sahur, kan acara itu gak akan ada yang menyeponsori bukan?

DI sisi lain, tidak semuanya kok tayangan TV Ramadhan itu “tidak mendidik”. Tadi setelah sahur saya menonton beberapa acara yang menurut saya cukup bagus. Yang jelas adalah Tafsir Al-Lubaab nya pak Quraish Shihab di Metro TV jam 03.00-04.00. Lalu setelah itu ada acara di salah satu TV swasta: “menelusuri jejak kebesaran nabi” dipandu oleh host ust Mirza kalau tidak salah. Lalu setelah itu ada acara di salah satu TV swasta juga, yaitu mengenai para muslim yang tersebar di beragam belahan dunia. Episode tadi pagi mengenai suku Indian di Meksiko yang memeluk Islam dan meng-Islamkan banyak keluarganya, serta pengalamannya beribadah haji. Setelah nonton tayangan ini, bersyukuuur banget tinggal di Indonesia yang mayortas muslim dan semuanya menjadi mudah.

Yang jelas;  acara infotainment, acara sinetron, lawakan, itu jangan ditonton sama sekali (itu rekomendasi sayah hehe…). Berita pun, kalau mengotori hati gak usah ditonton. Mending nonton Cebeebies, Disney Junior atau  Law and Order di channel TV berbayar hehe….Tapi lebih baik lagi, kalau kita isi dengan shalat, baca Qur’an, beajar agama, dzikir, doa, dan aktifitas kebaikan…Biar seluruh dosa kita diampuni dan kita punya bekal untuk menghadapi hari hisab nanti di bulan penuh rahmat ini, cause we do need it….

 

Hijaber : terawangan 3 dimensi

Tadi sahur mengikuti kajian Tafsir Al Misbah dari Pak Quraish Shihab. Ada pertanyaan seorang artis, bagaimana seorang istri yang ingin berhijab namun suaminya tidak memperbolehkan.

Seperti biasa, Pak Quraish Shihab menjawab dengan sistematis dan analitis. Jawaban beliau adalah: suami salah, seharusnya ia mengizinkan istri yang ingin berhijab, jika keinginannya tersebut adalah bentuk dari niat istri untuk taat pada perintah Allah. Namun bila suami tetap tidak mengizinkan, maka selama ada alternatif lain, sebaiknya istri lebih mempertahankan rumah tangga dan melakukan ketaatan-ketaatan lain terhadap Allah.

Saya mencoba mengelaborasi ungkapan beliau yang dicetak tebal dengan kerangka sudut pandang iman, islam dan ihsan dalam berhijab. Sebenarnya sudah lamaaaa banget pengen menulis tentang fenomena hijab ini. Karena perkembangannya ruarrrrr biasa. Saya selalu terkagum-kagum dengan dengan kreatifitas insan-insan Indonesia yang tak terkatakan kreatifnya memadu-padankan model, warna, gaya…dalam berhijab. Aduuuh….saya sering tergoda untuk mengikutinya. Tapi sudah beberapa kali mecoba membeli dan mempraktekkan gaya hijab jaman sekarang….ampuuuun…..ternyata memang tidak sesuai dengan kepribadian sayah hehe…selain butuh waktu yang  jauuuuh lebih lama dalam menyiapkannya, setelah dipake rasanya gak praktis dan mengganggu konsentrasi berkegiatan, diliatin dan dikomentarin orang-orang jadi  gak pede ….. akhirnya sekarang saya berperan sebagai “pengagum” saja dari para hijaber yang kinclong-kinclong ituh.

Selama kurang lebih 20 tahun berjilbab, saya mengamati fase-fase yang amat dinamis mengenai pilihan berjilbab ini. Buat orang yang bergelut di bidang perilaku seperti saya, pengamatan 20 ini adalah hal yang sangat menarik. Dengan aneka ragamnya pilihan dan gaya berhijab atau berjilbab, maka muncul pula pertanyaan-pertanyaan….Mengingat pilihan ini ada kaitannya dengan ibadah, maka tentu menjadi pertanyaan…apakah ibadah yang dilakukan ini masih dalam koridor benar atau tidak. Saya coba meneropongnya dari 3 fondasi yang seharusnya sellau menjadi penyangga setiap perbuatan dalam hidup kita: iman, islam, ikhsan.

(1) Dari sudut pandang Iman, kita harus menghayati bahwa hijab yang kita kenakan adalah bagian dari ketaatan terhadap Allah. terkait dengan hal ini, maka kita harus menelisik lagi niatan kita berhijab. Kita pastikan hanya karena Allah. Bukan karena terlihat lebih modis, bukan karena pekerjaan, bukan karena citra diri yang ingin dibentuk, bukan karena malu karena orang lain sudah banyak yang pakai, bukan karena lain-lain yang bukan Allah.

(2) Dari sudut pandang Islam, maka kita harus mengatahui tata cara dan kaifiat dalam mengenakan hijab ini. Selain 3 syarat yang sudah kita ketahui secara umum, yaitu : menutup aurat, tidak melekat dan tidak terawang. Nah, ini yang tadi diulas pak Quraish Shihab. Menurut beliau, ada 4 pendapat penafsiran para Ulama mengenai frase “menutup aurat” dalam alQur’an;

  • ada yang berpendapat menutup aurat = bercadar
  • ada yang berpendapat menutup aurat = menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan –> ini pendapat umum
  • ada yang berpendapat menutup aurat = boleh memperlihatkan lengan dari siku dan mempelihatkan kaki
  • ada yang berpendapat menutup aurat = memakai pakaian yang menjaga kehormatan

(3) Tafsiran keempat diatas terkait dengan aspek ketiga, yaitu sudut pandang ihsan atau “makna” berhijab. Ini yang sangat menarik untuk saya. Seorang yang memutuskan berhijab, setelah meyakini bahwa hal ini ia lakukan sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah, lalu mengetahui ilmu dalam memakai pakaian tersebut, yang ketiga adalah harus memahami makna apa yang terkandung dalam ajaran ini. Secara umum, setiap ibadah yang diisyaratkan dalam ajaran agama berfungsi untuk “melawan hawa nafsu”. Maka, demikian pun dalam berhijab. Ada 2 makna yang harus selalu diingat saat berhijab, yaitu: hijab yang kita kenakan adalah alat agar kita sebagai wanita “dikenali “  dan dengan demikian “tidak diganggu”.  

Terkait dengan makna ini, saya pernah punya teman yang sekolah di Australia tepat ketika peristiwa bom bali terjadi beberapa tahun lalu. Kemarahan warga di kota tempatnya menetap terhadap warga negara Indonesia terutama yang muslim sangat besar, sampai mereka mensweeping para pelajar di sana yang berjilbab. Dalam situasi seperti itu, teman saya pun membuka jilbabnya karena dalam situasi tersebut jilbabnya membuat ia menjadi tidak terjaga keamanannya. Teman saya yang lain, sering berkunjung ke beragam negara. Di setiap tempat, saya amati ia mengenakan model hijab dengan gaya, corak  dan warna yang berbeda. Waktu saya tanya, dia menjawab kalau ia mencoba melihat faktor budaya di tempatnya berada. Tujuannya, adalah agar pakaian yang ia kenakan tidak mencolok sehingga tujuan “tidak diganggu” menjadi terpenuhi.

Nah…buat saya…terawangan dari tiga sudut pandang ini bisa menjawab semua pertanyaan mengenai hijab-berhijab yang semakin marak. Misalnya pertanyaan mengenai warna, corak, kerudung menyerupai punuk unta, dll dll.

Intinya buat saya sendiri, PRnya adalah…menelisik kembali niat berjilbab, menghargai bentuk-bentuk pemakaian jilbab dari 4 pendapat para ulama dan tidak merasa “lebih baik” dari pilihan yang lain, dan setiap bercermin bertanya: apakah tujuan saya berjilbab adalah meredam hawa nafsu atau memuaskannya.

_day one ramadhan 1433_

mau jadi ayah berkualitas buat anak? ini caranya……

Bahwa seorang ayah memiliki peran yang penting dalam tumbuh kembang anaknya, itu merupakan sebuah fakta yang tak terbantahkan. Baik menurut agama, menurut akal sehat, dan kini, secara empiris terbukti melalui beragam penemuan ilmiah. Karena itulah, pemahaman “aku harus melibatkan diri dalam pengasuhan anak” sudah dimiliki banyak ayah sekarang, terutama ayah-ayah muda. Namun demikian, tak dapat disangkal juga ada sekian banyak faktor yang menjadi pertanyaan serta hambatan yang dirasakan ayah, yang membuat niat untuk terlibat menjadi tak benar-benar terwujud secara nyata.

Dalam focus group discussion yang kami lakukan pada 11 orang ayah di Bandung Oktober 2012 lalu, hambatan utama yang dirasakan para ayah untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anaknya adalah “kurangnya waktu”. Yups….dengan fungsi utama ayah sebagai pencari nafkah, wajar hal tersebut dirasakan.

“How much is enough?” “How much time and attention do I need to give my child to ensure she or he grows up healthy?” begitu mungkin kurang lebih pertanyaan para ayah.

Palkoviz (2002) menjawab pertanyaan para ayah tersebut : Instead of counting how many minutes youspend with your child as a measure of “good” fathering, ask yourself, “What do I do with my child with the time that I have?” Researchers generally find the quality and type of activities that you do with your child are far more important than the amount of time you spend with them.

Ada beberapa poin penting yang bisa “dipegang” para ayah saat ingin melibatkan diri dalam hidup anak-anaknya:

(1) Usahakan adanya waktu berkualitas bersama anak.

Apa tandanya waktu kebersamaan ayah dan anak adalah waktu yang berkualitas? buat para ayah, pertanyaan2 ini membantu mengidentifikasinya.

  • Apakah anak menjadi pusat perhatian anda? atau…anda  hanya berusaha membuat anak sibuk saat anda  mengerjakan hal lain?
  • Selama bersama dengan anak, apakah anda benar-benar terlibat sehingga baik anda maupun anak menikmatinya?
  • Apakah anda meluangkan waktu secara sengaja untuk menstimulasi aspek-aspek perkembangan anak anda?
  • Apakah anda benar-benar merencanakan waktu kebersamaan dengan anak?
  • Apakah anda merasa bahagia saat bersama dengan anak anda meskipun kegiatan anda dan anak “tidak bertujuan?”

(2) Terlibatlah dalam setiap fase kehidupan anak.

Siapa bilang anak hanya butuh orangtuanya pada fase kehidupan tertentu saja? anak membutuhkan orangtunya dalam setiap fase kehidupannya. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Demikian juga kebutuhan anak terhadap ayah.

  • Pada fase bayi dan prasekolah, keterlibatan ayah bisa berbentuk bantuan mengurus secara fisik seperti mengganti popok, memangku/menggendong, meninabobokan, serta mengajak bermain  (Bronte-Tinkew et al., 2008).
  • Pada fase anak sekolah, keterlibatan ayah bisa berbentuk mengantar kegiatan di sekolah, menemani belajar, dll.

(3) Jangan merasa bahwa pemenuhan kebutuhan fisik anak adalah yang paling utama.

Being a good father doesn’t mean making sure your child has all the best toys, or lives in the best neighborhood. It means making sure your child has all the benefits of having you in his or her life.

Dalam sejarahnya, meskipun kini disadari bahwa peran ayah bukanlah peran “pembantu” dalam tumbuh kembang anak, namun rekonstruksi budaya telah menempatkan ayah tidak berada di garis depan dalam hidup anak-anaknya. Maka, jangan heran kalau seringkali seorang anak (yang telah tumbuh dewasa), kesulitan untuk mengingat kenangan manis bersama ayah. Dan akibatnya, pola asuh ayah terhadap dirinya pun cenderung terulang dalam caranya mengasuh anak-anaknya. Tak akan ada yang menyalahkan jika seorang ayah menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja, sampai tak punya waktu dengan anak.

Namun, pengalaman menjadi seorang ayah adalah pengalaman berharga yang tak akan terbeli dengan apapun.

Memang, Akan ada banyak situasi yang bisa jadi alasan untuk tak punya waktu untuk “hanya”  bersama anak. Akan ada banyak kegiatan lan yang lebih “penting” untuk dilakukan.Namun, Realize that, as you become more involved in your child’s life, you may become less involved inother areas of your life. You may not be able to work as many overtime shifts or stay as late at work. You may have to say no to an outing or two with the guys, take a season off from your bowling or soccer league. Know that in the end, most fathers agree that the benefits that they receive through building their relationship with their child far outweigh thesesacrifices. Last, these benefits influence the development of your child into a successful adult and future parent.

 

Sumber:

Artikel : Being an Involved Father: What Does It Mean?. Kate Fogarty and Garret D. Evans.2009.

 

saat anak kita tidak “pintar” ….

Beberapa minggu terakhir ini, yang jadi “trending topic” di fesbuk kalau gak masalah pilwalkot bandung, adalah masalah bagi raport anak-anak dari para emak jamaah pesbuk. Banyak emak yang “melaporkan” kebanggan karena prestasi gemilang anak-anaknya, ada pula yang berusaha untuk bangga karena prestasi anaknya belum gemilang.

Behind the stage, beberapa minggu sebelumnya- yaitu saat pengisian nilai raport oleh guru – sampai minggu-minggu ini, saya mendapat beberapa klien terkait dengan prestasi akademik. Secara spesifik, saya menerima klien yang dirujuk oleh sekolah maupun yang datang atas inisiatif orangtuanya, dengan kasus: prestasi belajar rendah, nilai raport jelek, tidak naik kelas. Tujuan kedatangan ke psikolog adalah; kalau yang dirujuk oleh sekolah, sekolah meminta “second opinion” apakah tepat kalau si anak tidak dinaikkan. Apalagi katanya sekarang ada peraturan “hanya boleh tidak naik kelas sekali” . Saya sendiri belum mencari info mengenai kejelasan aturan tersebut. Yang jelas, dengan adanya aturan ini, maka guru dan kepala sekolah harus hati2 kapan saat yang tepat menggunakan satu kesempatan ini. Kalau yang datang atas inisiatif orangtua sendiri, biasanya pertanyaannya adalah “kenapa anak saya bisa jelek nilainya?” “apa yang salah?” “bagaimana caranya biar prestasi meningkat?”

Kalau datang ke psikolog, sesi pertemuan pertama agendanya adalah wawancara untuk memperjelas “keluhan” dan “riwayat keluhan”. Dari dua agenda ini, biasanya sudah akan ada hipotesis di kepala  si psikolog, apa yang menjadi penyebab rendahnya prestasi akademik yang dikeluhkan. Hipotesis ini akan dikonfirmasi oleh asesment psikologis yang dilakukan pada si anak di pertemuan selanjutnya. Bisa test informal maupun test formal sesuai hipotesis si psikolog. Lalu pertemuan selanjutnya, akan dilakukan sesi konseling untuk menjawab pertanyaan awal sesuai dengan hasil asesmen.

Secara umum, ada dua “penyebab” rendahnya prestasi anak. Penyebab ini akan menentukan arah stimulasi yang dapat dilakukan guru dan atau orangtua.

(1)  Potensi kecerdasan yang terbatas.

(2) “Underachievement”

(3)  Kesubel

 

syarat perlu dan syarat cukup pengubah takdir

Alhamdulillah. Akhirnya hari Ahad kemarin berkesempatan juga mengikuti kembali “peregangan otot spiritual” dengan materi “Hikmah dan Hakikat Doa, Dzikir, Istighfar dan Shalawat”. Disampaikan oleh ustadz favorit sayah, yang ternyata namanya adalah Ustad Sholih Sofyan… Sebenarnya sih tidak ada informasi baru mengenai materi2 di atas. Namun ustadz ini, seperti pernah saya ungkapkan, selalu bisa menyampaikan ajaran Islam dari sudut pandang yang berbeda. Logis sekaligus filosofis, sehingga menggerakkan kita untuk tidak hanya sekedar menempatkan Islam sebagai pengetahuan saja, namun juga benar2 mengamalkannya sebagai “way of life” kita, menjadi bagian dari kepribadian kita.

Saya akan coba share sebagian  yang saya dan mas dapat dari materi kemarin, terutama mengenai doa. Meskipun pasti reduksinya akan banyak…..

PAk Ustadz mengawali uraiannya dengan pertanyaan: “apa sih bekal kita untuk mengalahkan musuh dalam kehidupan ini agar mencapai kemenangan dan selamat?” . Kalau ada seorang yang dzahir, terlihat…bertarung dengan yang tak terlihat, siapa kira-kira yang akan menang? pastinya yang tak terlihat bukan? Nah…Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang dzahir dan terlihat sedangkan syetan, musuh abadi kita, adalah makhluk yang “invisible”. Tapi anehnya, Allah sebenarnya mensetting bahwa kita bisa menjadi pemenang. Bagaimana caranya? itulah jawaban pertanyaan awal. Bekal yang paling ampuh mengalahkan syetan adalah ketaqwaan.

Ketaqwaan. Taqwa. Rasanya sudah kehilangan makna dalam kehidupan sehari-hari kita. Kalau kita pelajari dan hayati lagi makna taqwa yang sesungguhnya, taqwa itu bermakna “tameng” atau “perisai”. Apa saja yang berfungsi sebagai “tameng” atau “perisai?” ada 4, yaitu: doa, dikir, istighfar dan sholawat.

DOA.Hidup kita ini, dalam Al-Qur’an disebut senda gurau belaka. Doa, membuat status kehidupan sebagai senda gurau berubah menjadi ibadah. Tidur tanpa doa? itu adalah senda gurau. Tidur dengan doa? itu ibadah. Belajar tanpa doa? itu senda gurau. Belajar dengan doa? itu ibadah. Doa untuk mengawali segala macam kegiatan kita, membuat kita bagaikan seorang yang “siap tempur” menghadapi serangan musuk invisible kita, sehingga tak ada suatu saat pun si invisible syetan bisa menaklukkan kita. Itulah sebabnya, setiap kegiatan seorang muslin itu ada tuntutan doanya.

DOA.Sebagian dari kita sudah tahu ayat “ud’uniii astajiblakum……” (Al Mu’minuun:60)… Anak2 kita yang ikutan TKIT pun sudah hafal hadits “doa adalah senjatanya orang mukmin”. Namun….kalau kita coba hayati….apa sih yang menggerakkan kita untuk berdoa? biasanya, yang menggerakkan kita untuk berdoa, adalah ketika kita ada kebutuhan pada Allah, ketika kita ingin meminta dan memohon sesuatu dari Allah. Yups, itu wajar….karena itulah kedudukan doa ada di bawah dzikir. Karena kalau kita hayati, dzikir itu adalah implementasi mahabbah, cinta pada Allah….jadi fokusnya bukan pada diri kita, tapi pada Allah.

Tapi, meskipun dasar kita melakukan doa seringnya adalah karena adanya kebutuhan dari diri kita (baik konkrit maupun abstrak), sebenarnya itu perlu diluruskan. Seharusnya, dasar kita berdoa adalah karena kita diperintahkan untuk itu, doa adalah ibadah dan kita mendapat pahala saat melakukannya. Tidak peduli doa kita dikabulkan secara “kontan” atau tidak di dunia ini.

Seringkali tanpa kita sadari, saat berdoa kita lebih memposisikan diri sebagai seorang yang “mendikte” Allah. Nah, itu harus kita evaluasi. Sebelum berdoa, kita harus tahu betul dimana posisi kita. Posisi kita adalah seorang yang memohon pada yang Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Tahu. Posisi kita seharusnya adalah MERENDAH. BAik merendahkan hati maupun merendahkan diri. Sikap mental ini akan tercermin dalam gesture kita saat berdoa, redaksi doa kita, maupun keterlibatan emosi dalam berdoa. Doa yang konkrit, misalnya minta masuk ke perguruan tinggi tertentu, minta pekerjaan tertentu, mobil tertentu, dll tertentu sesuai kebutuhan kita, tentulah hal yang manusiawi. Namun kalau hanya itu, sama dengan mendikte Allah. Yang harus kita mintakan harusnya sesuatu yang lebih besar. PetunjukNya. Rahmat. Barokah. Karena belum tentu yang kita mintakan, akan membawa kebaikan pada kita. Boleh-boleh saja minta yang konkrit, namun harus diakhiri dengan keberserahan atas apa yang Allah berikan pada kita, dengan penghayatan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik berdasarkan ke Maha Rohman dan RohimNya, serta keMaha TahuanNya.

Sikap mental saat berdoa, tampak seperti yang mudah. Tapi kalau saya coba merefleksi dan mengevaluasi diri, itu tidak mudah. Berdoa “ya Allah kalau memang itu yang terbaik, mudahkanlah…kalau tidak, ganti dengan yang lebih baik…” memang mudah. Kalau hanya sekedar basa-basi. Kalau kita menelisik jauh ke dalam lubuk hati, seringkali kita merasa apa ynag kita inginkan itu, adalah yang terbaik buat kita. Ada proses yang harus kita jalani memang untuk bisa “pasrah” atas apa yang akan Allah terjadikan pada kehidupan kita. Proses itu yang disebut oleh Jeffry Lang sebagai Struggle to Surrender.

Kata Pak Ustadz, kalau kita sudah mengiringi proses berdoa dengan proses mental merendahkan diri dan pasrah, maka kita akan bisa merasakan apakah “tembakan” doa kita “mengena” atau tidak. Itu bisa kita hayati dan rasakan ….. begitu kata beliau. Beliau menceriterakan bahwa ia pernah bertanya pada tentara khusus yang ia bimbing umroh, apakah seorang tentara yang menembak dalam peperangan bisa merasakan apakah tembakannya kena atau meleset, tentara2 tersebut mengatakan bisa. Ya, seperti itulah juga saat kita berdoa.

Bagi seorang muslim, doa merupakan senjata dan tiangnya agama serta cahaya langit dan bumi. Apa yang dimaksud sebagai cahaya langit dan bumi? Itu karena, kekuatan doa bisa ke segenap penjuru; Secara vertikal, doa bisa menembus langit (takdir) dan menembus ke alam barah. Secara horiontal, doa bisa menebus dosa masa lalu dan menembus sisa umur.

Sebagai seorang ibu, menurut saya… doa adalah satu hal yang terbaik yang bisa kita berikan pada anak kita dalam menjalani kehidupannya. Boleh jadi secara fisik, kita tak bisa bersama anak kita lagi. Namun doa untuk kebaikan mereka yang kita panjatkan, akan menjadi pengiring kehidupannya. Sampai kita menutup mata selamanya.  Sebaliknya,  visi kita dalam mendidik anak seharusnya adalah agar anak-anak kita menjadi anak sholeh yang kekuatan doanya bisa menyelamatkan kita di alam Barzah nanti.

Ada satu konsep yang begitu “mengena” pada saya dari uraian pak Ustadz. Beliau menguraikan bahwa; ikhtiar itu tidak akan mengubah takdir. Yang bisa mengubah takdir adalah doa. Kenapa hal ini begitu mengena? yups..yups…saya sudah paham bahwa doa dan usaha adalah upaya kita mendapatkan takdir terbaik. Namun…jujur…jujur…dari lubuk hati yang paling dalam, saya harus mengakuti bahwa seringkali saya lebih menyandarkan diri, lebih merasa “tenang” saat saya melakukan ikhtiar maksimal. Concern saya lebih pada itu dibanding pada doa. Uraian dari Pak Ustadz kemarin membuat saya terhenyak. Kini saya punya penghayatan baru. Kalau dalam variabel penelitian, ada namanya syarat perlu dan syarat cukup. Begitu analogi yang tepat sepertinya. Untuk mengubah takdir, syarat perlu-nya adalah usaha maksimal, dan syarat cukupnya adalah doa. Untuk mengibah takdir, kita perlu berusaha. Namun usaha kita tak cukup kalau tak diiringi doa.

Sebagai seorang yang bergelut di bidang kepribadian dan perilaku manusia, konsep ini membuat saya, kembali bangga menjadi muslimah. Karena cara pandang ini, membuat kita menjadi selalu optimis menjalani kehidupan. Oleh karena itulah, seorang muslim, seharusnya tak pernah berlarut2 dalam ke-galauan, karena ia punya senjata yang amat jitu, tak ada bandingannya. Dan analogi konkrit mengenai doa ini, sangat mudah dipahami. Bahkan oleh anak usia 10, 7, bahkan 3 tahun. Tidak percaya? coba saja jelaskan pada anak-anak kita. Bahwa doa akan menjadi “pagar” yang membuat syetan selalu “mental” saat mau mengganggu mereka. Ditambah dengan doa, yakinlah bahwa kita telah mempersiapkan anak-anak untuk menjadi  pribadi yang kuat dan tangguh.

Amiiiiin….