Halal Bi Halal : Bermaafan atau Berekonsiliasi?

Minggu lalu, ada “agenda wajib” di seluruh belahan Indonesia Raya. Di setiap instansi, sekolah maupun lingkungan rumah. Yaitu: Halal Bi Halal. Konon katanya, seperti juga tradisi “mudik”, Halal Bi Halal adalah produk indigeous Indonesia. Tak akan ditemukan di belahan dunia manapun.

Saya setuju dengan pandangan Mustofa Bisri aka Gus Mus dalam bukunya “Menembus Pintu Langit”. Di buku itu, ada salah satu judul tulisan beliau: “Idul Fitri atawa Lebaran”. Kalau saya ringkas, menurut beliau Halal Bi Halal (selanjutnya akan disebut dengan istilah “Halbi”) ini “dibudayakan” oleh para pendahulu kita di Indonesia sebagai salah satu bagian penting membersihkan diri, menghapus seluruh dosa yang pernah dilakukan. Kesalahan pada Allah, bisa dihapus dengan berbagai ritual ibadah : beristighfar, sholat, puasa, zakat. Sedangkan dosa pada sesama manusia, selain memerlukan pertobatan pada Allah, ada satu syarat lagi yang diperlukan…yaitu, meminta maaf pada orang yang bersangkutan. Nah..di moment halbi inilah menurut Gus Mus, tampaknya setiap orang lebih lapang dadanya untuk meminta maaf dan dimaafkan.

Tapi…sebagai orang yang bergelut di bidang yang mempelajari “perilaku dan proses mental yang mendasarinya” ; saya ingin menelisik lebih dalam … proses apa yang terjadi dalam pikiran dan hati kita saat kita saling melempar senyum dan bersalaman serta berangkulan. Kenapa ingin saya telisik? karena…saya yakin…kalau suatu perilaku itu dijanjikan pahala yang amat besar, maka ia mempersyaratkan proses yang secara fithrah “berat” bagi manusia (teuteup….no gain without pain). Nah, mengingat besarnya pahala yang Allah janjikan pada orang yang memaafkan kesalahan orang yang menyakitinya, maka kalau kita merasa “mudah” melakukannya; ada dua alternatif: (1) kita sholeh banget (2) proses yang kita lakukan gak bener, gak sesuai dengan yang Allah maksudkan.

Pertanyaan mengenai “proses apa yang terjadi saat seseorang memaafkan” membawa saya pada sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan saya: Handbook of Forgiveness (2005) yang di editor-i oleh Everett L. Worthington, Jr. Di buku itu dijelaskan bahwa “memaafkan” sebenarnya bermanfaat untuk yang bersangkutan. Penelitian menunjukkan bahwa orang2 yang bisa “memaafkan” kesalahan orang lain, hidupnya lebih bahagia. Mereka tidak akan menjadi “ahli sejarah” yang akan mengingat kesalahan orang-orang kepadanya.

Hal paling menarik yang diungkapkan oleh buku itu adalah, bahwa insting “memperbaiki hubungan” itu tak hanya ada pada manusia, tapi juga pada hewan. Sayangnya, hal itu bukanlah yang dimaksud dengan “memaafkan”, namun hanya “rekonsiliasi”.

Reconciliation is defined as a friendly reunion between former opponents: The reunion supposedly serves to return the relationship to normal levels of tolerance and cooperation. Begitu diungkap di buku ini.  Jika merujuk pada definisinya, maka hasil rekonsiliasi adalah “hubungan yang kembali pada level kerjasama dan toleransi yang normal”. Dua makhluk yang sudah berekonsiliasi akan bisa bersikap “biasa” lagi. Ini sejalan dengan definis rekonsiliasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia : re·kon·si·li·a·si /rékonsiliasi/ n 1 perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pd keadaan semula;

Tapi, rekonsiliasi BUKANLAH memaafkan. Memaafkan hanya bisa dilakukan oleh MANUSIA.

Forgiveness is best defined as a victim releasing or foregoing bitterness and vengeance toward the perpetrator of an offense while acknowledging the seriousness of the wrong. Forgiveness does not imply forgetting (Smedes, 1996), condoning (Veenstra, 1992), reconciliation (Freedman,1998), or release from legal accountability (Enright & Fitzgibbons, 2000).

Further, we assume that the absence of negative feelings toward the offender is sufficient for forgiveness. This definition allows maximum applicability across religious worldviews, which vary as to whether acknowledgment of wrongdoing and restitution by the offender are prerequisites of forgiveness and whether positive feelings or actionsby the victim are a necessary part of forgiveness (Rye et al., 2000).

The process of forgiveness occurs when individual A has been wronged in some way by individual B, resulting in A having negative emotions toward B. A then attempts to cope with the situation and overcomes these negative feelings, which usually requires changing one’s perception of the other individual. Forgiveness implies acceptance of the situation and the other individual.

Nah, melalui penjelasan diatas, jelaslah sudah…”make sense” kenapa pahala memaafkan sedemikian besar, dan benefit psikologisnya pun segudang. Mari kita hayati apakah saat bersalaman dengan teman2 kita, kita hanya ber-rekonsiliasi ataukah sudah benar-benar memaafkan?

Mumpung masih syawal….kita sempurnakan hubungan kita dengan Allah melalui puasa sunnah syawal, dan kita sempurnakan hubungan kita dengan sesama manusia melalui proses memaafkan yang benar.

Biar kita sehat. Fisik, Psikologis dan Spiritual.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: