01. Haji : Dulu dan Sekarang

Sejak TK kita maupun anak2 kita diajarkan bahwa rukun islam itu ada 5. Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Artinya, seseorang dikatakan seorang muslim apabila melaksanakan kelima rukun tersebut. Khusus bagi haji, ada tambahannya, yaitu “bagi yang mampu”. Nah, beragam tafsiran tentang “mampu” ini. Ada yg menafsirkan mampu dari segi biaya; artinya punya uang untuk melunasi biaya ONH. Ada juga yg menafsirkan “mampu” ini dari segi ilmu dan tingkat keagamaan. Ada juga yg berpendapat bahwa “mampu” ini adalah jika memenuhi dua persyaratan tadi.

Tafsiran pertama, tentang kemampuan finansial-pun dalam prakteknya dipahami beragam. Ada yg begitu punya uang sejumlah ONH merasa sudah wajib melaksanakan ibadah haji; asal kebutuhan sandang, pangan, papan- nya sudah terpenuhi. Mereka ini, meskipun rumahnya mungil, baju2nya sederhana, makannya asal kenyang, merasa sudah wajib melaksanakan ibadah haji. Namun di sisi lain, ada sebagian yg memandang kemampuan finansialnya masih belum membuatnya wajib melaksanakan ibadah haji, meskipun rumahnya sudah bagus bahkan punya lebih dari satu, kendaraan pun punya lebih dari satu, tiap bulan mengeluarkan belasan juta untuk membiayai life style-nya.

Tafsiran tentang kemampuan tingkat keagamaan pun beragam. Ada yg merasa bahwa “beragama islam” cukuplah menjadi syarat baginya berhaji. Biar sholat masih bolong2, biar ngaji masih terbata2….Di sisi lain, ada  yang mempersyaratkan pada dirinya sendiri bahwa ia harus sudah “paham agama” dulu, harus jadi “orang baik” dulu, baru berhaji.

Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya : “Haji dan Umroh  bersama M. Quraish Shihab”, ada 5 syarat seseorang dikatakan “mampu” sehingga “wajib” melaksanakan ibadah haji:(1) Muslim, (2) Berakal sehat, (3) Merdeka, bukan budak (4) Mampu, dan (5) Bisanya melakukan perjalanan haji, terkait kesesuaian waktu.

Kriteria kemampuan : (a) material : diperoleh secara halal, bukan dengan menjual satu2nya sumber penghasilan atau menjual sesuatu yang bisa mengakibatkan kesulitan hidup ybs dan keluarganya (b) fisik (c) ilmiah dan rohani (d)keamanan dalam perjalanan, tempat yang dituju dan tempat menjalankan ibadah haji, serta keamanan keluarga yang ditinggalkan.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Curcol : saya merasa, kriteria yang ke-4 yaitu “mampu” poin (c) dan (d), sangat “rentan” menjadi celah godaan syetan. Saya hampir akan menunda lagi keberangkatan haji tahun ini, dan mungkin tidak akan pernah berhaji karena saya pernah menetapkan “standar” ilmiah dan rohani yang harus saya capai, dan nyatanya belum bisa saya capai. Trust me….seperti juga episode penting lainnya dalam hidup kita : menikah, punya anak …. kita tak akan pernah merasa siap dalam segi ilmu dan rohani untuk “layak” berhaji.

Saya juga merasa gamang sebelum pergi, apakah saya tidak dzalim pada anak-anak saya? saya berpikir, karena anak-anak saya masih kecil, bisa jadi saya belum memenuhi kriteria wajib berhaji. Suatu saat, saya mengobrol dengan mama saya. Waktu itu mama bercerita tentang kecemasanya meningggalkan adik2 saya, padahal waktu itu adik bungsu saya sudah SMA. Dari obrolan itu saya menghayati…. ya, ternyata  bagi seorang ibu, tak akan ada namanya waktu dimana ia bisa meninggalkan anak-anaknya tanpa ada rasa cemas. Setiap fase perkembangan anak, seorang ibu pasti merasa ia harus berada disamping anak-anaknya.

Mengadukan kecemasan kita padaNYa dibarengi usaha maksimal semampu kita, insya allah akan membuat Allah memberikan petunjuk pada kita, berupa “kecondongan hati” dan “kekuatan” untuk memantapkan hati, apakah memang sudah saatnya kita berupaya agar diundangNya, atau belum saatnya.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Seiring dengan perubahan zaman, saya melihat ada perubahan dalam kondisi jamaah haji. Kalau dulu, sebelum dan awal2 kemerdekaan, hanya sedikit dari negeri ini yg bisa berhaji. Mereka biasanya pemuka2 agama, yg cukup terpandang… Untuk melaksanakan ibadah haji, mereka memerlukan waktu berbulan2. Mempertaruhkan nyawa. Melalui laut, lalu di sana berjalan kaki….Coba teman-teman klik “hajj 1953” di youtube, akan tergambar bagaimana beratnya melaksanakan ibadah haji  secara fisik pada saat itu. Pantaslah saat melepas mereka berhaji, keluarga seperti melepas mereka untuk kematian.

Tapi mereka2 itu, setelah pulang dari haji, benar2 menjadi “manusia baru”. Perjalanan fisik dan spiritual yang amat extraordinary membuat mereka seperti menjadi penggerak2 kebaikan yang sangat signifikan. Itulah sebabnya dulu penjajah negeri ini sangat takut pada org2 yg pergi berhaji, karena pulang haji, mereka akan jadi penggerak2 perjuangan yang tak takut mati.

Seiring zaman berlalu, meskipun perjalanan haji menjadi semakin mudah, namun biasanya yg pergi haji masihlah org2 terpandang dari segi kekayaan, dan org2 yang sudah tua serta org2 yang “paham agama”. Itulah sebabnya ada jaman dimana gelar “haji” melekat menjadi status sosial-ekonomi.

Lain dulu lain sekarang.

Sekarang ini, mulai pendaftaran haji, manasik sampai dengan pelaksanaan haji…saya melihat telah terjadi perubahan komposisi jamaah haji. Wajah2 muda, pasangan muda, hampir fifty2 dgn wajah2 keriput. Meskipun saya dan mas tergolong muda (sampai2 ada bapak yang menyangka kami adalah kakak-beradik dan masih kuliah haha… Ya, begitulah nasib berwajah imut. Orang2 susah percaya kalau saya udah punya anak 4 ;), namun tak sedikit yg usianya msh kepala dua.Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi bangsa ini semaking meningkat. Orang tak butuh puluhan tahun lagi untuk menabung sedikit demi sedikit uang yang mereka sisihkan, sehingga baru bisa berhaji di masa tua.

Tampilan para jemaah haji pun beragam. Dari mulai yg bercadar, berjilbab “lebar”, “hijaber” dengan segala macam gaya, sampai yang bajunya-meskipun menutup tubuh- tapi melekat dan “sexy”.

Masalah pemahana agama? Pun beragam. Dari mulai ustadz, aktivis keagamaan di rumah dan tempat kerjanya, di sisi lain banyak dari mereka yg blm bisa baca qur an, belum berjilbab, pengetahuannya agamanya “minim”.

Menurut saya, keragaman ini adalah suatu hal yang positif.  Saya sangat mengapresiasi semangat “memperbaiki diri” yang dimiliki kelompok2 yang “pemahaman agamanya masih kurang”. Menurut saya, memang….seharusnya, niat melaksanakan ibadah haruslah hanya 1 : sebagai bentuk mendekatkan diri pada allah. Kalau kita membuka hati kita, maka semoga allah memberikan hidayah dan tuntunanNya pada kita, pada “posisi” apapun sekarang kita berada dalam hal tauhid, ilmu agama dan akhlak.

Tapi sepertinya, kuantitas memang selalu berbanding terbalik dengan kualitas. Itu mah udah sunnatullah. “Efek” dari perjalanan ibadah haji yang “relatif mudah” sekarang ini membuat jumlah haji mabrur, secara “kasat mata” prosentasenya tidak sebesar dulu.
Efek perjalanan ibadah haji seseorang pada penguatan tauhid, peningkatan ilmu , perbaikan amal dan konstribusi pada masyarakat kini tak sedahsyat dulu.

Dulu, saya tdk memahami kenapa ada org2 yang sudah berhaji namun hajinya seperti “tak berbekas”. Selama 40 hari menjalani ibadah haji, saya paham mengapa hal itu bisa terjadi. Dan hal itu bisa juga terjadi pada saya !!!  ;(

Proses apa yang dihayati seorang individu selama menjalankan ibadah haji-lah yang  menentukan apakah ia mencapai tujuan mendekatkan diri pada Allah, atau hanya sekedar pulang mendapat panggilan haji/hajjah…

Semoga teman-teman  yang tengah berazzam dan sudah melaksanakan ibadah haji, hajinya menjadi haji yang mabrur….karena haji yang mabrur balasannya adalah pengampunan seluruh dosa, ia seperti seorang bagi yang baru keluar dari rahim ibunya. Dan tak ada balasannya selain syurga di akhirat, serta kebaikan di dunia.

Selama di sana, saya baru mengetahui dan memahami apa sebenarnya “haji yang mabrur itu”, insya allah akan saya share dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: