Masih menunggu antrian mandi, Mina 12 dzulhijah, waktu dhuha.
Sehabis melempar jumroh aqobah 2 hari lalu, kami bertahallul. Secara fiqih, lepas sudah larangan ihrom kami, kecuali larangan berhubungan suami istri bagi yang belum thawaf ifadah. Entah karena sudah tak berbaju putih lagi, saya mencermati…obrolan ibu-ibu hari kemarin mulai “gak kontrol”. Mulailah ghibah, mulailah candaan-candaan tak perlu, bahkan beberapa ada yang ngobrol dengan tema seksual yang cukup vulgar.
Saya jadi inget. Dulu, saya suka heraaaan banget sama yang sudah berhaji, tapi tak ada perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dulu saya menduga, setelah hari wukuf yang begitu amat sangat istimewa itu, TRINGGGG…semua orang berubah jadi sholeh. Setelah lempar jumroh, langsung syetan-syetan tak lagi berani mendekat.
Ternyata tidak demikian. Saya sampai konsul sama pak ustadz. Kenapa perasaan saya “biasa2” aja setelah wukuf, saya pikir akan ada perasaan gimanaaaa gitu…atau tiba-tiba saya jadi sholehah gitu…Ternyata eh ternyata, mantra pak Tarno “sim salabim haji mabrur…prok prok prok” itu tak ada.
Kebetulan sekali siangnya, ustadz kami memutar kaset tentang haji mabrur. Kata mas yang mendengarkan sampai tuntas (saya cuman dengerin sepotong, sepotong lagi sudah di alam mimpi hehe), pak Muchtar Khalid yang menyampaikan materi tersebut, mengatakan bahwa haji ini seperti pagar. Ia akan memagari kita dari kecenderungan untuk melakukan keburukan. Masalahnya, si pagar ini tak permanen. Ia harus kita pelihara terus, agar tetap kuat bahkan semakin kokoh. Tanpa upaya menjaganya, maka pagar itu bisa mudah rapuh dan lapuk.
Ya, ya, ya…saya mengerti sekarang. Mie ada yang instan. Bubur ada yang instan. Tapi keshalihan, tak ada yang instan.
Saya juga mengerti, tak ada yang otomatis dalam kesalehan. Jadi haji-hajjah tak otomatis jadi baik. Jadi ustadz? Tak otomatis berarti kebal terhadap godaan duniawi. Jadi propesor? Tak otomatis selalu menjaga sikap etis ilmiah.Tak akan ada jejaknya semua “peran” yang ia sandang, selama tak diiringi penghayatan terhadap peran dan amanah tersebut.
Jadi, kita harus selalu melihat secara objektif perilaku orang lain. Entah itu ustadz, profesor, siapapun. Dan kita juga harus selalu ingat. Ibadah ritual kita-syahadat, sholat, puasa, zakat, berhaji- tak akan otomatis mengubah sikap mental kita, jika kita tak menghayati makna dan manfaat syariat itu untuk kesehatan mental dan kebahagiaan hidup kita. Ibadah ritual itu bukan tujuan, tapi media. Maka, kita harus selalu evaluasi apakah media yang kita gunakan berhasil mengantarkan kita ke tujuan dari media tersebut?
Recent Comments