Mina,09.01, 8 dzulhijah 1434
Kami masih menunggu di “tenda sementara”. Nasib kami belum jelas akan bagaimana. Di tenda yang super panas inilah kami menunggu … tiba-tiba saya begitu merindukan ruangan kami di hotel yang full ac…..
Setelah sampai di maktab kami, yaitu maktab 72 dan menuju tenda kami, kami berharap bisa melepas lelah. Namun ternyata tenda yang sudah disurvey dan ditandai oleh panitia dari KBIH kami telah “ditempati” kelompok lain. Tak hanya itu, tanda-tanda dari KBIH kami berupa spanduk, bendera dll yang telah dipasang, lenyap entah kemana berganti dengan tanda2 dari kelompok lain tersebut. Padahal ya, kelompok tersebut satu kloter dengan kami. Waktu survey pun bersama-sama satu kloter, masing-masing mengirimkan perwakilannya dan menyepakati pembagian sampai masing-masing ditandai. Kini para panitia tengah membicarakan hal ini.
Pembimbing kami sudah pernah menceritakan bahwa peristiwa ini mungkin terjadi. Ya…rebutan…rebutan tempat, rebutan giliran, rebutan makanan-minuman…menjadi hal yg familiar dan menjadi bagian dari ujian perjalanan haji ini. Ironi memang…di tempat ini, Nabi Ibrahim dulu melakukan pengorbanan yang paling agung. Ketauhidannya diuji dengan permintaan untuk mengorbankan apa yang paling dicintainya. Saya setuju dengan tulisan Ali Syariati mengenai ujian ini. Bahwa ujian ini, permintaan untuk mengorbankan Ismail, jauuuh lebih berat dibandingkan jika Allah meminta NAbi Ibrahim mengorbankan diri dan hidupnya sendiri. Seorang manusia agung yang demikian ulet mencari Tuhannya dengan menatap bulan dan matahari, lalu dengan gagah beraninya menghancurkan berhala-berhala buatan ayahnya sendiri, dan begitu mudahnya mengorbankan diri untuk dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, tak kuasa menjalankan perintah ini dengan mudah. Bahkan ia harus berhenti di tiga tempat untuk melempari syetan yang menggodanya.
Saya berpikir, kalau “cuman” menjalankan rukun dan wajib haji, kalaulah itu dilakukan oleh kita sendirian …amat sangat mudah. thawaf…sai…ihrom….sambil “merem” juga bisa….tapi justru ujianny adalah…karena ini dilakukan bersama jutaan saudara kita yang lain. Thawaf yang “hanya” memutari ka’bah 7 kali, menjadi perjuangan yang amat berat. Begitu juga dengan segala macam kegiatan lainnya. Ternyata benar….”berkorban” itu….yang detik demi detik dilatih dalam ibadah ini.
Kini, di Mina ini kami berniat untuk menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim ini. Tak hanya napak tilas fisik. Tapi terlebih adalah napak tilas spiritual. Mengorbankan -bukan hal yang paling kita cintai- namun hanya mengorbankan sedikit kenyamanan untuk berbagi dengan orang lain. Kalau mau kesal, ya kesal …kalau mau ngedumel, ya ngedumel. Tapi…seperti kata pembimbing kami….untuk apa? toh tak akan mengubah situasi ….
Saya jadi ingat ucapan beberapa teman saat melepas kami : “Selamat menikmati jamuan Allah”. Saya tak tahu darimana asal istilah “jamuan” ini. Mungkin analogi ini berasal dari pandangan bahwa kami ini adalah tamu Allah, yang pasti dijamu oleh tuan rumah yaitu Allah.
Ya, saya baru paham maknanya. Jadi, yakinlah bahwa dalam perjalanan haji ini, Allah yang menjamu. Bukan manusia. Jangan merebut, jangan rebutan, jangan kotor hati dan ngedumel kalau giliran kita “direbut”. Karena jamuan Allah bagi para undanganNya, adalah suatu kepastian. Mari kita nikmati…
Recent Comments