Mina, 10 Dzulhijah 1434 Bada Dhuhur.
Wukuf kami kemarin ditutup oleh muhasabah menjelang pkl 17.30.Setelah itu kami langsung bergerak menuju perbatasan Arafah, dipimpin langsung oleh pimpinan pesantren tempat KBIH kami bernaung. Beliau adalah seorang ustadz berusia awal 50-an, berbadan mungil namun lincah dan punya kharisma yang kuat.
Beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang kami sudah tepat di perbatasan Arafah. Kami menunggu sampai adzan maghrib berkumandang untuk menyempurnakan syariat, setelah itu bergerak keluar Arafah. Sang Ustadz yang dekat dengan dunia militer ini memberi pembekalan dengan jelas, dan menekankan kedisiplinan. Katanya kami akan berjalan cepat, non stop 4 jam sampai mesjid Mas’aril Haram. Rute yang dipilih pimpinan kami adalah rute jalan memotong, karena kalau mengikuti rute jalan besar akan bertemu dengan beberapa bottle neck yang padat.
Bismillah…diringi talbiyah, kami pun mulai bergerak. Tiga Ustadz didampingi pemegang bendera ada di depan, tengah dan Belakang. Saya mencoba selalu berada di depan ustad yang bertugas di tengah. Kalau berada di depan, agak sulit…sedikiiit aja ritme jalan kami berkurang, tiba-tiba kami sudah tertinggal jauh.
Medan yang dipilih itu, ternyata offroad banget. Kami harus turun melewati sungai besar yang sudah mengering, melewati lautan pasir dan kemudian naik ke tebing 60 derajat. Sebenarnya medan kayak gini bukan hal baru bagi saya. Semasa muda dulu, pas SMA dan kuliah hobi banget gini-ginian. Cuman mengingat itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu serta sudah mengalami “turun mesin” 4 kali, ada juga rasa sangsi dalam hati apakah saya akan sanggup menyelesaikan perjalanan ini.
Untuk mengusir keletihan, saya mencoba menghayati perjalan ini dengan membayangkan perjalanan-perjalanan yang dilakukan Rasul dan para sahabat. Saat hijrah, saat menghadapi beragam perang….Ada satu hal juga yang mampu membuat saya “terlupa” dengan lelahnya tubuh. Yaitu pemandangan seluruh suami-istri yang saling bergenggaman tangan, saling melindungi dan saling bantu membantu dalam panjang dan beratnya perjalanan ini. Saya berdoa, semoga setelah haji ini, dalam kehidupan rumahtangga mereka yang panjang dan saat menghadapi beratnya ujian yang dihadapi, secara psikologis mereka selalu menghadapinya bersama seperti yang mereka lakukan malam ini.
Di sungai kering yang ternyata masih menyisakan lumut yang licin, ….gedubrak….saya terjatuh. Disusul sepasang ibu-bapak yang juga terjatuh. Baju putih saya pun berubah menjadi coklat. Tapi tetep seru…dengan terpincang-pincang dan dipapah mas saya terus melalui medan demi medan. Sampai akhirnyaaaaa kami memasuki jalan besar, bergabung dengan lautan manusia yang jumlahnya ratusan ribu atau mungkin jutaan. Kami teruuuuus berjalan… Konon perjalanan ini akan memakan waktu 4 jam tanpa henti, 3 kali lipatnya perjalanan kemarin dari Mekah ke Mina.
Ada satu kejadian yang tak akan pernah dilupakan oleh siapapun di rombongan ini. Dalam perjalanan itu kami bertemu dan masuk ke dalam sebuah terowongan. Berada dalam terowongan dengan jumlah orang yang amat banyak dalam situasi terhimpit-himpit memunculkan perasaan …..”cemas” dan “takut” yang amat sangat. Meskipun pimpinan kami menyerukan untuk tetap tenang, berdzikir dan tetap berada dalam barisan, namun rupanya di depan terowongan ada penutup jalan yang membuat hanya satu orang yang bisa lewat. Akibatnya, ribuan orang dalam ruangan “tertutup” ini terhenti, tanpa tahu kenapa. Sedangkan arus dari belakang terus menekan. Situasi inilah yang membuat orang-orang menjadi panik. Berada dalam himpitan, mulai terdengar teriakan dan tangisan. Suasana menjadi amat menegangkan, haru-biru dan menakutkan.
Di sekeliling saya, tak bisa saya lihat lagi syal-syal hijau muda yang dikenakan kelompok kami. Hanya pegangan tangan mas yang membuat saya sedikit tenang. Dalam situasi itu, hanya keyakinan Allah akan menolong-lah yang membesarkan hati. Maka, segala macam dzikir yang saya bisa saya bacakan, sambil berupaya untuk tak terjatuh. Karena begitu terjatuh, maka nasibnya akan seperti beberapa orang di depan-kiri kanan saya, terinjak-injak. Suasana seperti ini membuat salah satu ruang di relung hati saya “bersiap” kalaulah malaikat maut menjemput saya dalam keadaan seperti ini, di tempat ini dan saat ini. Entahlah, mungkin karena di sini kami menghadapi begitu banyak situasi yang ekstrim dan unpredictable, kematian terasa begitu amat dekat. Selain yang terinjak-injak, beberapa orang sudah di sekeliling saya sudah pingsan dan dibopong. Teriakan agar memberi jalan, di tengah-tengah himpitan ini semakin membuat getir. Saya sudah melihat cahaya di ujung terowongan…dan tiba-tiba, saya berada dekat dengan ustadz yang bertugas menjaga barisan di belakang rombongan kami. Tampaknya Pak Ustadz sudah berada di luar penghalang, dan mengulurkan tangannya pada saya. Mas mengangkat tubuh saya dari belakang, maka saya pun bisa naik ke penghalang tersebut…
Leganya tak terkira. Tak henti-hentinya kami mengucap syukur, sambil berusaha berkumpul kembali. Saya berharap ini pengalaman “mengerikan” terakhir….tapi ternyata saya salah….
Bersambung ke part two
Recent Comments