…….
Alhamdulillah kami akhirnya bisa melewati situasi mencekam di terowongan dan keluar dengan selamat. Hanya saja, rombongan kami menjadi terpecah dua. Satu kelompok besar sudah tak terlihat, sementara saya bersatu dengan teman-teman yang tercecer bersama ustadz yang berperan sebagai tim penyapu. Selain bersyukur karena setelah pengecekan seluruh anggota rombongan kami “selamat”, ada juga beberapa yang “mengeluh” dan merasa “menyesal” mengikuti perjalanan ini. Seorang ibu bertanya pada temannya, dimana suaminya. Si istri menjawab; “tau tuh…mana sempet gue pikiran…gue masih idup aja udah untung” …. Mmhh…saya jadi ingat surat Al-Qur’an yang menggambarkan kedahsyatan hari kiamat. Sebegitu ekstrimnya, sehingga seorang ibu pun suda tak akan peduli lagi pada keadaan anaknya. Tampaknya, situasi yang kami alami tadi adalah gambaran kiamat kecil …
Kami teruuuuus berjalan…entah berapa lama, dan kami mulai melihat di kiri kanan kami, di tebing2… sudah banyak makhluk2 berbaju putih yang memenuhi. Tidak hanya itu, di pinggir kiri kanan jalan yang kami lewati, sudah banyak yang menggelar tikar dan tidur disana. Sampai mesjid Mas’aril Haram, kami berhenti sebentar untuk berkoordinasi dengan tim depan. Lama juga kami mencari, hampir setengah jam. Saya sudah pengen lebay, tapi malu… Malu sama ibu-ibu Afrika yang berjalan tegap dengan beban yang disimpan di atas kepalanya dan atau sambil menggendong anak di punggungnya. Malu sama anak-anak kecil sebesar Umar yang tanpa mengeluh terus berjalan…Bahkan ada seorang ibu Afrika yang mendorong stroler berisi 3 anak kecil ! Hadeeeuuuh gak kebayang gimana caranya ia melewati terowongan tadi. Hanya dengan izin Allah semuanya menjadi mungkin.
Sesampainya di meeting point, tak pernah terbayang kalau kami harus tidur di pinggir jalan, yang mulai melebar ke tengah. Inilah Mudzalifah. Berbeda dengan bayangan saya…saya kira akan sunyi senyap 😉 kami pun menggelar tikar… Badan saya sudah tak terkira gatalnya. Maklum, keringat yang membanjir selama 2 hari ini, tanpa mandi dan berganti pakaian….tapi… nikmati sajalah…there is nothing we can do…Mau mandi? hahahaha….harus mengantri bersama puluhan orang dan kalau lebih dari 1 menit aja, udah digedor-gedor …
Dengan izin Allah, meskipun tak terbayang tidur berkasur aspal dan tikar tipis, di pinggir jalan bersama ribuan orang yang bergelimpangan, lalu di pinggir kami ratusan ribu org terus mengalir tak henti2…menuju ujung Mudzalifah, meneriakkan gema talbiyah……akhirnya karena kelelahan, setelah sholat Maghrib-Isya dijama, saya pun tertidur pulas. Si abah yang mencarikan 150 butir batu untuk melempar jumroh.
Saya terbangun sekitar pukul dua. Teman-teman sudah banyak yang sedang sholat malam. Pimpinan kami sudah woro-woro untuk bersiap-siap, setelah sholat Subuh kami akan langsung bergerak menuju Mina untuk melempar jumroh. Perjalanan pagi ini tak kalah melelahkannya. Alhamdulillah saya menabung banyak air minum dalam botol, jadi begitu kehausan bisa langsung menikmati air. Beberapa botol kami berikan pada teman-teman yang persediaan airnya sudah habis.Ustadz pemimpin pesantern kami itu, memang ruarrr biasa fisiknya. Dalam perjalanan ini, kita mah udah hah-heh-hoh gak jelas, beliau malah jalan sambil siaran langsung radio-nya di Bandung…
……………………………….
Perjalanan 1,5 jam menuju Jumrotul Aqobah akhirnya terlewati sudah.
Secara psikologis, melempar jumroh adalah menembaki syetan, melempar sifat2 buruk yang ingin kita ubah. Dan hari ini, kami melewati “small stone” ula, “middle stone” wustha, dan langsung melempar di “big stone” aqobah. Sambil melempar tujuh batu, saya membayangkan sifat-sifat terburuk saya dan berharap bisa membuangnya… Semoga allah mengabulkan, amiiiin…Mmmhhh… Memang tampaknya, demikianlah perjuangan untuk membuang sifat buruk kita. Butuh proses panjang yang tak mudah. Selepas lempar jumroh Aqobah, lantunan talbiyah berganti gema takbir. Secara simbolis, kami telah memenangkan pertempuran melawan syetan terkuat…
Setelah tahallul dan berdoa, perjuangan kami belum berakhir. Kami harus kembali berjalan ke pemondokan kami. Satu jam berjalan. 21 orang dari rombongan kami tidak kembali ke pemondokan di Mina, tapi langsung ke Mekkah untuk thawaf ifadah. Acungan jempol untuk bapak ibu ini, yang dikaruniai fisik dan azzam yang kuat. Jam 3an mereka sudah bergabung lagi dengan kami di Mina.
Saya juga pengen langsung. Langsung mandi haha…tapi apa daya, antrian mandi sampai 30 org…akhirnya, handuk basah instan pun sangat bermanfaat, minimal mengurangi kegatalan dan bisa ganti baju.
Karena rombongan yang tanazul dan rombongan yang pake bis sudah bersatu, maka space kami di tenda menjadi sangat sempit. Alhamdulillahnya, kami bersama rekan-rekan yang sabar dan saling pengertian. Tidak ada lagi “aku” disini. Kami saling berbagi makanan, minuman, berbagi posisi, gantian posisi tidur…
Benar kata seorang ibu…pengalaman ini akan membaut kami di hari-hari ke depan menjadi selalu bersyukur…. Makan, minum, tidur, ke kamar mandi, hal-hal kecil yang tidak pernah kita rasakan karena amat sangat mudah, kini karena begitu suli…., maka menjadi begitu kita syukuri. Mana pernah seumur hidup pengen sujud syukur karena seger abis mandi selain disini?
Tadi sempet ketemu mas yang udah kayak cuplis. Moga-moga diluruskan niat tahallulnya, sesuai hadits rasul : Ya Allah, rahmatilah orang yang melakukan halq (menggundul habis rambutnya)….” dan Rasulullah pun mengulang do’anya sebanyak 3 kali. Lalu salah seorang Sahabat lainnya pun menanyakan “lalu bagaimana dengan orang yang melakukan taqsir ya Rasulullah?” Maka Rasulullah pun berdo’a “Ya Allah juga (rahmati) orang yang memangkas (taqsir) rambutnya” (Muttafaq Alaihi)
Mina, 10 dzulhijah, bada ashar
Antri menunggu giliran mandi 😉
Recent Comments