Ada satu kalimat yang selalu saya ingat dan entah kenapa berkesan buat saya, meskipun saya bener-bener lupa sumbernya dari mana.
“Lawannya Cinta Bukan Benci, Melainkan Tidak Peduli” . Biasanya ini adalah kalimat sakti yang saya kirimkan lewat sms, bbm atau email sama mas kalau saya sedang merasa bahwa mas sedang “tidak peduli” pada saya….lebay bukan ? haha….
Tapi kalau dihayati, dari sudut pandang psikologi…..kalimat ini maknanya dalem loooh….dan kalimat itu bener banget.
Cinta dan Benci adalah sebuah emosi. Bukan emosi dasar. Kalau kata Plutchik (1980) kan “basic emotion” itu cuman ada 4 pasang, yaitu : anger, fear, sadness, disgust, surprise, anticipation, trust, dan joy. Beragam emosi lainnya, adalah gabungan dari ke-delapan emosi dasar tadi. Misalnya saja, LOVE adalah gabungan dari joy and trust. Ada 6 syarat sebuah “perasaan” bisa disebut emosi. Uraian selengkapnya bisa didapat di mata kuliah PEPSI (Pengantar Psikologi) Fakultas Psikologi Semester 1 haha…
Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah, bahwa dalam emosi itu, ada suatu “keterbangkitan”. Atau bahasa mahasiswa saya mah “intensi”. Sederhananya mah ada “ketergerakan”. Jadi, balik lagi ke kalimat “lawannya cinta bukan benci, melainkan tidak peduli”….memang seseorang yang membenci, itu artinya dia masih “peduli”. Kalau kita membenci seseorang, sampai kita mencacinya, dll….orang itu masih “eksis” secara psikologis dalam perasaan kita. Semakin dalam kebencian kita, semakin besar eksistensi orang itu dalam perasaan kita. Tapi kalau kita gak peduli pada seseorang? … orang itu “gak ada” di mata kita. Begitu lah kira-kira hehe…
Nah….dari uraian “filosofis” di atas, kita menuju aplikasi konkritnya.
Ada kalanya seorang anak “mencari perhatian” ibunya, atau seorang murid “mencari perhatian” gurunya, dengan melakukan perilaku yang “negatif”. Kata buku-buku parenting, cara terbaik menyikapi anak dengan sikap tersebut adalah dengan mengabaikannya. Kenapa? karena kalau kita “memarahi”nya, dia mendapat apa yang ia inginkan. Perhatian. Jadi, reaksi kita terhadap anak tersebut….entah itu reaksi positif ataupun negatif, berfungsi sebagai “reinforcement”, penguat perilakunya. Maka jangan heran kalau perilaku tersebut akan dipertahankan anak, bahkan mengalami eskalasi-peningkatan.
Di jaman sekarang ini, ternyata tak hanya anak yang senang mencari perhatian dengan cara berperilaku negatif. Orang dewasa pun. Dan gila-nya, perilaku mencari perhatian ini ditunjukkan di media yang bisa dikonsumsi oleh seantero Indonesia raya bahkan oleh dunia. Hari-hari belakangan ini, konon seorang pencari perhatian (bukan anak kecil) ber-inisial FA (bukan Fitri Ariyanti ya…), tengah menjadi “trending topic” di kalangan sosial media. Perhatian terhadapnya, konon katanya mengalahkan perhatian masyarakat terhadap hal-hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan.
Semua yang berpikiran waras tentunya tahu bahwa apa yang dilakukan beliau bukanlah perilaku yang baik, yang positif. Dilihat dari kacamata apapun. Dan tidak sedikit yang merasa sebel, kesel, benci, pengen muntah. Cuman salahnya, para “hater”nya ini justru malah memberikan reinforcement terhadap dia. Men-share berita tentang dia, mengomentari sikap dia, bikin komik atau candaan tentang dia, dll dll. Seperti anak kecil, tampak si beliau ini merasa girang saat ia mendapat perhatian. Tak peduli perhatian itu bentuknya kebencian atau hal negatif. Ia telah mendapatkan apa yang ia inginan. EKSISTENSI. Bahwa SAYA ADA.
Sebenarnya saya agak khawatir sih, dengan tulisan ini saya juga mereinforce dia. Cuman saya ingin sekali menyampaikan gagasan saya. Cara yang paling efektif untuk menghentikan beliau, adalah dengan tak mempedulikannya ! jangan tonton dia, jangan baca berita tentang dia, jangan share berita tentang dia, jangan komentar apapun soal dia….buatlah dia “putus asa” dan “merasa frustasi” bahwa upayanya, tidak berhasil. Bahwa dia, “gak penting” dan “tak ada”.
Mudah-mudahan dengan cara demikian, dia akan mencari jalan yang lebih produktif dan konstruktif sebagai jalan untuk menunjukkan Eksistensinya. Aamiin.
Recent Comments