Selasa 29 Oktober 2013
Kami di bis on the way to Madinah. Akan meninggalkan Mekah Al Mukarromah, Mekah yang disucikan, menuju Madinah Al Munawwaroh, Madinah yang bercahaya.
Berangkat kurang lebih jam 8 tadi pagi, katanya perjalanan kurang lebih selama 6 jam. Saya baru bangun hehe… Dan pemandangan di kiri kanan kini adalah padang pasir yang diselingi gunung-gunung batu. Ah, kebayang waktu zaman rasulullah dahulu. Pasti alamnya jauh lebih ganas, dan waktu hijrah Beliau tak melaluinya dengan bis ber ac seperti ini. Saya juga membayangkan perang-peran yang terjadi….perang badar, perang uhud….ah, speechless…pantaslah para sahabat yang gugur bergelar syuhada dan mendapat jaminan syurga.
Kata mas, ia juga jadi mengerti kenapa jaman penjajahan belanda dulu, penjajah sangat takut dengan yang pergi berhaji. Yang pulang haji, pasti sudah tertempa fisik, spiritual bahkan wawasan saat bertukar pikiran dengan seluruh warga muslim sedunia, terutama saat di Mina. Tak heran penggerak-penggerak dan pahlawan-pahlawan kemerdekaan datang dari kaum yang pulang berhaji.
Semalam, bada isya kami melakukan thawaf wada. Thawaf perpisahan. Rasanya? Tak terbayangkan. Sedih, campur haru, campur syukur, campur harap yang amat besar untuk bisa diundang kembali, campur kangen, campur baur menjadi rasa yang tak terdefinisikan. Belum pernah saya merasakan perasaan sedalam ini. Tujuh kali putaran, saya tak sanggup berdoa apapun. Segala campur baur perasaan ini membuat saya hanya bisa mengucapkan satu kata. Allah. Hanya air mata saja yang bisa mengekspresikannya.
Walaupun mas terpincang-pincang karena keseleo kakinya, tapi ia mau mengabulkan keinginan saya, mengantar dan melindungi saya masuk ke Hijir Ismail dan memegang Rukun Yamani. Tadinya, melihat kondisi mas saya sudah pasrah dan berdoa agar keinginan masuk ke Hijr Ismail dan memegang Rukun Yamani jadi “PR” yang membuat saya bisa kembali lagi kesini untuk menyelesaikannya. Makanya, pas mas tetap mengusahakannya, setelahnya saya peluk mas, pelukan yang paling …. “sesuatu” selama 11 tahun menikah ini (gak tau namanya apa, pokoknya didorong oleh perasaan yang “dalem” banget lah..hehe..)
Di Hijr ismail, duh…saya bener-bener speechless. Berada di rumah seorang wanita, yang di mata manusia paling hina (wanita sering dipandang sebagai warga kelas dua), budak, hitam, (yang karena itulah dipilih oleh Sarah istri ibrahim, karena tak akan menimbulkan kecemburuan), tapi oleh Allah diangkat derajatnya setinggi-tingginya. Terbayang saat beliau ditinggalkan di lembah tandus Mekkah, terbayang perasaannya saat Ismail menangis sedangkan air tak ada, terbayang upayanya bolak-balik bukit Shafa dan Marwah mencari air, terbayang betapa bahagianya ia saat melihat zamzam mengalir… Duh ya Allah…karuniakanlah aku ketauhidan sekuat tauhid Hajar, karuniakanlah semangat ikhtiar sebesar semangat Hajar, karuniakanlah cinta yang amat pada anak-anakku, sebesar cinta Hajar.
Setelah berthawaf wada, rombongan kami janjian ketemuan untuk berdoa bersama dipimpin pak Ustadz. Saat ketemu teman-teman, rata-rata matanya pada bengkak habis menangis. Kami puas-puasin berdoa di Multazam.
Dalam perjalanan pulang, rasa sedih itu terasa lagi. Di sepanjang jalan dari pool bis sampai maktab kami, para pedagang yang selama puluhan hari ini menjadi langganan kami membeli segala macam keperluan, berdiri di depan toko-tokonya. “wada? wada? selamat tinggal” kata mereka sambil melambaikan tangannya pada kami. Beberapa bahkan memanggil kami dan memberikan buah…..Saya sendiri “say goodbye” secara khusus dengan seorang pemuda berwajah arab berperawakan ceking penjual buah yang selama ini hampir setiap hari melayani saya. Ah, cuman satu bulan, tapi rasanya sudah terjalin “hubungan emosional” antara kami dengan mereka (kkkk…lebay….)
Tadi pagi, sejak jam 4 kami sudah bersiap. Koper sih sudah dikumpul sejak semalam di bawah. Koper-koper yang dalam waktu 30 hari, pada hamil 9 bulan haha….Dan selain hamil, ternyata ia juga sudah beranak. Terbukti, tidak hanya tas tentengan yang kami bawa. Tapi bertambah dengan tas ini-itu berisi beragam oleh-oleh. Plus juga ember-ember, rice cooker dan peralatan jemur menjemur yang kami bawa ke Madinah.
Proses mengepak koper bukanlah proses yang mudah bagi kami para ibu-ibu. Harus memutar otak dan menggunakan beragam rumus matematika untuk membuat ruang-ruang di koper kami muat diisi oleh segala macam oleh-oleh yang kami beli. Kami saling berguru ilmu mengenai cara packing yang paling efisien dengan sesama teman sekamar. Dalam hal ini, bapak-bapak dalam keadaan pasrah. Pasrah diimpor-i beragam barang yang tak muat di koper kami, pasrah saat kami ambil alih proses pengepakan kopernya haha…. Dan salah satu yang paling berat buat saya adalah, saat harus memilih barang-barang yang mau tak mau harus saya tinggalkan karena ruang tak muat. Termasuk dua tikar yang menemani perjalanan ke Mina-Arafah. Tikar yang menjadi alas tidur di jalan mudzalifah. Saat termangu memandangi tikar-tikar itu, seorang teman saya bilang “ayo…tinggalin aja…meni kayak nini-nini segala berat ditinggalin” katanya …. haha….
Selama di Mekkah dan di baitullah, tak sempat melihat dengan mata kepala sendiri hajar aswad, gak berani mendekat. Pernah saya ada kesempatan mendekat, hadeeeeuuuh…para joki, yaitu orang-orang Indonesia banyak yang menawari jasa “mencium” hajar aswad. Kami sudah diwanti-wanti untuk menolaknya dengan tegas. Karena mereka meminta bayarang yang tinggi. Dan tidak hanya itu, bagi kami yang berusaha melakukanya tanpa meminta bantuan mereka, mereka akan berupaya menggagalkan dengan cara menghalangi sampai menggencet. Sering kami dengar jeritan-jeritan akibat ulah mereka.
Dari buku-buku yang saya baca, hampir semua menggambarkan bahwa Mekah dan Madinah memiliki karakteristik ynag berbeda, baik secara fisik maupun soiologis dan psikologis. Meskipun sedih meninggalkan Mekah, namun excited juga menuju Madinah.
Recent Comments