“Sidang Terbuka” Azka

Sejak akhir tahun lalu (hehe..itu berarti 3 minggu lalu ya….), Azka sangat cemas. Dan kecemasannya teruuuuuuus meningkat sampai akhirnya mereda hari Senin lalu. Akhir tahun lalu itu, ia dinobatkan menjadi salah seorang nominasi calon peserta haflah hafalan al-Qur’an. Apakah Haflah itu? Haflah artinya perayaan (ssssttttt…saya juga baru tau itu dari sambutan pak Hilman, gurunya Azka Senin lalu pas membuka acara hehe….).

Begini ceritanya… jadi di sekolah Azka-Umar itu, ada target hafalan Al-Qur’an sampai dengan 2 juz. Artinya, lulusan sekolah itu diharapkan hafal juz 29 dan 30 Al-Qur’an. Kegiatan membaca dan menghafal Qur’an ini dikelola oleh manajemen tersendiri, beda dari sekolah. Tapi tentunya saling berkoordinasi. Nah, setiap tahun diadakan haflah, perayaan bagi anak-anak yang telah mencapai hafalan juz 30 dan 29. Dan ini tak tergantung kelas, tapi tergantung kemampuan anak masing-masing. Kelompok TTQnya pun dikelompokkan berdasarkan kemampuan anak.

Beberapa teman Azka sesama kelas 5 yang menonjol kekuatan menghafalnya sudah lulus juz 30 tahun lalu. Tahun ini, di lampiran surat undangannya, selain kelas 6, ada juga kelas 4 dan 3 yang bersama Azka, akan “diwisuda” lulus juz 30. Makanya Umar ditantang ….akan dihadiahi umroh kalau tahun depan bisa hafal juz 30. Ternyata, para “nominasi” untuk haflah itu, tak semuanya bisa “diwisuda”. Mereka harus melewati “munaqosyah”, ujian. Ada 5 bentuk ujian yang harus mereka lewati untuk membuktikan mereka hafal seluruh rangkaian ayat di juz 30 itu. Dan mengingat tingkat kesulitannya, maka anak-anak itu diberi kesempatan 3 kali untuk mengikuti ujian.

Di ujian pertama, Azka gagal. Tiap malam dia curhat betapa amat cemasnya ia….Alhamdulillah…ujian kedua, ia lulus. Tapi kecemasannya ternyata semakin meningkat. Itu karena, pada acara haflah nanti, itu semacam “sidang terbuka” gitu. Anak-anak masih akan diuji di depan para penonton yaitu para orangtua, dan tanpa rekayasa. Artinya, mereka tetap harus bersiap dengan segala kemungkinan jenis soal yang akan dihadapi…..dan, yang paling dicemaskan adalah…bagaimana kalau nge-blank… Jadi, selain ujian hafalan, ini adalah ujian keberanian juga. Tak heran ada beberapa teman Azka yang mengundurkan diri “tidak berani” ikut Haflah ini. Saya mencoba memahami kecemasannya dengan menceritakan bagaimana saya dulu juga “pengen kabur” kalau mau naik panggung dan berlomba, lalu saya coba “mengajarkan” teknik relaksasi untuk meredakan kecemasan.

Sebenarnya saya agak bingung juga dengan pelaksanaan kegiatan di hari Senin. Soalnya itu jadwal praktek saya di biro. Setelah kasak-kusuk-kasak-kusuk…alhamdulillah…ada teman yang bisa menggantikan saya di pagi hari. Saya akan masuk setelah makan siang. Dan saya begitu terharu ketika meng-bbm si abah bahwa Azka lulus ujan haflah dan bertanya apakah abah bisa ikut hadir hari senin, si abah jawab “harus bisa” katanya.

Ya, memang ada yang berubah pada kami sepulang dari tanah suci. Salah satu hasil “reset” dalam pendidikan anak adalah, bahwa kami bercita-cita keempat anak kami menjadi hafidz/hafidzah. Menjalani profesi apapun mereka kelak, hafidz dan hafidzah haruslah mereka upayakan.

Saya pribadi, jujur saja …. tak pernah “tergiur” ingin anak saya menjadi hafidz/hafidzah sebelum ke tanah suci. Meskipun banyak sekali sekarang program untuk mendidik anak-anak menjadi penghafal al-Qur’an. Baik itu lembaga pesantren maupun beragam program luar sekolah. Saya lebih ingin anak-anak saya “memahami” AL-Qur’an. Itulah sebabnya saya mewajibkan Azka-Umar membaca artinya dan membelikan mereka set tafsir al-Qur’an untuk anak. Hadits yang menyatakan bahwa anak yang hafal Al-Qur’an akan mempersembahkan mahkota cahaya di yaumil akhir nanti, juga tak mampu menggoda saya. Saya lebih ingin anak-anak saya menginternalisasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kepribadian mereka.

Namun waktu di tanah suci, saya begitu tergoda oleh para imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang begitu syahdu suaranya…..dan meraka adalah para hafidz ! Lalu saat saya membaca tafsir al-Qur’an yang membahas mengenai mukjizat, diuraikan disitu bahwa mukjizat itu, adalah sesuatu yang paling “mutakhir” di jaman itu. Nabi Musa, dikaruniai mukjizat Ular besar yang memakan ular kecil…karena saat itu, orang yang hebat adalah penyihir yang paling kuat. Nabi Shaleh, mukjizatnya adalah pahatan unta yang bisa hidup. Karena pada saat itu, teknologi pahatan menyerupai bentuk aslinya adalah teknologi yang paling mutakhir. Begitu juga nabi Isa dikaruniai mukjizat bisa menghidupkan yang mati, karena saat itu ilmu pengobatan di zamannya amatlah maju.

Lalu, apa mukjizat yang diturunkan Allah pada Nabi Muhammad dan umatnya, yaitu kita? AL-Qur’an !!!! Saya seakan tersentak….Al-Qur’an itu…..yang ada di setiap rumah kita, adalah mukjizat !!!! yang akan membuat kita memiliki seuatu yang paling mutakhir di zaman kita ini !!!

Sejak menghayati itu, saya bertekad bahwa saya, kami, harus mulai “menghidupkan” mukjizat itu dalam diri kami. Teknisnya, kami akan melakukan beragam cara untuk “mengeksplore” mukjizat itu. Membaca, menghafal, membaca tafsir, menumbuhkan ikatan emosional dengan ayat-ayat tertentu, dan akhirnya mengamalkan serta mengajarkan….

…………………………

Makanya hari Senin pagi itu, kami hadir di sekolah Azka dengan hati yang amat “bahagia”. Sejak dihadirkannya bintang tamu seorang putra ustadz, lulusan sekolah Azka yang dalam waktu 8 bulan hafal sisa 28 juz dan menjadi hafidz, saya sudah tak bisa menahan air mata. Ustadz ini, adalah pembimbing kami waktu ke tanah suci. Saya ingat beliau pernah cerita bahwa putranya ini, awalnya hobi banget main game-online. Lalu beliau berkata ” suatu hari saya tersadar harus melakukan sesuatu untuk anak ini. Masa anak ustadz hobinya nge-game … asa teu pantes nya” 😉 Dan beliau pun mendoakan dan mencarikan lembaga yang pas buat anak ini.

Duh, anak umur 15 tahun itu ya, begitu matang kepribadiannya…. banyak yang tak kuat menahan air mata saat ia menyampaikan kembali hadits : “Siapa yang membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ Dijawab, ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Qur’an.” (HR Abu Daud)

IMG_4193Tibalah saat Azka dan teman-teman naik panggung. Kesempatan menguji pertama….Gurunya menawarkan siapa orangtua yang mau mengambil kertas (berisi sepotong ayat) yang harus dilanjutkan anaknya. Seorang ibu ngacung. Saya gak kuat nangis saat anaknya ditanya sama pak guru…”siap nak?” lalu anak itu menjawab “siap ma, Allahu Akbar”…. si anak tadi lalu meneruskan ayat yang dibacakan ibunya…terus…dengan suara yang amat bergetar namun mengharukan.

Saya hampir-hampir mengurungkan niat untuk “ngacung” dan ngasih pertanyaan ke Azka. Tapi saya kuatkan…saya ngacung di kesempatan kedua, membacakan sepotong ayat yang ada di kertas yang terambil oleh saya….dan tak kuat menahan tangis saat Azka menjawab pertanyaan gurunya “Siap Azka?” …”Siap bu….allahu akbar”…itu suara Azka yang paling merdu yang saya dengar 10 tahun ini. Lalu Azka pun meneruskan potongan ayat yang saya bacakan…jujur saja saya tidak tahu benar atau tidak, karena ayat itu, surat itu tidak saya hafal. Setelahnya, pak Guru “mewawancarai” saya, bertanya mengenai perasaan saya…dan saya tidak bisa menjawab apa-apa…..

Ya, menghafal Al-Qur’an, bagi saya dulu sama saja dengan menghafal kosakata bahasa asing, menghafal rumus-rumus matematika-fisika, menghafal informasi-informasi lainnya. Saya memandangnya sebagai upaya menstimulasi otak dan daya pikir. Tapi sekarang, pandangan dan perasaan saya berbeda. Karena menghafal al-Qur’an, adalah sebagian upaya untuk mengenali dan mendapatkan mukjizatNya. Dan manfaatnya, tak hanya untuk dunia. Tapi juga untuk akhirat yang abadi.

besar & KECIL ; belajar dari DESPICABLE ME

mmmmhhhmmm… sudah lima tulisan mengantri manis di kepala. Menunggu giliran untuk diketik. Namun apa daya, tumpukan PR masih menggunung, dari kemaren baru berkurang dikiiiiit. Dan hasrat untuk menulis yang sudah menjerit keras harus belajar tunduk pada hasrat untuk mendisiplinkan diri menyelesaikan pekerjaan yang sudah tertunda lamaaaa. Mekanisme “self punishment” dan “self rewarding” ini sengaja di set-up biar everything goes well….segala kewajiban tetap terpenuhi secara seimbang…..

Kalau mau menyalahkan sih, ini karena saya ditakdirkan sebagai wanita. Jadi we harus pasrah saat mood dan semangat mengerjakan tugas terpengaruh oleh gejolak hormon-hormon, yang kali ini bergejolak lebih lama ;( . Dua hari ini,  hanya 10 % pekerjaan yang tergarap, teu nanaon lah slowly but slow juga…;( Saatnya memberi reward dengan mengetik satu tulisan….

Kemaren, saking tak semangatnya saya, akhirnya nemenin anak-anak nonton “Despicable Me”. Di rumah tentunya. Sambil nyalain laptop sih, dengan ditemani setumpuk kerjaan itu, yang tak tersentuh juga…..kekuatan si HARO begitu kuatnya (haroream kkkk…)

………………..

Terakhir saya dan anak-anak nonton bioskop adalah waktu film “Planes” diputar, bulan Agustus. Berarti 4 bulan lalu. Sekuel film Cars 1 dan 2 ini memang ditunggu sama anak-anak. Meskipun saya dan mas bukan sufi (suka film) dan tidak menjadikan “bioskop” sebagai tempat yang rutin dikunjungi, namun saya senang nonton bioskop. Dengan syarat sama anak-anak. Dan tentunya nonton film anak-anak. Kalau film orang dewasa? walaupun pengen banget nonton film-film bagus yang diputar di bioskop, kalau itu hanya bisa ditonton sama saya…..hasrat saya tak cukup kuat. Dan akhir-akhir ini, itu berlaku juga buat film anak-anak. Waktu “Monster University” tayang di bioskop, adaaaa aja alasannya yang bikin ga jadi. Alasan terakhir adalah….”mending uangnya ditabung”. Akhirnya, anak-anak pun sudah tau jawabannya : “nanti kalau cd udah keluar, kita tonton di rumah”.

Yups, akhirnya…tampaknya anak-anak memang lebih suka nonton di rumah; dengan segala keuntungannya : (1) suasana bioskop masih bisa terasa. Pasang sofa, lampu dimatiin, ibu nyiapin popcorn (2) bisa dengan beragam gaya. Bisa duduk, tiduran, selonjor, dan kalau ada adegan yang menakutkan, bisa di-pause dulu. Atau ada adegan lucu, bisa direwind (3) buat saya, selain lebih hemat dan bisa punya koleksi cd bagus untuk diputar lain kali, saya juga jadi leluasa untuk “menghayati” pesan moral yang ada di film tersebut dan “menginternalisasikannya” pada anak-anak.

Sebagai orang yang tidak kreatif, tak terkira kagumnya saya sama para pembuat film-film anak “bermutu” yang begitu keren menampilkan adegan aksi-nya, begitu menyentuh adegan emosinya (padahal itu kartun loooh…karakternya sebagian besar bukan manusia lagi…tapi bisa bikin nangis bombay….); dengan value-value yang amat mendalam. You name it ! Kungfu Panda, Finding Nemo, Tangled, Enchanted, Monster Inc, Monster University, Cars 1, Cars 2, Planes, Toy Story 1, Toy Story 2, Toy Story 3, The Incredibles, A Bugs Life, Despicable Me …..

Nah, yang mau saya ceritain  despicable meadalah adegan mengharukan dan penghayatan saya waktu nonton film “Despicable Me” ini. Ada satu adegan yang maknanya “dalem” banget….Yaitu waktu si Gru berhasil telah berhasil mengecilkan bulan yang akan dia curi, lalu di saat yang bersamaan, ia melihat tiket resital musik “tiga anak angkatnya”. Keren banget visualisasinya !!!!

Dua hal “diperbandingkan” secara visual dalam adegan itu; Satu hal BESAR, achievement yang selama ini ia nantikan, untuk membuktikan pada dunia bahwa ia HEBAT, terutama untuk membuktikan pada ibunya (ini juga keren penggambarannya, ibunya tak pernah mengapresiasi achievemennya, dari mulai achievement sederhana sampai achievement yang besar-pun). Satu lagi adalah hal KECIL, menghadiri resital musik anak-anak. Digambarkan pula betapa besar konflik yang ia rasakan saat itu.

Yups…konflik-konflik semacam itu, akan sering kita hadapi sebagai orang dewasa. Dan di usia menjelang 35 ini, saya semakin dihadapkan pada kesadaran dari konsekuensi pilihan itu. Bahwa dalam proses memilih itu, ada batasannya. Umur. Jadi, upaya memilih itu, harus lebih sungguh-sungguh kita hayati. Biar kita “gak salah kejar” dalam hidup ini. Karena seringkali, pilihan itu adalah 0-1. Saat kita memilih yang satu, berarti kita gak akan dapat yang satunya. Gak bisa dua-duanya kita dapet.

Saya sukaaaaa dan masih tetep suka sama konsep “memilih jalan hidup” dalam buku yang saya baca waktu masih lajang dulu … “first thing first”. Bahwa patokan yang harus kita pegang, bukanlah hanya jam. Bukan hanya: “umur segini harus udah mencapai ini, umur segini harus sudah jadi itu, umur segini harus udah bisa ini…”. Ada satu yang harus lebih dahulu kita pertimbangkan: kompas kehidupan kita. Apa arah akhir yang akan kita tuju? Jangan-jangan, setelah kita mencapai semuanya, dalam batas waktu yang sesuai dengan target kita, kita baru sadar bahwa…..kita berjalan ke arah yang salah. Katanya, kita tak boleh hanya jadi “manager” dari kehidupan kita, tapi harus jadi “leader”. Kan katanya “Managers do things right but leaders do the right things”.

Beberapa tahun terakhir ini, beberapa kenalan saya wafat. Ada yang sudah senior, ada yang masih muda. Beberapa kali saya mendapat kesempatan menengok dan mengetahui proses yang dialami kenalan yang terkena sakit sampai akhirnya wafat. Proses fisik, namun yang menarik perhatian saya adalah proses kecamuk psikologisnya. Saat kemampuan fisik kita menjadi terbatas, saat kita merasa waktu yang kita miliki sudah semakin sempit, pastilah saat itu….kita berpikir …. apakah saya sukses menjalani kehidupan saya? dan kesuksesan atau ketidaksuksesan itu, seringkali merupakan jawaban dari pertanyaan….”apakah saya melakukan hal yang benar yang harus saya lakukan dalam kehidupan ini?”

Saya yakin, seperti juga proses sakaratul maut, bagaimana hari-hari terakhir kita dalam kehidupan, adalah cerminan atau abstraksi dari proses kehidupan yang kita jalani. Apa yang kita kejar, apa yang kita pentingkan, akan kita petik buahnya di hari-hari akhir kehidupan kita. Dan saya melihat, bahwa “hal kecil” yang kita pilih, seringkali justru menjadi pilihan yang tepat yang akan kita petik buahnya di hari-hari akhir kehidupan kita.

Ikatan emosional dengan pasangan, kelekatan perasaan dengan anak-anak, hubungan erat dengan saudara….adalah “hal-hal KECIL” yang di akhir hidup kita, adalah hal yang paling kita butuhkan. Kenapa saya bilang “hal KECIL” karena dalam prosesnya, memang begitulah. Saya belajar banyak hal ini dari mas. Di akhir pekan, tak ada asisten yang membantu kami. Dan kami berdua, akan disibukkan dengan beragam hal “kecil”. Mas, yang Doktor itu, akan sibuk seharian memandikan Azzam dan Hana, mengganti baju Azzam berkali-kali karena ketumpahan makanan, nyebokin, nemenin Hana main plastisin atau mengecat, mengelap tumpahan di sana-sini, masakin telor kesukaan anak-anak, masakin nutrijel….membujuk Azzam yang ngamuk, nemenin main bola…. Padahal di saat yang sama, ada beragam hal “BESAR” yang bisa ia lakukan di luar sana. Konferensi ini, Workshop itu..dll…(saya tahu persis karena saya langsung akan pasang wajah “galak” saat mas buat acara di weekend). Setiap weekend, saya bayangkan mas seperti si Gru….ia harus memilih antara bulan yang akan ia curi, yang bisa membuktikan kehebatannya, atau memilih tiket resital musik anak-anak.

Hal-hal KECIL yang “dipilih” untuk dilakukan oleh Mas, buahnya tak perlu menunggu sampai akhir hidupnya. Setiap hari, saat membuka mata, kalimat yang diucapkan anak-anak adalah “abah mana?” si bungsu Azzam bahkan langsung teriak “Abaaaah…” kalau tak melihat abahnya di kasur. Juga teriakan ceria dan binar bahagia anak-anak waktu abahnya datang dari luar kota.

Mungkin itu sebabnya ya, di awal tahun ini, resolusi saya tak ada yang “BESAR”. Resolusi saya adalah, melakukan hal-hal “KECIL” rutinitas saya, dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Mengajar, membimbing mahasiswa, praktek, menemani anak-anak jalan-jalan setiap weekend, menanggapi curhatan Kaka Azka, menemani Hana mencari buku-buku yang dia lagi suka banget, mendampingi prose “keakuan” Azzam, mendampingi mas….

Saya memilih melakukan hal-hal KECIL yang membuat saya tak akan menyesal andaipun waktu hidup saya harus berakhir.