32. WasWas, (+) dan (-) nya.

Sabtu, 14 Dzulhijah 1434

Alhamdulillah, hari ini kami sudah menyelesaikan thawaf ifadah dan sai. Artinya, seluruh rukun haji sudah kami selesaikan. Rasa lega pastinya adalah perasaan yang kami rasakan. Untuk sebagian jamaah, mungkin lega karena gelar “haji”/”hajjah” kini telah resmi disandang. Buat sebagian jamaah  yang lain terutama pasangan muda, mungkin kelegaan itu dikarenakan kini satu larangan yang menyebabkan harus membayar dam seekor unta dan hajinya batal, kini telah hilang; yaitu larangan untuk berhubungan suami-istri. Kelompok jamaah ketiga, merasakan kelegaan karena sudah menyempurnakan ikhtiar melaksanakan seluruh rukun dalam ibadah haji ini. Menurut saya, alasan ini yang paling tepat.

Tapi, dibalik kelegaan-kelegaan  itu, terselip pula rasa was-was. Rasa khawatir. Takut kalau rukun yang terakhir ini tidak terlaksana dengan sempurna. Maklum, yang namanya rukun, kalau tak dipenuhi dengan benar akan berakibat tidak syahnya haji yang kami lakukan. Kecemasan itu membuat pak ustadz pembimbing kami kebajiran beragam pertanyaan.

Jujur, rasa cemas itu saya rasakan pula. Intensitasnya begitu tinggi. Meskipun mas mengingatkan saya untuk menyeimbangkan Roja dengan Khauf, namun hanya sedikiiiit mengurangi kecemasan saya. Seperti beberapa teman yang lain, saya merasa lebih tenang setelah mengulang sa’i saya, karena saya merasa ada aturan sa’i yang kurang sempurna saya penuhi sebelumnya.

Ya, dalam psikologi, was-was ini namanya cemas. Rasa cemas ini muncul sebagai akibat “insecure”; perasaan  tidak aman. Memang kita harus berlindung dari rasa was-was yang berlebihan. Karena bisa merusak ibadah dan merusak husnudzhan kita pada Allah. Misalnya, kita was-was apakah wudhu kita sempurna atau tidak, niat kita saat sholat benar atau tidak, sehingga mengulang-ulang wudhu atau mengulang-ulang takbiratul ihram. Ini adalah simptom obsesive compulsice disorder.

Saya menghayati, tingginya intensitas kecemasan saat melaksanakan rukun-rukun haji disebabkan oleh perasaan bahwa haji ini, adalah ibadah “sekali seumur hidup”. Kalau sholat, puasa, rasanya kalau tak sempurna bisa kita “perbaiki” dengan sholat atau puasa selanjutnya. Tapi haji? Tak mudah dan belum tentu bisa mengulang jika aturan ritualnya tak terpenuhi dengan sempurna sehingga hajinya tidak sah.

Jadi, dalam kadar yang pas, was-was ini harus kita miliki. Kalau tidak, kita bisa jadi “psikopat” dalam beribadah. Cuek, berpegang pada alasan “Allah kan maha tahu”. Padahal, seperti yang diungkap pak Quraish Shihab, dalam beribadah itu ada tujuan dan esensi, juga ada “aturan protokoler” yang tak boleh diabaikan dan harus disempurnakan.

Ya Allah semoga engkau menerima haji kami, mengampuni dosa-dosa kami, menyempurnakan segala kekurangan yang kami lakukan. Allahummaj’alhu hajjan mabruro wasakyan masykuro wadhzambam maghfuro waa tijarotan lan tabuur…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: