acara tv ramadhan: bukan hitam putih

http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/13/07/10/mppepi-ulama-kecam-tayangan-lawakan-televisi

http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/13/07/10/mppbe8-kpi-jangan-jadikan-agama-jadi-bahan-lelucon

http://www.itoday.co.id/politik/acara-humor-di-tv-selama-ramadhan-tak-mendidik

http://www.islamedia.web.id/2013/07/himbauan-masyarakat-tv-sehat-indonesia.html

Link-link diatas adalah sebagian kecil suara “masyarakat” yang mengeluhkan tontotan tak mendidik selama Ramadhan. Saya setuju dengan suara-suara tersebut. Tapi saya juga paham mengapa tahun demi tahun, meskipun suara-suara “protes” semakin lantang, namun acara-acara demikian pun tetap bertahan. Malah lebih parah mungkin.

Kata hukum ekonomi, supply itu didasarkan pada demand. Suply acara-acara ramadhan yang “kurang mendidik” tetap ada karena demand-nya pun ada. Konkritnya, segala macam acara sinetron, humor, kuis, talkshow dll yang “kurang mendidik” itu survive karena ada sponsor. Sponsor mau karena banyak yang nonton bukan? Jadi, kalau sebagian kelompok masyarakat kita jengah dengan acara-acara tersebut, ada kelompok lain yang jumlahnya mungkin lebih besar, menikmati acara-acara tersebut.

Sebagian dari kita sudah paham bahwa ramadhan adalah bulan yang amat mulia, yang setiap detiknya harus diisi dengan kebaikan dan ibadah; sehingga kebutuhan akan kekhusyuan dan acara-acara yang mendekatkan diri pada Allah amat besar. Di sisi lain, ada sekelompok besar masyarakat kita yang masih berpendapat bahwa yang dibutuhkan adalah kegiatan-kegiatan atau tontonan yang membuat rasa kantuk saat sahur menghilang,  lapar di siang hari menjadi tak terasa. Untuk kelompok ini, maka acara TV yang dibutuhkan adalah acara-acara yang bisa membuat waktu berlalu dengan cepat, sehingga rasa lapar dan haus segera berlalu, makan dan minum segera boleh kembali. Bukankah ada beberapa tingkat kelompok orang yang berpuasa? Nah, kebutuhan kelompok kedua ini-lah yang membuat para produser memproduksi tayangan-tayangan TV yang “kurang mendidik” tadi.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Ada banyak, sesuai dengan kapasitas kita. Buat yang punya modal besar, punya kemampuan….membuat stasiun TV yang jauh lebih Islami di jaman kini, mungkin menjadi fardhu kifayah. Buat para tokoh bangsa seperti JK..menyuarakan hal ini juga merupakan satu kontribusi yang berharga… Buat teman-teman dari LSM…upaya-upaya yang dilakukan baik yang berupa advokasi maupun birokrasi, amat-sangat diperlukan.

Sementara itu, buat kita para emak di rumah…..unit analisis terkecil dari masyarakat…yang bisa kita lakukan adalah…jelas-jelas mensortir acara-acara TV di ramadhan. Kalau 75% aja emak-emak gak nonton lawakan sahur, kan acara itu gak akan ada yang menyeponsori bukan?

DI sisi lain, tidak semuanya kok tayangan TV Ramadhan itu “tidak mendidik”. Tadi setelah sahur saya menonton beberapa acara yang menurut saya cukup bagus. Yang jelas adalah Tafsir Al-Lubaab nya pak Quraish Shihab di Metro TV jam 03.00-04.00. Lalu setelah itu ada acara di salah satu TV swasta: “menelusuri jejak kebesaran nabi” dipandu oleh host ust Mirza kalau tidak salah. Lalu setelah itu ada acara di salah satu TV swasta juga, yaitu mengenai para muslim yang tersebar di beragam belahan dunia. Episode tadi pagi mengenai suku Indian di Meksiko yang memeluk Islam dan meng-Islamkan banyak keluarganya, serta pengalamannya beribadah haji. Setelah nonton tayangan ini, bersyukuuur banget tinggal di Indonesia yang mayortas muslim dan semuanya menjadi mudah.

Yang jelas;  acara infotainment, acara sinetron, lawakan, itu jangan ditonton sama sekali (itu rekomendasi sayah hehe…). Berita pun, kalau mengotori hati gak usah ditonton. Mending nonton Cebeebies, Disney Junior atau  Law and Order di channel TV berbayar hehe….Tapi lebih baik lagi, kalau kita isi dengan shalat, baca Qur’an, beajar agama, dzikir, doa, dan aktifitas kebaikan…Biar seluruh dosa kita diampuni dan kita punya bekal untuk menghadapi hari hisab nanti di bulan penuh rahmat ini, cause we do need it….

 

Hijaber : terawangan 3 dimensi

Tadi sahur mengikuti kajian Tafsir Al Misbah dari Pak Quraish Shihab. Ada pertanyaan seorang artis, bagaimana seorang istri yang ingin berhijab namun suaminya tidak memperbolehkan.

Seperti biasa, Pak Quraish Shihab menjawab dengan sistematis dan analitis. Jawaban beliau adalah: suami salah, seharusnya ia mengizinkan istri yang ingin berhijab, jika keinginannya tersebut adalah bentuk dari niat istri untuk taat pada perintah Allah. Namun bila suami tetap tidak mengizinkan, maka selama ada alternatif lain, sebaiknya istri lebih mempertahankan rumah tangga dan melakukan ketaatan-ketaatan lain terhadap Allah.

Saya mencoba mengelaborasi ungkapan beliau yang dicetak tebal dengan kerangka sudut pandang iman, islam dan ihsan dalam berhijab. Sebenarnya sudah lamaaaa banget pengen menulis tentang fenomena hijab ini. Karena perkembangannya ruarrrrr biasa. Saya selalu terkagum-kagum dengan dengan kreatifitas insan-insan Indonesia yang tak terkatakan kreatifnya memadu-padankan model, warna, gaya…dalam berhijab. Aduuuh….saya sering tergoda untuk mengikutinya. Tapi sudah beberapa kali mecoba membeli dan mempraktekkan gaya hijab jaman sekarang….ampuuuun…..ternyata memang tidak sesuai dengan kepribadian sayah hehe…selain butuh waktu yang  jauuuuh lebih lama dalam menyiapkannya, setelah dipake rasanya gak praktis dan mengganggu konsentrasi berkegiatan, diliatin dan dikomentarin orang-orang jadi  gak pede ….. akhirnya sekarang saya berperan sebagai “pengagum” saja dari para hijaber yang kinclong-kinclong ituh.

Selama kurang lebih 20 tahun berjilbab, saya mengamati fase-fase yang amat dinamis mengenai pilihan berjilbab ini. Buat orang yang bergelut di bidang perilaku seperti saya, pengamatan 20 ini adalah hal yang sangat menarik. Dengan aneka ragamnya pilihan dan gaya berhijab atau berjilbab, maka muncul pula pertanyaan-pertanyaan….Mengingat pilihan ini ada kaitannya dengan ibadah, maka tentu menjadi pertanyaan…apakah ibadah yang dilakukan ini masih dalam koridor benar atau tidak. Saya coba meneropongnya dari 3 fondasi yang seharusnya sellau menjadi penyangga setiap perbuatan dalam hidup kita: iman, islam, ikhsan.

(1) Dari sudut pandang Iman, kita harus menghayati bahwa hijab yang kita kenakan adalah bagian dari ketaatan terhadap Allah. terkait dengan hal ini, maka kita harus menelisik lagi niatan kita berhijab. Kita pastikan hanya karena Allah. Bukan karena terlihat lebih modis, bukan karena pekerjaan, bukan karena citra diri yang ingin dibentuk, bukan karena malu karena orang lain sudah banyak yang pakai, bukan karena lain-lain yang bukan Allah.

(2) Dari sudut pandang Islam, maka kita harus mengatahui tata cara dan kaifiat dalam mengenakan hijab ini. Selain 3 syarat yang sudah kita ketahui secara umum, yaitu : menutup aurat, tidak melekat dan tidak terawang. Nah, ini yang tadi diulas pak Quraish Shihab. Menurut beliau, ada 4 pendapat penafsiran para Ulama mengenai frase “menutup aurat” dalam alQur’an;

  • ada yang berpendapat menutup aurat = bercadar
  • ada yang berpendapat menutup aurat = menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan –> ini pendapat umum
  • ada yang berpendapat menutup aurat = boleh memperlihatkan lengan dari siku dan mempelihatkan kaki
  • ada yang berpendapat menutup aurat = memakai pakaian yang menjaga kehormatan

(3) Tafsiran keempat diatas terkait dengan aspek ketiga, yaitu sudut pandang ihsan atau “makna” berhijab. Ini yang sangat menarik untuk saya. Seorang yang memutuskan berhijab, setelah meyakini bahwa hal ini ia lakukan sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah, lalu mengetahui ilmu dalam memakai pakaian tersebut, yang ketiga adalah harus memahami makna apa yang terkandung dalam ajaran ini. Secara umum, setiap ibadah yang diisyaratkan dalam ajaran agama berfungsi untuk “melawan hawa nafsu”. Maka, demikian pun dalam berhijab. Ada 2 makna yang harus selalu diingat saat berhijab, yaitu: hijab yang kita kenakan adalah alat agar kita sebagai wanita “dikenali “  dan dengan demikian “tidak diganggu”.  

Terkait dengan makna ini, saya pernah punya teman yang sekolah di Australia tepat ketika peristiwa bom bali terjadi beberapa tahun lalu. Kemarahan warga di kota tempatnya menetap terhadap warga negara Indonesia terutama yang muslim sangat besar, sampai mereka mensweeping para pelajar di sana yang berjilbab. Dalam situasi seperti itu, teman saya pun membuka jilbabnya karena dalam situasi tersebut jilbabnya membuat ia menjadi tidak terjaga keamanannya. Teman saya yang lain, sering berkunjung ke beragam negara. Di setiap tempat, saya amati ia mengenakan model hijab dengan gaya, corak  dan warna yang berbeda. Waktu saya tanya, dia menjawab kalau ia mencoba melihat faktor budaya di tempatnya berada. Tujuannya, adalah agar pakaian yang ia kenakan tidak mencolok sehingga tujuan “tidak diganggu” menjadi terpenuhi.

Nah…buat saya…terawangan dari tiga sudut pandang ini bisa menjawab semua pertanyaan mengenai hijab-berhijab yang semakin marak. Misalnya pertanyaan mengenai warna, corak, kerudung menyerupai punuk unta, dll dll.

Intinya buat saya sendiri, PRnya adalah…menelisik kembali niat berjilbab, menghargai bentuk-bentuk pemakaian jilbab dari 4 pendapat para ulama dan tidak merasa “lebih baik” dari pilihan yang lain, dan setiap bercermin bertanya: apakah tujuan saya berjilbab adalah meredam hawa nafsu atau memuaskannya.

_day one ramadhan 1433_