Alhamdulillah. Akhirnya hari Ahad kemarin berkesempatan juga mengikuti kembali “peregangan otot spiritual” dengan materi “Hikmah dan Hakikat Doa, Dzikir, Istighfar dan Shalawat”. Disampaikan oleh ustadz favorit sayah, yang ternyata namanya adalah Ustad Sholih Sofyan… Sebenarnya sih tidak ada informasi baru mengenai materi2 di atas. Namun ustadz ini, seperti pernah saya ungkapkan, selalu bisa menyampaikan ajaran Islam dari sudut pandang yang berbeda. Logis sekaligus filosofis, sehingga menggerakkan kita untuk tidak hanya sekedar menempatkan Islam sebagai pengetahuan saja, namun juga benar2 mengamalkannya sebagai “way of life” kita, menjadi bagian dari kepribadian kita.
Saya akan coba share sebagian yang saya dan mas dapat dari materi kemarin, terutama mengenai doa. Meskipun pasti reduksinya akan banyak…..
PAk Ustadz mengawali uraiannya dengan pertanyaan: “apa sih bekal kita untuk mengalahkan musuh dalam kehidupan ini agar mencapai kemenangan dan selamat?” . Kalau ada seorang yang dzahir, terlihat…bertarung dengan yang tak terlihat, siapa kira-kira yang akan menang? pastinya yang tak terlihat bukan? Nah…Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang dzahir dan terlihat sedangkan syetan, musuh abadi kita, adalah makhluk yang “invisible”. Tapi anehnya, Allah sebenarnya mensetting bahwa kita bisa menjadi pemenang. Bagaimana caranya? itulah jawaban pertanyaan awal. Bekal yang paling ampuh mengalahkan syetan adalah ketaqwaan.
Ketaqwaan. Taqwa. Rasanya sudah kehilangan makna dalam kehidupan sehari-hari kita. Kalau kita pelajari dan hayati lagi makna taqwa yang sesungguhnya, taqwa itu bermakna “tameng” atau “perisai”. Apa saja yang berfungsi sebagai “tameng” atau “perisai?” ada 4, yaitu: doa, dikir, istighfar dan sholawat.
DOA.Hidup kita ini, dalam Al-Qur’an disebut senda gurau belaka. Doa, membuat status kehidupan sebagai senda gurau berubah menjadi ibadah. Tidur tanpa doa? itu adalah senda gurau. Tidur dengan doa? itu ibadah. Belajar tanpa doa? itu senda gurau. Belajar dengan doa? itu ibadah. Doa untuk mengawali segala macam kegiatan kita, membuat kita bagaikan seorang yang “siap tempur” menghadapi serangan musuk invisible kita, sehingga tak ada suatu saat pun si invisible syetan bisa menaklukkan kita. Itulah sebabnya, setiap kegiatan seorang muslin itu ada tuntutan doanya.
DOA.Sebagian dari kita sudah tahu ayat “ud’uniii astajiblakum……” (Al Mu’minuun:60)… Anak2 kita yang ikutan TKIT pun sudah hafal hadits “doa adalah senjatanya orang mukmin”. Namun….kalau kita coba hayati….apa sih yang menggerakkan kita untuk berdoa? biasanya, yang menggerakkan kita untuk berdoa, adalah ketika kita ada kebutuhan pada Allah, ketika kita ingin meminta dan memohon sesuatu dari Allah. Yups, itu wajar….karena itulah kedudukan doa ada di bawah dzikir. Karena kalau kita hayati, dzikir itu adalah implementasi mahabbah, cinta pada Allah….jadi fokusnya bukan pada diri kita, tapi pada Allah.
Tapi, meskipun dasar kita melakukan doa seringnya adalah karena adanya kebutuhan dari diri kita (baik konkrit maupun abstrak), sebenarnya itu perlu diluruskan. Seharusnya, dasar kita berdoa adalah karena kita diperintahkan untuk itu, doa adalah ibadah dan kita mendapat pahala saat melakukannya. Tidak peduli doa kita dikabulkan secara “kontan” atau tidak di dunia ini.
Seringkali tanpa kita sadari, saat berdoa kita lebih memposisikan diri sebagai seorang yang “mendikte” Allah. Nah, itu harus kita evaluasi. Sebelum berdoa, kita harus tahu betul dimana posisi kita. Posisi kita adalah seorang yang memohon pada yang Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Tahu. Posisi kita seharusnya adalah MERENDAH. BAik merendahkan hati maupun merendahkan diri. Sikap mental ini akan tercermin dalam gesture kita saat berdoa, redaksi doa kita, maupun keterlibatan emosi dalam berdoa. Doa yang konkrit, misalnya minta masuk ke perguruan tinggi tertentu, minta pekerjaan tertentu, mobil tertentu, dll tertentu sesuai kebutuhan kita, tentulah hal yang manusiawi. Namun kalau hanya itu, sama dengan mendikte Allah. Yang harus kita mintakan harusnya sesuatu yang lebih besar. PetunjukNya. Rahmat. Barokah. Karena belum tentu yang kita mintakan, akan membawa kebaikan pada kita. Boleh-boleh saja minta yang konkrit, namun harus diakhiri dengan keberserahan atas apa yang Allah berikan pada kita, dengan penghayatan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik berdasarkan ke Maha Rohman dan RohimNya, serta keMaha TahuanNya.
Sikap mental saat berdoa, tampak seperti yang mudah. Tapi kalau saya coba merefleksi dan mengevaluasi diri, itu tidak mudah. Berdoa “ya Allah kalau memang itu yang terbaik, mudahkanlah…kalau tidak, ganti dengan yang lebih baik…” memang mudah. Kalau hanya sekedar basa-basi. Kalau kita menelisik jauh ke dalam lubuk hati, seringkali kita merasa apa ynag kita inginkan itu, adalah yang terbaik buat kita. Ada proses yang harus kita jalani memang untuk bisa “pasrah” atas apa yang akan Allah terjadikan pada kehidupan kita. Proses itu yang disebut oleh Jeffry Lang sebagai Struggle to Surrender.
Kata Pak Ustadz, kalau kita sudah mengiringi proses berdoa dengan proses mental merendahkan diri dan pasrah, maka kita akan bisa merasakan apakah “tembakan” doa kita “mengena” atau tidak. Itu bisa kita hayati dan rasakan ….. begitu kata beliau. Beliau menceriterakan bahwa ia pernah bertanya pada tentara khusus yang ia bimbing umroh, apakah seorang tentara yang menembak dalam peperangan bisa merasakan apakah tembakannya kena atau meleset, tentara2 tersebut mengatakan bisa. Ya, seperti itulah juga saat kita berdoa.
Bagi seorang muslim, doa merupakan senjata dan tiangnya agama serta cahaya langit dan bumi. Apa yang dimaksud sebagai cahaya langit dan bumi? Itu karena, kekuatan doa bisa ke segenap penjuru; Secara vertikal, doa bisa menembus langit (takdir) dan menembus ke alam barah. Secara horiontal, doa bisa menebus dosa masa lalu dan menembus sisa umur.
Sebagai seorang ibu, menurut saya… doa adalah satu hal yang terbaik yang bisa kita berikan pada anak kita dalam menjalani kehidupannya. Boleh jadi secara fisik, kita tak bisa bersama anak kita lagi. Namun doa untuk kebaikan mereka yang kita panjatkan, akan menjadi pengiring kehidupannya. Sampai kita menutup mata selamanya. Sebaliknya, visi kita dalam mendidik anak seharusnya adalah agar anak-anak kita menjadi anak sholeh yang kekuatan doanya bisa menyelamatkan kita di alam Barzah nanti.
Ada satu konsep yang begitu “mengena” pada saya dari uraian pak Ustadz. Beliau menguraikan bahwa; ikhtiar itu tidak akan mengubah takdir. Yang bisa mengubah takdir adalah doa. Kenapa hal ini begitu mengena? yups..yups…saya sudah paham bahwa doa dan usaha adalah upaya kita mendapatkan takdir terbaik. Namun…jujur…jujur…dari lubuk hati yang paling dalam, saya harus mengakuti bahwa seringkali saya lebih menyandarkan diri, lebih merasa “tenang” saat saya melakukan ikhtiar maksimal. Concern saya lebih pada itu dibanding pada doa. Uraian dari Pak Ustadz kemarin membuat saya terhenyak. Kini saya punya penghayatan baru. Kalau dalam variabel penelitian, ada namanya syarat perlu dan syarat cukup. Begitu analogi yang tepat sepertinya. Untuk mengubah takdir, syarat perlu-nya adalah usaha maksimal, dan syarat cukupnya adalah doa. Untuk mengibah takdir, kita perlu berusaha. Namun usaha kita tak cukup kalau tak diiringi doa.
Sebagai seorang yang bergelut di bidang kepribadian dan perilaku manusia, konsep ini membuat saya, kembali bangga menjadi muslimah. Karena cara pandang ini, membuat kita menjadi selalu optimis menjalani kehidupan. Oleh karena itulah, seorang muslim, seharusnya tak pernah berlarut2 dalam ke-galauan, karena ia punya senjata yang amat jitu, tak ada bandingannya. Dan analogi konkrit mengenai doa ini, sangat mudah dipahami. Bahkan oleh anak usia 10, 7, bahkan 3 tahun. Tidak percaya? coba saja jelaskan pada anak-anak kita. Bahwa doa akan menjadi “pagar” yang membuat syetan selalu “mental” saat mau mengganggu mereka. Ditambah dengan doa, yakinlah bahwa kita telah mempersiapkan anak-anak untuk menjadi pribadi yang kuat dan tangguh.
Amiiiiin….
Recent Comments