06. Honimun yang Engga Lebay

holding handsWaktu saya mau pergi, seorang teman meng sms saya : “selamat berhoneymoon terindah ya…” katanya.
Literally, ini memang honeymoon buat kami. Sssst…sebelas tahun menikah, kami kan belum pernah honimun loooh. Waktu awal menikah, mana sempat honimun…lha wong sabtu menikah, kamis masih bimbingan n seninnya udah tancap gas lagi. Salah sendiri, nikah di semester pertama kuliah profesi. Lagi kuliah kasuistik. Seluruh mantan mahasiswa magister profesi unpad kalau ditanya tentang kuliah kasuistik pasti bergidik. Jangankan honimun…bernafas aja…syukur kalau masih inget haha…hiperbolisnya kumat.

Setelah beres sekolah, punya anak 1, lalu 2, 3 dan 4…gak kepikiran honimun. Maklum, walaupun beragam referensi menganjurkan pasangan untuk cari waktu berduaan…buat kami rumus itu gak berlaku. Guilty feeling yang kami rasakan saat meninggalkan anak2 untuk berduaan, intensitasnya terlalu besar. Di indonesia, jangankan 40 hari berduaan. 4 hari aja, atau 4 jam, atau 4 menit aja gak bisa. Maklum, ada polisi kriwil Hana, yag kalau ibu nempel dikiiit aja ama abah, langsung teriak “enak aja ibu dan abah pacaran”…lalu ia pun akan mengambil posisi diantara saya dan mas.

Bagi para pasangan, memang harus sangat sangat amat bersyukur bisa melaksanakan ibadah ini berdua. Harus diakui, emang romatis banget saat tidur saling bersender  di pesawat dalam perjalanan, saat seorang suami melindungi istrinya pas thawaf, berjalan bergandengan dan berpegangan tangan pas sai, duduk di kursi taman terminal mahbas jin sambil  makan sepulang dari masjidil harom, serta menangis berdoa bersama di multazam. So sweet banget deh…Dan pemandangan romantis yang saya lihat (dan akan terus saya lihat selama 40 hari) adalah….genggaman tangan para pasangan itu. Pasangan muda, pasangan “madya”, maupun pasangan senior….Mereka selalu saling bergenggaman tangan. Dimanapun dan kapanpun. Rasanya gimanaaaaa gitu.

Dan pasangan itu, termasuk saya. Di Indonesia, amat sangat jarang kami bergenggaman tangan di area publik. Tapi disini, entah ada aura apa yang membuat kami tak ingin melepaskan genggaman tangan kami. Dan efeknya luar biasa…kalau mengikuti teori emosinya James-Lange, genggaman tangan itu…menumbuhkankembangkan emosi cinta halah….haha…. Jadi kebiasaan ini harus diteruskan nih di tanah air ! 😉 Terus bener banget istilah GIGO itu ya….”Garbage In Garbage Out”. Kalau yang kita liat n denger perceraiaaaaan terus…menimbulkan pesimisme terhadap kebahagiaan pernikahan. Kalau yang kita lihat adalah puluhan pasangan yang saling bergenggaman tangan, rasanya optimiiiiis banget bahwa pernikahan ini akan membawa kita menikmati kebahagiaan…..Benarlah kata seorang ustadz-psikolog. Berhaji atau berumroh, adalah salah satu media re-commitment, re-attachment antar pasangan. Mengevalusi dan membicarakan hubungan kami berdua sambil menatap ka’bah, memang rasanya tak bisa diceritakan….

Tapi….jangan coba2 romatis2an pas naik bis umum. Misalnya seorang istri yang naik duluan lalu “ngetekin” bangku buat suaminya, atau suami yg cuek melihat nenek2 berdiri di bis demi duduk bersama istrinya…itu adalah perilaku yg menyebalkan. Gak ada romatis2nya sama sekali.

Konon katanya justru salah satu ujian berhaji ini adalah  bagi pasangan. Banyak cerita suami istri yang bertengkar bahkan bercerai setelah berhaji. Dan menurut saya, bayangan tentang romantisme honimun ini menjadi salah satu faktor yang potensial membuat pertengkaran. Saya juga pernah mengalaminya looh di hari2 kemarin. Biasa, isunya tetep…saya yang superlebay dan mas yang super cuek. Tapi saya banyak belajar dari pasangan2 lain, yg sudah lebih matang. Misalnya seorang pasangan sepuh yang berbeda kondisi fisik, memutuskan untuk berpisah saat sai. “Nanti kita ketemu pas tahallul aja” kata mereka. Atau pasangan lain, yang kebetulan bersama salah seorang ortu mereka. Si ortu tidak mau mengikuti agenda si anak dan menantu, akhirnya mereka memutuskan untuk mengakomodasi keinginan si mertua dengan si suami duluan keMasjidil  Harom, lalu istrinya menyusul saat si ibu sudah tidur.

Buat saya, sikap2 itu adalah sikap2 yang beyond romantic. Sayang yang matang.

Yes, it is a honimun. Tapi bukan honimun yang lebay, bukan honimun yang egois.

05. My First Thawaf, My first Day @Haram

Akhirnya, sekitar pukul 2 dinihari, sampailah kami di maktab kami. Selama perjalanan, hampir seluruh jamaah rombongan di bis ini tertidur. Yang saya yakin tak tertidur hanyalah pak sopir (haha…ya iyalah…) dan Pak Karom kami yang sepanjang jalan lamat-lamat saya dengar bertalbiyah melalui megapon. Saya  sedikit tersadar ketika pak Karom menyampaikan bahwa kami sudah masuk gerbang kota Mekah, lalu pak Karom membacakan doa masuk kota Mekah (tersadar sedikiiit tapi tak kuat untuk bangun dan ikut berdoa hehe..). Saya juga samar-samar mendengar pak Karom mengatakan “itu bapak ibu, zamzam tower sudah kelihatan”….saya pengen melongok dan melihat sih…tapi rasa kantuk jauuuuh lebih kuat haha…dasar tumor sejati….

grand al aseel hotel

Ternyata, di luar dugaan kami, maktab kami ini, yaitu rumah no. 221, adalah sebuah hotel sekelas hotel berbintang ! Namanya Grand Al Aseel Hotel. Dengan lobi yang luaas…..4 set sofa empuk berwarna merah, 6 buah lift, 2 set sofa eksklusif berwarna ungu dan  emas. Maklum, selama manasik kami dikondisikan untuk membayangkan maktab kami sebagai sebuah penginapan yang amat sederhana. Bahkan pembimbing kami menggambarkan kamar yang ada kecoanya, sempit, kamar mandi beramai2, dll.

Sekitar 1 jam kami menunggu para karu dan karom berunding membagi ruangan, sampai kemudian dibacakan dan kami pun bertemu dengan roomates kami selama 30 hari-an kami di Mekah. Setelah diberikan kunci, kami pun naik ke lantai 7, tempat kami menginap. Di kamar no. 7146, kami berlima. Ac nya lumayan, kamar mandinya berfasilitas lengkap shower plus hairdryer, ada TV flat serta dapur kecil dengan kompor listrik dan kulkas. Asiiiik…..Ternyata, di kemudian hari kami mengetahui bahwa hotel ini adalah hotel baru, yang dioperasikan 2 tahun lalu. Baru tahun ini hotel ini dipakai sebagai penginapan jemaah haji Indonesia.

…..

Jam 7 teng pagi hari, kami sudah berkumpul di lobi. Pembimbing kami sudah menyiapkan 2 bis untuk kami bersama-sama melaksanakan umroh; yaitu thawaf, sai dan diakhiri dengan tahallul. Karena ada miskom antara saya dan mas, akhirnya saya tak bisa bersama mas … meskipun di hati kecil saya yakin akan ketemu mas di Masjidil Haram (dengan asumsi ia menyangka saya naik bis pertama dan masuk ke bis tsb), tapi sudah bersiap2 andai gak ketemu. Mau thawaf sendiri aja ah (Belakangan, saya bilang pada diri saya; “hu….sok berani…”). Alhamdulillah dugaan saya sesuai. Mas ikut bis pertama dan sedang mendengarkan pengarahan mengenai thawaf umroh ini di pelataran masjidil haram saat saya datang.

Kami pun kemudian bersama-sama masuk mesjid. Dan akhirnya…rasa penasaran saya pun terjawab. Saya melihatnya. Sebuah kubus tertutup kain hitam. Bukti sejarah tumbuh dan mengakar kuatnya ketauhidan … Ka’bah. Rasanya, tak ada yang tak menangis saat kami bersama-sama membaca “doa melihat ka’bah”.

“Ya Allah, tambahkan lah kemuliaan, kehormatan, keagungan dan kehebatan pada Baitullah ini dan tambahkanlah pula pada orang-orang yang memuliakan, menghormati dan mengagungkannya diantara mereka yang berhaji atau yang berumroh padanya dengan kemuliaan, kehormatan, kebesaran dan kebaikan.”

Memandangnya langsung, menimbulkan perasaan yang berbeda dibanding memandangnya dari layar kaca maupun melalui internet. Bismillah…dengan dibimbing mas, sayapun mulai beristi’lam mulai dari hajar aswad. Setelah itu shalat 2 rakaat di multazam, sai dan kemudian bertahallul di bukit Marwah.

Pada thawaf pertama ini, menurut saya sih suasananya cukup padat. Namun pembimbing kami mengatakan itu belum seberapa. Masih sangat renggang (Saya “terpaksa” harus percaya pada pembimbing saya, ketika di hari2 selanjutnya, amat-amat sangat padat…). Pada thawaf pertama ini, saya bisa dekat dengan dinding ka’bah, meskipun mas selalu menarik saya untuk menjauh. Perasaan takut membahayakan diri memang saya hayati juga. Apalagi daerah sekitar hajar aswad, maqom ibrahim dan hijir ismail. Tiba-tiba ibu di depan saya terjatuh dan sempat terinjak….untunglah ia dari negara yang berbadan tinggi besar…

Seperti juga semua hal yang pertama kali kita lakukan, saya merasakan nervous yang luar biasa pada thawaf pertama ini. Jujur saja, saya tak bisa khusyuk secara maksimal. Suasana di sekitar saya amat sangat menarik perhatian, mudah sekali mendistraksi saya dari bacaan yang saya baca di buku doa.

Oleh karena itu, buat teman2 …menurut saya, di thawaf yang pertama yang teman-teman lakukan …. bacalah doa yang sudah dikuasai. Kalau belum hafal doa yang ada di buku doa, lebih baik lafalkan doa yang  kita hafal dan hayati maknanya. Karena, justru thawaf dan sholat itu..meskipun keduanya harus dilakukan dalam keadaan suci, namun ada perbedaan yang bertolak belakang. Shalat adalah ibadah yang ditentukan bacaan dan waktunya namun tidak ditentukan tempatnya, sedangkan thawaf adalah ibadah yang ditentukan tempatnya namun tak ditentukan bacaan dan waktunya. Jadi, kita bisa baca doa apapun. Faktor “komunikasi” dengan Allahlah yang patut kita utamakan.

Salah satu hal yang tampaknya menjadi perhatian adalah putaran berthawaf. Maka, ada beberapa teknik yang bisa dilakukan agar  tak lupa. Yang paling jadul adalah memakai gelang karet di satu tangan, dan memindahkan karet tersebut ke tangan yang satunya setiap kali beristi’lam di hajar sawad, yang menandakan selesai 1 putaran. Kalau yang sambil membaca buku, ada tulisan “doa thawaf putaran ke-…” di buku doanya. Itu juga membantu. Beberapa orang dari negara2 lain saya lihat memakai cincin yang ada tasbehnya menjuntai. jumlah bijinya 7. Setelah mereka melewati 1 putaran, mereka geserkan biji “tasbeh” tersebut. Oh, cincin thawaf itu, sangat membantu juga. Atau, kalau saya menandai putaran thawaf dengan apa yang saya doakan dari setiap putaran. Putaran 1 doa taubat, putaran 2 doa apa/mendoakan siapa, putaran ketiga memohon apa/mendoakan siapa…berikutnya sampai putaran ke-7.

Beragam macam perilaku orang -orang dalam berthawaf ini. Tampaknya perilaku ini sesuai dengan informasi yang mereka terima dan hayati mengenai thawaf. Mungkin ada kelompok yang mempersepsikan thawaf ini sebagai ibadah yang “berbahaya”, sehingga mereka berkelompok, para prianya di bagian luar, wanitanya terlindungi di bagian dalam, mereka membangun barisan yang kokoh dan saling memegang pundak teman di depannya. Lalu salah satu dari mereka, akan membacakan doa keras2, diikuti oleh kelompok nya. Kelompok ini, tak lain dan tak bukan adalah dari …. indonesia … tanah airku..tanah tumpah darahku ….hehe… Memang sih, info2 yang saya dengar tentang thawaf memang menyiratkan bawa thawaf itu “membahayakan”. Saya ingat pesan orang-orang : “pokoknya, nanti mas harus di belakang, melindungi” …. mmmhhh… jadi kayak mau maju ke medan perang….

Lalu sodara2 kita dari Afrika, memang terkenal suka “memotong”. Setelah mencium hajar aswad atau sholat di hijr ismail, mereka tak mau berputar lalu keluar sedikit demi sedikit, tapi langsung memotong arus yang tengah melingkar….dengan perawakan tinggi-besar, biasanya yang lain memilih memberikan jalan. Eh, tapi ada juga yang thawaf bawa anak kecil bahkan bayi merah ! mungkin mereka2 ini menghayati thawaf bukanlah ibadah yang “berbahaya”…

Ah, cukuplah sudah untuk pagi ini. Di pintu Marwah, rombongan kami berpisah. Kami pulang masing-masing. Karena belum tahu situasi, kami pun berjalan kaki daaaan….nyasar haha…. Di tengah ke-pede-an mas berjalan kaki ke arah yang kami pikir menuju hotel, sebuah  bis berwarna merah mengklaksoni kami dan bertanya kami mau kemana. Setelah kami sebutkan nama hotel kami, ia pun mengajak kami naik, dan ternyata mengarah ke tempat yang berbeda dengan perkiraan kami haha….

Hari ini hari pertama, menjadi awal perjalanan kami menikmati jamuanNya di tanah haram ini.

My first day @al haram, 30 Oktober 2013.