Saya paling suka saat kami berada dalam keadaan ihrom. Karena kami sadar betul akan larangan ihrom, maka kami jauh lebih menjaga. Siapa yang ingin melanggar larang ihrom yang beresiko hajinya batal, atau harus bayar dam atau fidyah? Saya juga suka waktu di Mekah, saat kami meyakini bahwa apapun yang kami lakukan, akan mendapat balasan langsung dari Allah.
Memang sih, banyak juga yang meskipun sedang berihrom, tetep we…parasea, memaki, dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Tapi….di Madinah ini saya merasakan betul bagaimana sebagian besar orang kembali “menjadi dirinya” dan secara psikologis meninggalkan kondisi ihrom yang seharusnya tetap dijaga seumur hidup.
Bapak-bapak mudah tersulut kalau senggolan dikit di lift. Saya gak bicara tentang jamaah Indonesia saja. Tapi juga jamaah bangsa lain. U know what? Sampai-sampai…lift itu dijaga ama petugas hotel. Kalau di hotel saya sih masih sebatas adu mulut. Tapi kalau di hotel teman saya, sampai adu jotos dan harus dijaga polisi!!!! Aduh…padahal kan mereka teh udah haji.
Kalau ibu-ibu, masalahnya teuteup…otoritas sajadah. Itulah sebabnya saya suka datang jauuuh sebelum waktu sholat. Bukan karena saya rajin…tapi itu karena…biar saya bisa dapet tempat di pojok depan, sehingga tak perlu menyaksikan suasana “panas” mulai 30 menit menjelang waktu sholat.
Ibu-ibu teh jararutek dan garalak pisan kalau wilayah sajadahnya terganggu. Pernah saya menyaksikan, 3 orang ibu berteman yang tak mau bergeser sedikit pun, padahal jarak antara mereka masih sangat renggang. Mereka menolak seorang ibu yang mau sholat disamping mereka. Saat si ibu tetap mengambil tempat dan sholat sunnat, si ibu itu menyikutnya sambil marah, tetep gak mau geser. Aduuuuh…..pengen nangis liat yang gitu.
Pernah juga ada ibu yang masih tidur menjelang waktu sholat, yang tentunya mengambil tempat yang luas. Saat dibangunkan, ia marah. Ketika seorang Tunisia mengambil tempat disampingnya, ia pun marah dengan emosi yg tinggi. Sambil menunjuk-nunjuk si Tunis cantik, ia berteriak : “saya tau, kalian-kalian tuh dari tadi ada di luar…gak mau masuk…sana, cari tempat lain..jangan disini”. Aduuuuh…sebagai teman sebangsa saya sampai maluuuuu liat ekspresi wajah si tunis yang kaget dan berkali-kali beristighfar.
Saya juga melihat, prejudicenya tinggi banget disini. Kalau liat orang Turki, India, Bangladesh yang memang terkesan “kurang sopan”, ibu-ibu ini langsung “siap tempur”. Sering orang-orang turki “mengomel” : “hai, we are sister, we are muslims,”….
Masalahnya, karena tak semua ibu-ibu jutek dan galak, sikap-sikap seperti itu menimbulkan “gelombang keburukan” : ibu-ibu lain ada yang “ngomongin”, ada yang negur dengan cara yang kurang baik (misal: kasih tempat dong bu..memang mesjid ini punya ibu, kalau mau sendirian aja jangan kesini dong…). Tah, ini juga gak tepat. Messagenya bagus tapi embel-embel kata-kata selanjutnya menimbulkan reaksi defensif.
Ya…. kalau kita hayati, ritual ibadah haji sebenarnya mudah. Mudah sekali kalau kita lakukan sendirian. Tapi menghayati apa yang Allah latihkan pada kita saat melaksanakan ibadah haji, itu jauuuuh lebih sulit. Katanya, hakikat ibadah haji itu adalah melatih diri untuk meninggalkan ke-aku-an. Makanya dalam ihrom, laki-ali hanya boleh mengenakan dua lembar kain tak berjahit, perempuan tak boleh memakai wewangian (itu artinya segala jenis kosmetik tak bisa dipakai).
Berihrom, berhaji adalah latihan membuang sifat “aku”. SajadahKU, tempat sholatKU, AllahKU, AKU.
Recent Comments