Saat kami baru saja tiba di lobi hotel maktab kami dari bandara Jeddah, ada pemandangan yang membuat kami tersentak. Sebuah kasur dorong berisi jenazah keluar dari lift. Petugas medis mengiringi jenazah yang tertutup kain tersebut. Dibelakangnya, seorang bapak menangis tersedu-sedu. Haduh, kalau saya bayangin itu, gak tahan pengen nangis lagi. Buat kami yang baru menginjakkan kaki di tanah suci, peristiwa itu begitu membangkitkan emosi. Cemas. Takut.
Beberapa hari kemudian, kami se-lift dengan bapak tersebut. Bapak tersebut ternyata dari medan. Mas mengucapkan belasungkawa pada bapak tersebut. Lalu bapak itu cerita, kurang lebih begini: “ya, tadinya saya sedih…tapi setelah saya ikut memandikan, lalu saya temanin dia disholatkan di masjidil haram, disholatkan oleh ribuan orang, didoakan oleh imam masjidil haram, saya jadi berpikir kalau dia jauh lebih beruntung dibanding saya. Saya, tidak tahu kapan dan dimana saya akan meninggal, dalam keadaan apa. Memang perasaan masih sedih. Tapi mengingat kemuliaan itu, membuat saya terhibur”.
Ya..ya…ya… Dulu, setiap kami mendengar berita ada yang wafat saat berhaji sebelum hari wukuf, yang artinya ia belum jadi “haji” saya suka bilang “kasian ya…”. Tapi sekarang pandangan saya berubah. Mereka-mereka, telah melakukan upaya untuk berhaji. Menyiapkan fisik, materi, psikologis, ruhiyah, tak ada ruginya wafat disini, Allah sudah mencatat niatnya.
Setiap kali bada sholat wajib kami melakukan sholat jenazah, setelah takbir ketiga kami membaca doa untuk jenazah : allahummaghfirlahu, ha warhamhu, ha waafihi wa’fuanhu. Waktu saya tau bahwa doa itu artinya “Ya Allah, ampunilah dosanya, berilah rahmatMu ke atasnya, sejahtera dan maafkanlah Ia” Ya ampuuuun…. Betapa bahagianya yang wafat disana….jutaan orang, orang-orang sholeh dari seluruh penjuru dunia, para hafidz imam masjidil harom, memohonkan doa pada Allah untuk mereka ……Betapa beruntungnya mereka ….
Setiap kali saya kembali bertemu bapak itu; saat ia membeli makan sendiri, ke mesjid sendiri, menjemur baju sendiri…meski secara manusiawi merasa iba, namun saya melihat…ia tak sedih…ya, ia beruntung. Istrinya beruntung.
Recent Comments