Kalau kita semua, yang muslim ditanya…”Apakah ingin berhaji?” pasti, 99,99 persen jawabannya “ingin”. Tidak hanya yang belum berhaji, yang sudah berhaji 1kali, 2kali, 3kali, dan belasan-puluhan kali pun masih tetap ingin menjalankan ibadah haji.
Tapi ternyata, pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa kadang, kata “ingin” yg kita ucapkan itu adalah “basa-basi” semata. Ia bukan sebuah niat. Karena yang namanya niat adalah menginginkan sesuatu dan bertekad hati, berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya, jika seseorang sudah berniat namun ada halangan ia sudah mendapatkan 1 pahala.
………..
Awal Tahun 2010, alhmd mas mendapatkan rejeki yang jumlahnya cukup untuk menyetorkan sejumlah uang agar kami bs mendapat nomor porsi haji. @20jt saat itu. Setelah mendaftar ke bank, kami mengurus ini itu ke puskesmas, kecamatan dan depag serta sudah mendaftar pada salah satu KBIH.
Tahun 2011, “tanpa direncanakan” saya hamil Azzam. Sehingga ketika tahun 2012 kami ditelpon oleh bank, depag kabupaten dan kbih menyatakan kami bisa berangkat haji thn tersebut, dengan “ringan” kami memutuskan untuk mengundurkan. Saat itu, Azzam masih berumus 6 bulan.
Banyak pihak yg mempertanyakan sekaligus menyesalkan keputusan kami. Ya, saya mengerti. Sementara orang lain harus bermimpi2 untuk bisa dapat “antrian” beberapa tahun, sedangkan kami hanya perlu dua tahun. Tapi waktu itu kami benar2 tdk sanggup meninggalkan Azzam. Ia masih sangat membutuhkan saya, baik fisik-asi; maupun psikologis. Contoh2 yg diberikan org lain tentang banyaknya ibu yg meninggalkan bayinya yg bahkan lebih muda dari azzam, serta penilaian beberapa teman bahwa kami “mengabaikan” undangan Allah, belum tentu ada umur sampai tahun depan, dll tdk membuat keteguhan kami berkurang. Kami juga sepakat bahwa mas tidak akan pergi sendiri walaupun memungkinkan. Kami akan pergi bersama. Oleh karena itulah, dgn sengaja kami tak melunasi biaya ONH tahun tersebut dan otomatis berada di waiting list tahun 2013.
Tahun ini, sebenarnya kami pun sudah bulat untuk mengundur kembali keberangkatan kami. Usia Azzam yang belum genap 2 tahun, sedangkan kami menghayati bahwa salah satu kewajiban mutlak kami sebagai ortu, terutama saya sebagai ibu adalah menyusuia sampai genap berusia 2 tahun. Beragam dalil psikologi dan ayat qur’an memantapkan keputusan kami. Dengan “keputusan” demikian, kalau teman2 yg lain harap2 cemas, berdoa dan mempersiapkan ilmu, serta secara teknis sering mencari info adalah mereka masuk kutoa tahun ini atau tdk, kami cuek aja.
Sampai pada bulan Mei lalu, saat saya sedang sholat di kampus, setelahnya saya mendengar perbincangan antara 2 teman. Satu teman sedang menyampaikan pertanyaan apakah ia lebih baik berumroh dulu atau berhaji dulu. Satu teman yg lain, sudah berhaji dan berumroh. Ia dikenal sebagai org yg sering “ngomporin” org untuk pergi ke tanah suci. Setelah sholat, saya bergabung dgn 2 teman tadi. Saya pun mengungkapkan kalau tampaknya tahun ini saya akan masuk kuota tapi kami memutuskan untuk mengundurkan. Lagi.
Teman saya ini, mempertanyakan keputusan saya. Bla..bla..bla…kami pun berdiskusi. Intinya, menurut teman saya… saya mengabaikan undanganNya. Padahal banyak orang begitu menginginkanya, dan undangan ini bisa jadi hanya datang sekali. Implisit ia menyiatkan bahwa saya terlalu “rasional” menyikapi hal ini. Misalnya tentang asi, tentang kekhawatiran dampak psikologis meninggalkan Azzam. Di akhir “diskusi”, saya tetap pada pendirian saya.
Tapi ada sesuatu yg berubah dalam hati saya. Ya, “penyakit matuh” saya memang itu. Saya seringkali hanya memandang persoalan dan membuat keputusan dari segi rasio. Kurang mengabaikan aspek lain. Saya gak bisa “siapa tau asinya nanti keluar lagi walaupun 40 hari ditinggal”. Menurut saya, pertolongan Allah itu selalu berjalan menurut sistem sebab akibat yg telah Ia tentukan, yg namanya sunnatullah.
Sepulang dari kampus, saya langsung ke toko buku. Saya beli 2 buku: 1 perjalanan haji seorang aktifis yg membela hak2 wanita di negeri ini. 2. Buku doa2 manasik. Saya niatkan, upaya ini untuk “membuka hati” saya. Saya mulai proses “struggle to surrender”, berikhtiar dan pasrah. Biarlah Allah yg membuat keputusan. Karena keputusan ia pasti yg terbaik.
Begitulah Allah membuat skenario. Dua hari setelah itu, saya main ke rumah tetangga. Tetangga saya menanyakan apakah saya jadi pergi haji tahun ini, karena tetangga kami yg lain, yg mendaftar di KBIH yg sama dgn saya, sudah akan mulai manasik minggu depan. Ya allah….saya langsung telpon KBIH, cek di website dan mengkonfirmasi ke bank, ternyata no porsi kami masuk untuk melunasi ONH tahun ini, berarti kemungkinan besar berangkat tahun ini.
Dan 4 hari kemudian, saya pun mulai mengikuti manasik. Orangtua kami sangat bahagia mendengar kami akhirnya memutuskan untuk pergi tahun ini. Baru dari awal Juni lah saya mulai baca2 buku ttg haji. Ya Allah….saya merasa amat menyesal tdk belajar dari sebelumnya. Saya baru tahu kalau seseorang sudah memenuhi syarat berhaji namun tak pergi haji lalu ia wafat, maka wafatnya dalam keadaan jahiliyah. Saya juga baru tahu bahwa seluruh biaya yang kita keluarkan untuk berhaji, akan Allah ganti berlipat-lipat, dll dll. Banyak banget ilmu ttg haji yang membuat saya pengen jitak kepala saya sendiri… Jadi, kalau boleh dikatakan, saya berniat melaksanakan ibadah haji, dalam waktu hanya 3 bulan sebelum pergi.
Diantara kesibukan dan keriweuhan renovasi rumah dan tdk ada pembantu yg nginep, ada 4 buku yg amat sangat bagus selain manasik 6 kali, setiap hari minggu, jam 8-17. Buku2 itu adalah buku yg sifatnya “umum” yaitu : (1) Buku “Antar Aku ke Tanah Suci”-nya pak Miftah Farid, (2) Buku “Panduan Haji dan Umroh”-nya pak Qurais Shihab, (3) Buku Doa2 Manasik Haji, dan (4) satu buku yg direkomendasikan banyak org, yg amat menggetarkan dan menggerakkan mengenai penghayatan tentang makna dan filosofi setiap ritual haji, adalah buku “Makna Haji”nya Ali syariati. Sssst…sebenarnya, saya sudah pinjem buku Ali Syariati ini dr teman saya sejak pertengahan thn 2010. Tapi…ya itu…karena waktu saya masih cuman sekedar “ingin” yg “basa-basi”, belum benar2 berniat, rasanya kata demi kata lewat begitu saja. Beda ketika sudah berniat, berazzam, berdoa agar Allah benar2 mengundang kami, saya seringkali gemeteran baca rangkaian kalimat demi kalimat di buku itu.
Untuk buku bacaan doa manasik, sebagian orang berpendapat tidak usah dihafal. Ya, saya setuju. Pendapat itu sangat melegakan terutama buat saya yang punya daya ingat terbatas dan agak alergi dengan hapalan-hapalan hehe…. Tapi tetap, milikilah buku itu. Baca artinya. Aduuuuh…..doa-doa itu, indaaaaah banget. Doa thawaf setiap putaran, doa sai setiap balikan, doa melempar jumroh dan doa-doa lainnya…jadi menghafalkannya, dgn menghayati artinya, itulah yang seharusnya….
Setelah saya menjalani 40 hari ibadah ini, saya benar2 bersyukur bahwa Allah yg maha baik telah memberikan undangannya pada kami. Yups, seperti yg selalu diulang2 oleh pembimbing haji kami, undangan ini benar2 nikmat yg tak terhingga. Undangan ini sungguh2 rahmat Allah. Kenapa? uandanganNya ini bukan karena kami sudah memenuhi “kriteria tertentu” di mata Allah. Karena, kalau kriterianya kemampuan finansial, buanyaaaaak yg lebih mampu dr kami, namun hatinya belum tergerak. Kalau kriterianya kesolehan, tak terhingga org2 yg jauh lbh sholeh dibanding kami. Yg shalat malamnya istiqomah, yg baca quran dan memahami qur annya lebih baik, yg tauhidnya lebih kuat, yg akhlaknya lebih terpuji. ….
Berkaca dari pengalaman saya, siapa yg tak ingin mendapatkan undanganNya? Maka…untuk mempercepat dan mempermudah undangan Allah, kita pun harus sungguh2 berniat. Jangan seperti saya. Karena meskipun prosesi lahiriah berhaji setiap org sama, tapi apa yg didapatkan, seberapa dahsyat efeknya pada perbaikan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan selamat di akherat, tidaklah sama. Tergantung seberapa kuat niat kita, yang tercermin dari seberapa besar upaya persiapan kita.
Langkah awal, 4 buku tadi highly recommended. Buat yg di Bandung, monggo silaturahim ke rumah kalau mau pinjem buku itu dari saya. Semoga setelah membaca buku2 itu, ada dorongan kuat memprioritaskan menabung untuk haji. Diberi kekuatan untuk mengalihkan pengeluaran2 yg gak terlalu urgen : ke bioskop, ke salon, liburan, belanja-belanji yg bukan basic needs, dll untuk tabungan haji. Meskipun nilainya mungkin cuman ratusan ribu, siapa tahu krn “pengorbanan” kita, nilainya menjadi jauuuuh berlipat2 di mata allah, sehingga allah mudahkan dan lapangkan rejeki kita. Betapa sering kita mendengar org2 yg kemampuan ekonominya jauh dibawah kita, bahkan tergolong miskin, bisa berangkat haji dgn menyisihkan receh demi receh penghasilannya, didorong oleh azzamnya.
Kalau ada yang memberatkan, berikhtiar maksimal untuk mendapat keyakinan. Ikhtiar ini amat sangat membantu kenyamanan kita. Misalnya, saya menjadi tenang dan yakin tdk mendzalimi Azzam setelah saya konsul ke dokter laktasi. Melihat kondisi fisik Azzam plus informasi bahwa kebutuhan asi anak seusia Azzam sudah sedikit, maka tdk apa2 jika saya menyapih azzam di usianya 18 bulan ini. Lalu adanya “multiple attachment” yg sudah terbentuk antara Azzam dgn teh Rini, pengasuhnya pun membuat saya tenang meninggalkannya. Adanya teh Ema yg khusus pegang Hana, Yangti yang “menjaga anak2 di rumah”, om Agus yg “bertugas” membawa anak2 jalan setiap weekend, mang Ade yg bertugas bantu kaka kalau ada PR yg susah atau kalau harus buka internet, dll … adanya orang-orang yang bisa kita percaya, membuat kita merasa bahwa kita tinggal bertawakkal dan memohon agar Allah menjaga orang-orang terkasih kita selama kita pergi.
Tak ada org yang tak ingin pergi ke tanah suci untuk kedua, ketiga, keempat dan selanjutnya. Pasti inginnya tiap tahun. Yakinlah bahwa ibadah haji, seperti yg diungkapkan Ali Syariati, bukanlah untuk kepentingan akhirat kita. Beribadah haji yang hanya Allah wajibkan sekali seumur hidup itu, kalau dihayati proses demi prosesnya, akan sangat bermanfaat untuk kehidupan dunia kita. Untuk kebahagiaan kita. Itulah hakikat doa “robbana…atiiina fiddunnya hasanah wa fil akhiroti hasanah…..”
Sedemikian rupa Allah mengatur prosesi ritual ibadah haji, untuk memberikan “pelatihan” yang hanya kita bisa dapatkan melalui ibadah ini. Yang paling berharga adalah membuat kita menghayati hari sesudah kematian, karena berihrom dan berkumpul secara fisik dengan jutaan org yg beragam, dlm keadaan terbatas dan sendiri2, mengingatkan kita akan situasi yg akan kita hadapi di padang mahsyar nanti, dimana tak ada yg bs menolong kita selain amal kebaikan kita di dunia ini. Kuatnya penghayatan akan hal ini, yang akan sering kita jumpai selama prosesi haji, semoga membuat prioritas2 kehidupan kita menjadi lebih benar.
Jadi, kalau kita sudah “ingin” berhaji, kita tingkatnya menjadi “berniat” untuk berhaji. Ah, semoga Allah masih memberi kesempatan bagi kami untuk kembali bisa berhaji, dengan persiapan yang jauuuh lebih baik. Amiiin ….
Dia atas awan madinah-jakarta
Kamis, 8 november 2013. 17.20 WIB
Nov 11, 2013 @ 13:16:16
Suka…