Sikap terhadap nilai raport anak : refleksi pola asuh kita

Sekarang sudah jam 02 dini hari. Dalam hitungan jam, banyak para emak yang akan ke sekolah anaknya untuk mengambil raport. Saya insya allah 6 jam lagi. Menurut “penerawangan” sayah; besok status pesbuk, bebe, whats app dan media sosial lainnya akan bertema masalah raport ini. Haha….soktau…..Maklum lah, sudah bertahun-tahun jadi pengamat social media (haha….tambah soktau lagih). Tapi kayaknya sih iya…lha wong 2 minggu kemaren, status ibu2 di bb-list sayah semuanya tentang UAS anak-anaknya.

Akan beragam sikap ibu-ibu terhadap nilai raport anaknya. Dan, kalau kita mau berefleksi, itu bisa jadi cerminan bagaimana pola asuh kita pada anak selama ini. Kenapa kita harus berefleksi segala? karena menurut penelitian, ada pola asuh tertentu yang benefitnya lebih besar buat perkembangan anak selanjutnya, sebaliknya ada pola asuh lain yang “mudhorotnya” besar untuk perkembangan anak selanjutnya.

Sebagian ibu-ibu yang rajin baca tentu sudah mengenal tipe pola asuh: authoritarian, authoritative, permisive, uninvolved. Empat tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind (1971), Maccoby dan Martin (1983) sudah banyak diulas baik dalam tulisan ilmiah maupun tulisan populer. Tapi, ada konsep yang lebih penting yang mendasari pengkategorian 4 tipe pola asuh ini yang suka agak “dilupakan”. Itu yang ingin saya paparkan dalam tulisan ini.

Jadi begini ceritanya…melalui pengamatan intensif terhadap bagaimana cara orangtua mengasuh anaknya dan efeknya pada anak, Baumrind (1971) mengemukakan  ke-4 kategori gaya pengasuhan itu; yang didasari oleh  “kombinasi” dari 2 dimensi dalam pengasuhan :

(1) Dimensi Parental Control (CONTROL); menggambarakan bagaimana orangtua menetapkan dan memegang teguh aturan pada anak-anaknya, menyediakan kegiatan yang terstruktur untuk anak-anaknya,menuntut anaknya bisa mengeluarkan potensi yang dimilikinya, menuntut anak memiliki kontrol diri ynag kuat, pendekatan yang “rasional” pada anak. Intinya adalah, orangtua memberikan “tuntutan pada anak”

(2) Dimensi Nurturance (WARMTH) ; menggambarkan ekspresi kehangatan dan persetujuan orangtua pada anak, perhatian pada kesejahteraan psikis dan emosi anak.

Nah, dua dimensi itulah yang kemudian menjadi dasar munculnya keempat tipologi pola asuh: authoritative, authoritarian, permissive indulgent, and permissive uninvolved (Baumrind, 1971; Maccoby & Martin, 1983). parenting 2

  • Authoritative parenting : kombinasi ++ dari kedua dimensi di atas. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini menetapkan standar perilaku untuk anaknya, melakukan pengawasan pada anaknya, menerapkan disiplin melalui komunikasi dua arah yang melibatkan logika anak.
  • Authoritarian parenting : kombinasi +control -warmth. Orangtua memberikan tuntutan, namun mengupayakan “ketundukan” anak padanya dengan mengabaikan emosi anak.
  • Permissive indulgent : kombinasi -control; + warmth. Orangtua tidak memberikan tuntutan apapun pada anak. Perhatian orangtua tertuju pada bagaimana anak merasa kebutuhan emosionalnya terpuaskan.
  • Permissive uninvolved parenting : kombinasi -contril dan – warmth. Orangtua yang menerapkan jenis pola asuh ini, biasanya “gak peduli” sama anaknya.

Nah, berdasarkan penelitian, empat tipologi pol asuh tadi, memiliki pengaruh yang berbeda pada perkembangan kognisi, emosi dan sosial anak. Gambarannya  adalah sebagai berikut:

parenting Dari gambaran tersebut terlihat bahwa pola asuh yang memberikan manfaat yang lebih baik pada anak adalah pola asuh yang memberikan “tuntutan” pada anak, namun memperhatikan juga sisi emosi anak.Konon, penelitian-penelitian sampai saat ini mensupport penelitian jadul tersebut.

Kalau saya hayati, saya juga setuju sih dengan hasil peelitian tersebut. Kadang kita “terjebak” untuk berada di satu kutub: “terlalu menuntut” anak kita, atau “terlalu membebaskan” anak kita. Apalagi kondisi dan situasi pendidikan anak di Indonesia yang konon sedang carut marut. Pelajaran PKN dengan “bahasa ajaib” untuk anak kelas 3 SD, seringkali menjadi legitimasi buat kita untuk tak menuntut anak untuk “belajar”. Di satu sisi, “ketatnya persaingan” mulai persaingan untuk masuk TK….membuat kita panik sehingga mudah marah saat anak kita tak mencapai “target” yang kita harapkan.

Saya setujua bahwa kedua dimensi pengasuhan, yaitu “control” dan “warmth” yang tinggi- lah yang harus kita berikan pada anak.

Kenapa anak butuh kontrol? Karena dengan cara itulah kita mendidik anak kita untuk memiliki “adversity quotion” yang tinggi; kemampuan menghadapi hambatan dan kesulitan untuk mencapai prestasi. Melalui tuntutan yang kita berikan, anak harus belajar bagaimana mengatasi masalah dalam situasi yang  sulit. Hal ini penting karena kita sebagai orangtua tidak bisa memperkirakan secara persis, apa yang akan dihadapi anak dalam kehidupannya kelak. 

Di sisi lain, anak juga perlu belajar bagaimana mencintai dan dicintai, peduli pada orang lain, menunjukkan rasa hormat, dan menjalin hubungan yang dekat dengan keluarga dan orang lain. Kualitas ini hanya akan berkembang pada anak yang merasakan bahwa dunia adalah tempat yang mencintainya dan peka terhadap kebutuhannya. 

Saya merasa sangat beruntung, minggu lalu seorang mahasiswa saya mempresentasikan skripsinya mengenai hal ini. Saya jadi mengevaluasi kembali pola asuh apa yang saya terapkan pada anak-anak saya ya? jangan-jangan yang permisive uninvolved?

Jadi…balik lagi ke agenda mengambil raport 5 jam lagi….saya jadi merasa “mantap” dan “tak galau lagi” mengingat  perjanjian dengan anak-anak : tetap memberi target ranking 5 besar untuk Kaka Azka dan 3 besar untuk Mas Umar, juga menjanjikan hadiah untuk mereka jika mencapai target tersebut. Kalau tak tercapai? ada hadiah lain kalau nilai mereka naik dari nilai semester lalu. Kalau nilainya tetap atau turun? hadiah tentunya tak akan didapat.

Tapi  tenang….masih ada hadiah pelukan dan makan pizza bareng sambil membahas upaya belajar apa yang bisa dilakukan semester depan …. 

Moga-moga “ikhtiar” dan “ijtihad” ini jadi pengundang pertolongan Allah sehingga anak-anak tidak menjadi anak-anak yang “letoy” ataupun “terlalu ambisius”, namun tumbuh menjadi anak-anak yang high motivated but always happy 

Buat para emak…. selamat mengambil raport 😉 

 

31. Life : Is Never Ending Jumroh

Mina, 13 Dzulhijah 1434

Hari ini hari terakhir kami melempar jumroh.  Seperti yang sudah disampaikan pak ustadz pembimbing kami, hari ini akan sangat lengang. Karena sebagian besar jamaah sudah melakukan nafar awal, yaitu melempar jumroh sampai hari kemarin.

IMG-20131018-00969Ternyata apa yang dikatakan pak ustadz 100 persen benarrr… Tempat melempar jumroh yang biasanya padat, kosong song song…istilahnya, kita bisa “one on one” lempar setannya (biasanya kan si setan dikeroyok sama banyakan tuh..hehe…). Jadi inget kemaren, waktu saya telpon Hana nanyain gimana manasik hajinya di sekolah, dengan antusias Hana menjawab …”Ibu, kaka lempar batunya hebat…kena sama setannya, setannya sampai benjol, pingsan terus mati deh”.  Hadeeeuh…ini pasti ulah gurunya Hana yang super imaginatif hehe..

Saat melempar jumroh, secara psikologis kita membayangkan kita membuang semua sifat buruk yang kita miliki. Kita juga bayangkan kalau kita melempari setan-setan yang menghalangi kita dari kebaikan dan mengajak pada keburukan.Sssst…dalam psikologi, teknik “imagery” ini terbukti ampuh untuk mengarahkan perilaku loh…jadi kalau teman-teman nanti melempar jumroh, benar-benar hayati dan bayangkan hal-hal tersebut… Saya sangat terkesan dengan ibadah ini.

Ternyata saya tak sendiri. Melalui tayangan National Geografic yang saya tonton di yutub: http://www.youtube.com/watch?v=lGykoUtHk0A, Seorang ahli neurosains dari Amerika, juga mengatakan kurang lebih begini : “I love the jamarat. I think this ritual have a tremendous power.  Semakin banyak cara yang kita gunakan: fisik, mental, spiritual dalam amalan ini, semakin besar hasilnya untuk menjaga kita dari godaan syetan. Dari sudut saintifik, ini ritual yang amat bermanfaat”

Ya, sebenarnya….kalau kita hayati….setiap detik kehidupan kita, harusnya kita terus melempar jumroh. Tak berhenti. Mengapa? Karena syetan juga tak pernah berhenti menggoda kita. Kadang dia hanya menunggu waktu, seringkali dia hanya berubah wujud. Kita melempari mereka yang menggoda kita untuk sombong. Saat sudah berhasil menjadi seorang yang rendah hati, mereka akan datang menggoda kita untuk “merasa kita lebih rendah hati dari yang lain” ….terus…terus…demikian. Seperti janjinya, syetan tak akan berhenti sampai hari kematian kita tiba.

Saya sangat terkesan dengan uraian Ali Syariati dalam buku fenomenalnya-Makna Haji. Pada terbitan Zahra, mulai halaman 193, beliau menulis sub-bab Serangan-serangan Pasca Id.

Ketiga hari setelah hari Id ini disebut Hari Tasyriq. Apakah artinya? pada hari 10 Dzulhijah engkau naik ke tingkatan Ibrahim, engkau mendapatkan keberanian untuk “mengorbankan Ismail”. Engkau mengalahkan setan di basis terakhirnya pada seranganmu yang pertama, engkau berkorban, engkau melepaskan pakaian ihrom dan menghasilkan kemenangan dari front pertempuran Mina. Mengapa engkau harus meneruskan pertempuran? Ada pelajaran darimu- jangan lupa bahwa setan mampu bertahan hidup meskipun setelah dikalahkan

…..Kemenangan jangan sampai menyebabkanmu terlena. Karena itu, jika engkau telah menaklukkan Mina maka tetaplah tanganmu menggenggam senjata. Engkau harus memaksa setan keluar dari pintumu. Tapi setan bisa kembali lewat jendela. Ia kalah “di luar dirimu” tapi ia bisa bangkit “di dalam dirimu”. Ia dirobohkan dalam pertempuran, tapi ia bisa memperoleh kekuatan kembali dalam perdamaian. Ia lenyap di Mina, tapi kini ia bisa subur dalam dirimu

…Godaan memiliki ribuan wajah.

….Janganlah engkau begitu naif mengira perang telah usai setelah mengalahkan setan di Mina, dan melepaskan baju besimu, memakai make up dan parfum, merayakan kemenanganmu, mengabaikan ancaman, merasa bebas untuk meninggalkan Mina menuju Mekah, terus sibuk beribadah atau pulang ke kampung halaman dan memulai bisnismu lagi. Wahai engkau pejuang kemerdekaan, pengikut Ibrahim, jangan lupa 10 Zulhijah adalah hari “id Kurban” bukan “id kemenangan”. Pengorbanan Ismail adalah awal haji, bukan akhir haji.

…Setelah hari id, engkau harus tetap mempertahankan semangat heroikmu dan siap setiap saat untuk bertempur.….Setan memiliki banyak warna dan tipu daya. Setan pernah mencoba memperdaya engkau dengan nyawa Ismail dan sekarang Engkau mungkin ditipu oleh rasa bangga karena telah mengorbankan Ismail.

30. I Miss You All, Kids……

Ada pemandangan yang mengagetkan saya setiap kali pulang melempar jumroh. Yaitu banyaknya pengemis berkulit hitam di sepanjang jalan pulang. Biasanya mereka membawa anak-anak kecil…ada bahkan yang masih bayi merah, disimpen di kardus. Banyak juga yang cacat. Gak ada tangan, gak ada kaki, bahkan tak ada tangan dan kaki. Menurut pembimbing kami, mereka sulit diberantas karena dibacking oleh mafia yang sangat kuat. Mereka didrop dari negara-negara miskin Afrika, bahkan konon disana banyak bayi-bayi yang sengaja dipotong tangan-kakinya biar bisa lebih “laku”. Naudzubillahi min dzalik. Pembimbing kami juga mengingatkan agar kami waspada. Kalau mau berniat memberi, siapkan uang di luar. Jangan membuka dompet di luar. Memang kejadian, seorang teman kami “dipepet” beberapa orang dari pengemis itu saat mengeluarkan dompet. Ada juga bapak yang kehilangan hape dan dompet.

Beberapa anak-anak itu seusia Azka, Umar, Hana dan Azzam. Haduuuuuuh…saya langsung tak bisa menahan air mata. Saya berdoa semoga anak-anak ini, dijaga oleh Allah keselamatan dunia dan akhiratnya, juga anak-anak saya….

Parompong-20130513-00013Jadi kangen anak-anak…. Kalau mengikuti perasaan, mana tega meninggalkan mereka, terutama si bungsu Azzam yang masih menikmati ASI-selama 40 hari. Selama ini saya tak pernah tega ninggalin anak-anak nginep kecuali kalau terpaksa banget. Pernah beberapa tahun lalu, ikut conference di Jogja. Bawa anak-anak semobil. Hebohnya dua hari dua malam, padahal presentasinya dan hadir di konferensinya cuman beberapa jam.

Dengan tauhid saya yang masih di level ini, ada perasaan khawatir yang amat sangat … Kalau saya pergi, tak ada yg “menjaga” mereka. Apalagi saat denger Hana sakit, udah 2 kali ke dokter belum sembuh, aduuuuh….rasanya sakiiiiit banget, sediiiih….

Kemaren, pas Idul Adha, saat saya lempar jumroh yang pertama, pas telpon rumah baru tahu ternyata anak-anak tercerai berai. Azka dan Umar di rumah neneknya di Purwakarta. Hana karena sakit dibawa pulang ke kampungnya teh Ema pengasuhnya karena teh Ema lebaran di kampungnya, dan Azzam ditinggal di Bandung sama yang ngasuhnya haduuuuuh…cuman bisa nangis sesenggukan sambil meluk mas. Hati rasanya teriris-iris…pengen langsung terbang ke Indonesia saat itu juga.

Tapi Alhamdulillah, di saat-saat seperti itu ada teman-teman disini  yang selalu menguatkan. Mereka meyakinkan bahwa Allah gak mungkin mengundang kita kesini dan tak menjaga anak-anak kita. Dan setiap kali ada diantara kami yang berkaca-kaca ataupun terisak karena anak, kami saling menghibur, menguatkan dan mengingatkan. Memang seorang ibu, berapapun usia anak-anaknya, tak akan pernah bisa lepas ikatan emosinya. Kemarin ada seorang ibu yang sudah cukup senior, tiba-tiba terisak setelah membaca sms. Beliau cerita ke saya kalau anak-anaknya yang sudah besar bahkan sudah berkeluarga meng-sms : “mama semoga sehat ya…cepat pulang karena kami semua sudah merindukan mama”….aduuh….sambil gak kuat menahan air mata juga, saya peluk ibu itu.

Berbagi dengan teman-teman disini menjadi hiburan yang mujarab untuk mengobati kerinduan kami. Selain saling memperlihatkan dan menceritakan foto-foto anak-anak kami di hape masing-masing, berbagi cerita tentang tingkah polah anak juga sangat menghibur.

Seperti Hana, yang seminggu pertama…setiap kali pulang sekolah, katanya selalu bertanya : “ibu udah pulang belum?” Hehe…tepatlah dugaan saya bahwa meskipun berulang kali saya bilang dan menjelaskan dengan tanggal-tanggal di kalender untuk menggambarkan bahwa 40 hari itu lama, hana belum mengerti. Dia bilang : “iya, kaka tau ibu haji pergi 40 hari. Nanti ibu pulangnya jam berapa?” Teu nyambung hehe…

Seorang teman bercerita kalau anaknya berpersepsi bahwa “arab” itu tempatnya di Mapolda. Maklum, si anak mengantar si ibu pas mau berangkat ke Mapolda. Tiap ditelpon, si anak bilang : “umi, boleh gak aku ke Mapolda buat ketemu umi?” Saat si umi bilang: “umi kan di arab”… Si anak bilang : “iya, aku tau umi ada di arab. Boleh ya, aku ke Mapolda… ” Tampaknya si anak menyangka Arab itu ada di Mapolda hehe… Begitu pula saat si umi bilang : “umi kan jauh, naik pesawat”, si anak bilang: ah, umi bohong…aku liat umi naik bis bukan naik pesawat” hehe….

Ah, dalam suasana berjauhan gini, terasa banget bahwa anak-anak itu adalah karunia yg tak terkira…I miss u all, girls…boys…
Biarlah ini menjadi latihan buat kita semua…latihan untuk berusaha menumbuhkan cinta kita pada Allah, lebih besar dari cinta ibu pada kalian, dan cinta kalian pada ibu….