29. “Sentilan” Allah di Terowongan Muaisim

Mina, 12 Dzulhijah 1434

muaisimHari ini hari ketiga kami melempar jumroh. Meskipun pihak muassasah Asia Tenggara “melarang” kami untuk melempar jumroh pada waktu afdol yaitu bada dhuhur (di pintu masuk terowongan Muaisim, ada petugas yang halo-halo : “kepada saudaraku jemaah haji asal Indonesia…demi keselamatan saudara…dilarang melempar jumroh antara jam 10 sampai jam 14.30“)… Hadeeeeuuuh…kata-katanya itu loh… Meni DILARANG… Menurut saya sih akan lebih baik SEBAIKNYA…KARENA…. bla…bla…bla…Memang saya bisa memahami alasan Pemerintah Indonesia “melarang” melempar Jumroh di waktu afdhol tersebut. Karena akan banyak jamaah yang mengambil “nafar awal”; artinya melempar jumroh sampai dengan hari ini saja dan lalu pulang ke Mekah serta juga ingin mengambil waktu afdhol, maka pasti akan amat berdesakan. Dan kembali, tubuh jamaah Indonesia yang mungil-mungil dibanding jamaah dari negara-negara lain, dikhawatirkan keselamatannya.

Meskipun pembimbing kami memberi kebebasan bagi kami jika ingin lebih leluasa berangkat melempar jumroh bada Shubuh, akan tetapi beliau menyarankan untuk  tetap pergi dari tenda jam 11, sehingga di pintu masuk pas adzan dzhuhur dan melempar jumroh pun tepat di waktu yang sempurna.Alasannya ada dua. (1) Secara “emosi”, masa sih haji yang mungkin hanya sekali seumur hidup ini,  gak kita upayakan  untuk dapet yang sempurna-sempurna… (2) Sunnahnya memang demikian. Saat haji wada dulu, Rasulullah menunggu waktu yang afdhal yaitu ba’da Dhuhur, meskipun beliau membawa banyak unta untuk Qurban. Sebenarnya hal ini amat menyulitkan. Dan Rasulullah, jika dihadapkan pada dua pilihan selalu memilih yang paling mudah dan ringan. Maka, pilihan beliau untuk tetap mengambil waktu bada Dhuhur untuk melempar jumroh meskipun merepotkan, tentulah mengandung hikmah yang besar.

Untuk mengantisipasi situasi hari ini yang akan amat padat, kami diminta kompak bersatu dalam barisan dan mengenakan atribut-atribut identitas kami.

Setiap kali mendengar kata “melempar jumroh” dan “Mina”, mungkin sebagian dari kita termasuk saya, teringat pada “tragedi terowongan mina” bertahun-tahun lalu, dimana banyak jemaah haji yang wafat akibat terinjak-injak disebabkan “bentrokan” dua arus manusia yang menuju dan pulang melempar jumroh.jamarat Kabarnya, sejak kejadian tersebut pihak penyelenggara haji Kerajaan Saudi terus melakukan pengembangan untuk mencegah tragedi semacam itu terjadi lagi. Dan hasilnya terlihat jelas. Kawasan dan bangunan untuk melempar jumroh terlihat tak hanya “megah”, tapi juga mengandung sistem kemananan yang wokeh. Setiap area di Mina akan melalui jalan yang langsung mengarah pada salah satu bagian melempar jumroh; misalnya daerah kami akan masuk langsung ke lantai 3. Dengan demikian, tak akan mungkin terjadi penumpukan jamaah di satu area. Jalan-jalan dibuat satu arah, tak mungkin bertabrakan. Rambu-rambu visual berupa gambar maupun tulisan berbahasa Arab dan Inggris banyak sekali dan amat memadai untuk memberikan infrormasi.terowongan1380255_10151918205038094_1027029238_nDari area tenda ke tempat melempar jumroh, kami melewati terowongan; yaitu gunung-gunung batu yang ditembus. Namanya terowongan Muaisim. Terowongan ini satu arah, lebarnya kurang lebih 7 meter dan di tengah-tengahnya ada “lantai berjalan” kayak yang di bandara gituh. Kata pembimbing kami, “lantai berjalan” ini baru difungsikan tahun ini. Buat ibu-ibu sepuh, “lantai berjalan” ini sangat membantu. Maklum, perjalanan kurang lebih 3 kilo dari tenda kami menuju tempat melempar jumroh. Bolak-balik 6 kilo, lumayan juga.Nah, tadi saya sedang nikmat-nikmatnya berdiri di “lantai berjalan”, menyender ke pinggirnya. Di kiri kanan kami jamaah dari Belanda, Australia dan beragam negara lain yang badannya tinggi-tinggi besar. Suara takbir mengiringi langkah kami, tapi suasana sangat rileks.

Tiba-tiba…..terdengar gemuruh keras seperti hujan batu. Dan beberapa detik kemudian, tiba-tiba orang-orang di depan saya berhamburan berbalik arah ke arah saya…kepanikan melanda. Teriakan, jeritan, dan kekacauan terjadi begiru cepat, tanpa kami tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya sendiri bingung, saya menyangka arus kami bertemu dengan arus balik ke arah kami. Tapi kenapa bisa begitu? bukankah ini satu arah?

Kepanikan saya bertambah karena saat itu saya sedang tak berpegangan tangan dengan mas. Meskipun mas tepat berada di belakang saya, namun tetap saja sempat terpisah karena chaos yg terjadi. Secara instinktif, saya mengikuti arus orang yang lari berbalik arah. Alhamdulillah mas segera menarik saya ke pinggir dan mengarahkan untuk tak ikut lari. Karena resiko tabrakan atau tergencet, sudah terlihat jelas terjadi di depan mata kami. Apalagi secara fisik badan kami kecil-kecil dibanding dengan jemaah dari negara lain.
Meskipun kejadian itu hanya berlangsung beberapa menit, namun efek fisik dan psikologisnya luar biasa. Ada  yang terinjak-injak, bahkan yang berkursi roda ada juga yang tertabrak. Barang-barang, tas, sendal berceceran. Beberapa teman saya kehilangan sendal pada saat itu. Secara psikologis, beberapa teman menangis histeris, bahkan beberapa ingin mengurungkan melanjutkan perjalanan.
Selanjutnya, meskipun situasi sudah lebih terkendali, namun suasana masih mencekam. Para polisi yang berjaga memberikan arahan-arahan pada kami, dengan teriakan maupun dengan bahasa tubuh, yang sayangnya….sama sekali tak kami mengerti. Kami maju sedikit demi sedikit, dengan pikiran bahwa situasi tadi sangat mungkin terjadi lagi. Disinilah saya memahami betapa besarnya “potesi bahaya” bila ada sejumlah besar orang berkumpul, namun dengan bahasa yang berbeda. Baik bahasa verbal maupun non verbal. Sedikit misunderstanding saja bisa mengakibatkan kondisi yang tak terkendali dan membahayakan.Satu hal yang jelas adalah, dari bibir-bibir kami yang bergetar dan dari dada-dada kami yang deg-degan, kami mengucap dzikir dengan sungguh-sungguh. Saat itulah kami menghayati kembali bahwa dalam situasi seperti ini, kami hanya bisa bergantung pada Allah. Bukan pada apa atau siapa.ARABIA_SAUDITA_-_Jamarat_(600_x_450)Alhamdulillah selanjutnya kami bisa melempar jumroh dan kembali dengan aman. Ternyata chaos tadi disebabkan oleh berhentinya “lantai berjalan” secara mendadak, membuat orang-orang panik dan menimbulkan gelombang kepanikan tadi.
Di tenda, saya dan teman-teman berbincang berintrospeksi diri. Yups…  tadi, walaupun sambil jalan mulut kami mengucap takbir, tapi tanpa diiringi kehadiran hati. Oleh karena itulah Allah “menyentil” kami dengan peristiwa tadi. Untuk menyadarkan kami … Untuk tak “berbasa-basi” saat berdzikir…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: