Golongan Kiri, Golongan Kanan, Golongan VIP …..

Dulu, saya tahunya cuman, bahwa di hari akhir nanti, kita akan terbagi menjadi dua golongan : golongan kiri dan golongan kanan. Golongan kiri adalah golongan orang-orang yang menghabiskan waktunya di dunia dengan keburukan, atau lebih banyak keburukan daripada kebaikan. Mereka akan mendapatkan buah perilakunya berupa kesakitan yang abadi di akhirat nanti. Golongan kanan adalah golongan orang-orang yang menghabiskan waktunya di dunia dengan kebaikan. Mereka akan mendapatkan “reward” berupa kesenangan yang abadi di akhirat nanti.

Pastinya, seluruh orang di dunia ini menginginkan dirinya termasuk ke golongan kanan kelak.

al lubabSampai dalam sebuah kesempatan saya membaca surat Al-Waqiah, surat ke 56, dan tafsirnya (Tafsir Al Lubab, Karya Quraish Shihab). Surat yang artinya Peristiwa Dahsyat (Kiamat) ini di ayat ketujuh mengatakan bahwa : manusia akan terbagi menjadi tiga golongan. Ayat ke-8 menyebut golongan kanan dengan kalimat: “alangkah mulianya golongan kanan itu”. Sedangkan ayat selanjutnya menyebut golongan kiri dengan kalimat: “alangkah sengsaranya golongan kiri itu”. Ayat ke-10 menggambarkan golongan ke-3: “golongan ketiga adalah as-sabiqun, yaitu orang-orang yang mendahului sejawat mereka yang mukmin, dalam segala bidang kebajikan”

Pak Quraish Shihab menyebut golongan ketiga ini sebagai kelompok “elit”, saya menamai kelompok ketiga ini sebagai kelompok “VIP”

Apa sih gunanya mengetahui hal ini? Rasanya ini hanya “teori” saja.Bukan informasi yang “luar biasa”.

Menurut saya, informasi ini cukup “menggerakkan”. Kenapa? ini terkait dengan “standar” yang akan kita tetapkan untuk diri kita. Apa maksudnya standar? Standar adalah acuan. Dalam hal ini, acuan dalam melakukan kebaikan.

Menurut penghayatan saya, seharusnya kita tak main-main dengan “standar” ini. Standar yang kita set dalam pikiran dan hati kita, akan menentukan bagaimana kita berperilaku. Setiap kita, tanpa kita sadari selalu “starting from the end”. “The end” itulah standar yang kita tetapkan. Kalau standar yang kita tetapkan rendah, maka perilaku kita akan seperti itu. Berbeda kalau kita tetapkan standar tinggi, maka perilaku kita pun akan berbeda.

Dalam statistika, ada namanya “norma kelompok” atau “norm referenced” dimana kita menjadikan perilaku kelompok dimana kita berada, sebagai acuan untuk menilai posisi kita. Misalnya, kalau teman-teman kita adalah orang-orang yang tak pernah sholat, maka kita yang sholat dhuhur dilakukan menjelang ashar dan ashar menjelang maghrib, tetap merasa “baik”. Kalau kita berada diantara orang-orang yang biasa korupsi, maka sekali-kali korupsi membuat kita tetap merasa “sholeh”. Kalau orang-orang yang kita kenal menghabiskan menonton TV 10 jam, maka kita yang “hanya” 5 jam menjadi terasa benar.  Sebaliknya, walaupun kita selalu berusaha sholat tepat waktu, kalau sekeliling kita adalah orang-orang yang tak luput sholat sunnah, kita akan merasa “belum baik”. Kita yang menolong jika diminta, akan merasa “bukan apa-apa” jika teman-teman kita termasuk orang yang “menolong tanpa diminta”.

Standar yang kedua, adalah “criterion referenced”, yaitu standar berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Dalam berperilaku, tentunya kriteria yang ditetapkan Allah. Nah, apa yang diungkap di surat Al Waqiah ini, berfungsi sebagai “criterion referenced”. Akan beda perilaku kita ketika mengetahui bahwa nilai tertinggi yang bisa kita capai adalah 100, dengan jika mengetahui bahwa nilai tertingginya hanya 80. Penilaian terhadap “posisi” kita akan berbeda.

Jadi, ternyata tak cukup kita hanya menjadi “baik”. Namun kita harus mencapai yang lebih tinggi, yaitu yang “mendahului” dalam kebaikan. Kita harus berlomba ! menjadi yang terdahulu, menjadi yang mencapai standar terbaik!. Memberi maaf orang yang bersalah pada kita adalah baik. Tapi ada standar yang lebih tinggi ! memberi maaf orang yang tak meminta maaf kepada kita. Memberi bantuan itu baik, tapi menawarkan bantuan sebelum orang lain meminta, itu yang dimaksud “as-sabiquun”, yaitu kelompok elite/VIP ! Bershadaqah saat kita lapang, itu biasa. Bershadaqah saat kita sempit, itu baik. Bersadaqah saat kita butuh , itu baru VIP…..

Saya jadi paham “perilaku” Rasul dan para sahabat yang sebelum ini, tak begitu terhayati. Saya jadi menghayati kenapa Rasul dan para sahabat menahan lapar yang sangat, dan malah memberikan sedikit makanan yang mereka punya untuk orang lain. Saya bisa menghayati kenapa Rasul dan para sahabat membalas perilaku orang-orang yang melakukan keburukan pada mereka dengan kebaikan….Saya paham sekarang…it make sense….Dan saya menjadi lebih bisa menjelaskannya pada anak-anak.

Menurut saya, surat ini memberikan kita LEVEL ASPIRASI yang amat memotivasi. Dan ini yang perlu kita tanamkan pada diri kita, pada diri anak-anak kita. Anak-anak kita, harus hidup dengan value ini. Mereka harus menjalani hidup dengan level aspirasi yang tinggi dalam hal berbuat kebaikan.

Mmmmhhhh….ternyata saya kekurangan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin saya ungkapkan. Saya hanya ingin tidak lupa, untuk selalu mencari standar kebaikan tertinggi yang bisa kita capai. Baik standar yang ada di luar diri kita, maupun standar yang kita tetapkan dalam diri kita.

Robbana laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitana wa hablanaa milladunka rohmah, innaka antal wahab.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk,
dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-MU, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.

Who Is Our Children’s True Love?

Ini adalah malam ketiga saya begadang. Bukan nyiapin materi kuliah. Bukan periksa tugas mahasiswa. Bukan juga bikin laporan penelitian, atau ngerjain projek evaluasian. Saya begadang karena si bungsu dan si pangais bungsu, Azzam dan Hana sedang sakit. Sakit apa? standar sebenarnya. Batuk, pilek, panas. Cuman entah mengapa, mungkin saking eratnya ikatan emosional antara mereka berdua, maka kalau sakit mereka selalu kompak. Bersama.

Daaan….semua ibu tahu. Kalau anaknya sakit, maka ….. selucu, seanteng, se”baik” apapun anaknya, berubah 180 derajat menjadi amat sangat rewel. Azzam sudah pasti pengen dipangku terus. Hana, tiap 15 menit sekali bangun. Nangis. Minta minum, mau susu, daaan…mau dipeluk. Hana pengen ibu memeluk dia sambil batuk-batuk, sedangkan Azzam langsung terbangun dan rewel kalau mendengar suara batuknya Hana. Pusing bukan? Untunglah malam ini ada si abah. Dua malam kemarin, teler sendirian…. Ini punggung udah mulai cenut-cenut gara-gara si ndut Azzam pengen digendong terus dengan posisi sama, di bahu sebelah kiri. Dua bulan lalu, akibat Azzam sakit seminggu, bahu dan punggung saya sakiiit banget selama sebulan…Alhamdulillah malam ini mereka bisa tidur agak pulas. Panasnya udah stabil turun. Cuman daripada tidur lalu kebangun lalu tidur gak jelas yang bikin pusing, saya putuskan untuk terus terbangun dan mengerjakan ini-itu aja.

Tapi deng, sebenernya ada atau gak ada si abah kalau anak-anak lagi sakit, gak ngaruh. Kenapa? karena….kalau anak-anak lagi sakit, abahnya jadi “gak laku”. Padahal saya berharap Hana dan Azzam ini berbeda. Maklum, kedua anak ini entah dijampe-in apa ama abahnya, dekeeet banget sama abahnya. Hana itu, kalau udah sore pasti nanya…”abah pulang gak?” kalau saya jawab “engga”. Langsung deh dia berkaca-kaca dan bilang…”kangen abah”. Si  bungsu Azzam, kini semakin sering berhasil dalam melakukan trial-error menelpon si abah. Dia bisa menelpon abahnya bermenit-menit, gak peduli abahnya lagi meeting penting. Dan kalau si abah ada di rumah, kalimat favorit Azzam adalah “sama abah aja”. Mandi, makan, pake baju, pipis, semuanya mau dengan syarat: “sama abah aja”.

Jadi…kalaupun si abah ada saat anak-anak sakit, fungsinya lebih sebagai “asisten”…bikinin susu, ambilin air minum, dan….menjadi “emotional support” buat sayah…hehe…Soalnya, walaupun si abah sepenuh hati berniat gantian mangku Azzam, jangankan mangku…abah tidur di kasur yang sama aja, Azzam langsung usir “abah sana!”.

Mmmhhh…jadi inget curhatan adik saya….dia curhat: “kenapa sih teh, kalau lagi hepi, lagi goodmood, sama abinya….aja. Eeeh…pas lagi rewel, ngantuk, sakit, bagian uminya deh”… Waktu itu saya jawab ngasal sambil nyengir: “ya bagus atuh, berarti dalam situasi gak enak dia lebih nyaman sama uminya. Berarti Uminya bisa membuat dia nyaman..bagus itu”…

Eh, setelah saya baca buku tentang attachment, ternyata jawaban ngasal saya itu didukung oleh teori…..(haha….sombong euy….). Jadi, dinyatakan kurang lebih begini: “bahwa salah satu indikator seseorang itu menjadi figur attachment buat anak, adalah jika figur itu yang dicari anak saat ia merasakan emosi negatif. Kenapa? karena ikatan emosinal yang kuat dengan figur itu akan membuat anak merasa aman dan nyaman”. Ya, ya, ya…kita memang bisa berbagi suka dengan banyak orang, namun untuk berbagi duka? pasti hanya dengan orang-orang tertentu bukan?

Saya jadi inget. Dulu, watrue lovektu zaman Umar kecil, saya sering bertanya-tanya…siapa sih figur “primary attachmentnya” Umar. Apakah saya? atau bukan? Keraguan dan kecemasan  itu muncul karena Umar tampaknya “tidak membutuhkan saya”. Sehari-harinya, karena Azka lebih “nempel” pada saya, maka Umarlah yang “dikorbankan” beraktivitas bersama teh Ema, pengasuhnya. Apalagi saat itu juga saya mulai “serius” menjadi working woman. Sampai suatu saat Umar sakit, dan dia tak mau disentuh siapapun kecuali saya. Horeeee….waktu itu saya merasa “menang” melawan teh Ema…You can have Umar’s body, but his heart is mine…gitu lah kurang lebih perasaan sayah. Haha….lebay banget ya?

Jadi…sepadan lah….pusing kepala yang dialami sebagai akibat tiga malam begadang, cenut- cenut di punggung, tumpukan PR yang harus diselesaikan, jadwal-jadwal dan acara yang terpaksa dicancel….dengan mendapatkan kepastian bahwa…saya adalah “cinta sejati” anak-anak sayah….cihuy….haha….

sumber gambar : http://www.okiraa.com/HDwallpapers/768×885/true-love-quotes-wallpaper-63164.html

Kuadran Eksistensi VS Esensi Dalam Beragama

Ada beragam sikap kita dalam beragama. Bahkan, dalam diri seseorang pun sikapnya tidak selalu tetap dari waktu ke waktu, seiring dengan naik-turun kadar keimanannya. Secara sangat sederhana, saya membagi sikap-sikap beragama itu menjadi 3 kelompok, yang merupakan kombinasi dari dua aspek: esensi dan eksistensi.

Menurut http://kbbi.web.id/; Arti Esensi digambarkan sebagai berikut: esensi /esen·si/ /ésénsi/ n hakikat; inti; hal yg pokok. Sedangkan gambaran arti eksistensi adalah: eksistensi /ek·sis·ten·si/ /éksisténsi/ n hal berada; keberadaan. Dalam konteks tulisan ini, yang saya maksudkan esensi adalah  “makna” dari ajaran agama; sedangkan eksistensi adalah simbol dan ritual keagamaan.

Baiklah, mari kita bahas satu demi satu, tiga  kelompok dari keempat kuadran tadi.

Ada kelompok yang tak peduli eksistensi apalagi esensi beragama. Kita tak akan membaas terlalu dalam kelompok ini, karena perilaku mereka jelas sekali. Menggunakan “nilai universal” maupun nilai keagamaan, kita tak menyukai orang-orang dari kelompok ini. Kalau mereka muslim, mereka tak sholat. Apalagi berbuat baik. Mereka tak puasa, dan merasa tak perlu menahan hawa nafsunya dari berbuat apapun yang mereka mau.

Kelompok kedua adalah kelompok yang hanya mementingkan salah satu : atau esensi, atau eksistensi dalam beragama. Mengikuti hukum kurva normal, kelompok ini paling banyak anggotanya. Mari kita bahas.

Kelompok 2a. Adalah kelompok yang mementingkan esensi tapi tak mempedulikan eksistensi dalam beragama. Mereka adalah kelompok orang-orang yang “baik” dilihat dari kacamata “kebaikan universal”. Mereka suka membantu, peduli sesama, bertoleransi, tak pernah mencontek apalagi korupsi, namun,,,mereka merasa tak perlu sholat, apalagi haji.  Tak perlu berjilbab karena yang penting adalah “jilbab hati”. Mereka juga menganggap agama itu bukanlah sekat yang membedakan. Maka, tak masalah menikah antar agama. Bahkan dalam tataran yang lebih ekstrim, mereka menganggap bahwa semua agama itu sama.

Kelompokk 2b, adalah sebaliknya. Mereka mementingkan eksistensi dan tak peduli esensi dari ritual yang mereka jalankan. Banyak sekali kita lihat fenomena ini akhir-akhir-akhir ini. Ustadz yang tak mampu menahan hawa nafsu, Haji yang korupsi, Hijabers yang yang tak pantang mencaci-maki, “Sinetron religi” yang sama persis dengan sinetron non-religi; hanya kostum pemainnya saja yang berbeda….. atau kelompok-kelompok eksklusif ritual agama yang menuliskan dalam status-status medsosnya: “alhamdulillah…sudah tamat 2 juz….alhamdulillah….nikmat sekali tahajjud ini”

Dan kelompok ketiga, tentunya adalah kelompok yang memahami bahwa setiap ritual agama, adalah media untuk menumbuhsuburkan “kebaikan universal” dalam diri kita dalam menjalani kehidupan dunia. Plus, media untuk membuat kita selamat dalam menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka yang di kelompok ini, akan menjaga sholatnya. Karena ia yakin, bahwa segala sesuatu itu, ada “protokol”nya. Tidak bisa kita mengatakan “yang penting dalam hati saya menghargai” dan datang ke undangan dengan memakai hanya kaos dalam dan celana pendek. Ia paham, bahwa esensi yang ia pahami, harus diwujudkan dalam bentuk “eksistensi” yang telah diatur oleh ajaran agamanya. Wanita-wanita di kelompok ini, akan berhijab dan menyadari betul, bahwa hijab ini adalah upaya untuk menjaga dirinya agar bisa menjadi lebih baik, sebab pakaiannya kini menjadi simbol dari ajaran agamanya, yang dari perilakunya lah orang akan menyimpulkan ajaran agamanya.

…………………………….

Sebagai “pengamat sosial kelas RT”, saya melihat bahwa tanpa kita sadari, banyak orang yang menempatkan dirinya di  posisi kelompok 2a, sebagai rekasi terhadap sikap-sikap orang-orang di kelompok 2b. Ya, ya, ya…saya memahaminya. Saya bisa memahami logika “buat apa haji ….yang penting berbuat baik, nolong orang…esensinya haji kan kepedulian sosial”. Saya juga bisa memahami logika ” mendingan kita, gak ngaji tapi gak nyalah-nyalain orang lain dan merasa diri sendiri benar”. Ya, saya paham.

Dan sebenarnya, mau berada di kelompok mana kita, adalah hak asasi kita. Pengelompokan ini juga bukan saya tujukan untuk menjudge orang lain, tapi untuk berefleksi….dimana saya berada. Hanya saja, menurut saya…. meskipun pemikiran kelompok 2a itu “logis”, ada pilihan yang jauh lebih baik.

kuadran beragamaKita bisa memilih menjadi peduli, tetap menolong orang-orang di sekitar kita tanpa harus meninggalkan kewajiban berhaji. Betul, banyak ustadz-ustadz yang sikapnya gak sesuai dengan hati nurani kita. Tapi, harusnya itu tak menyurutkan semangat kita untuk mengaji. Tetaplah mengaji….masih banyak ustadz-ustadz yang kata dan perilakunya sama-sama baik….Style berhijab yang sudah lupa pada tujuan awalnya menjaga diri, seharusnya juga tak membuat kita goyah untuk tetap menutup aurat dengan syar’i….Perilaku “narsis” dalam beritual juga harusnya membuat kita tak bergeming,  tetap banyak membaca al-qur’an, istiqomah tahajjud tanpa harus menggembar-gemborkannya.

Ya, ya, saya paham….kuatnya seretan arus sosial kini, seringkali membuat kita berlogika sendiri. Rasanya benar. Namun kita harus ingat, bahwa syetan itu punya seribu satu cara untuk memperluas jaringan pertemanannya. Ia bisa menjelma menjadi apa saja. Bahkan, menjelma menjadi pemikiran yang baik, atau menjadi wujud yang baik.

Semoga kita selalu tak pernah tercerabut, untuk bisa memahami esensi dari ritua-ritual agama yang kita jalankan. Semoga diberi kekuatan untuk menjalankannya, diberi kejernihan hati untuk menghayatinya, dan diberi kelembutan hati untuk membentenginya dari kontaminasi ujub dan riya.

sumber gambar : http://s678.photobucket.com/user/soccerchicca/media/Quotes%20and%20Sayings/life-choices-quotes-004.jpg.html

Tiga Puluh Lima : Remaja Tahap Kedua

14 tahun-an yang lalu, saat saya berada di tingkat terakhir kuliah, sebagai mahasiswa Psikologi, seriiing banget diminta mengisi materi mengenai “citra diri”. Baik itu di kalangan remaja maupun di kalangan mahasiswa. Waktu itu sih, pede ajah dan so iye hehe….

Lamaaaa saya tak pernah membaca maupun menghayati mengenai “citra diri” ini. Saya pikir, karena “pencarian jati diri” dan “penghayatan citra diri” ini adalah tugas perkembangan remaja, maka issue-nya selesai saat seseorang, termasuk saya masuk ke tahap perkembangan dewasa.

Namun dalam sebuah perjalanan beberapa waktu  lalu,  issue “citra diri” ini saya hayati kembali, di usia kepala tiga ini. Mmmhhh…sebenarnya apa yang wara-wiri dan saya hayati dalam perjalanan itu, belum bisa saya ungkapkan dengan baik dalam bentuk kata-kata. Namun saya ingin mencobanya……

Kalau ditanya pada saya, siapa saya? saya akan menjawab saya adalah seorang ibu, seorang istri, seorang anak, seorang dosen, seorang psikolog, seorang kakak, seorang menantu, seorang muslimah, ….. dan beberapa “identitas lain” yang menyangkut diri saya. Saya rasa itu sudah cukup.

Namun ternyata, dalam “perjalanan” itu ada pertanyaan lain yang muncul dari relung hati saya. “Benarkah identitasmu seperti itu?” …. Ada pertanyaan lanjutan: “Apa bukti bahwa identitas dirimu, jati dirimu adalah seperti yang kamu sebutkan tadi?” dan pertanyaan terakhir meminta saya untuk “mengurutkan prioritas identitas diri saya”

who am iTiga pertanyaan itu, berusaha keras saya jawab. Tentu melalui percakapan dalam batin saya. Percakapan panjang itu, bermuara pada sebuah kesimpulan…bahwa jawaban saya terhadap pertanyaan “siapa diri saya” itu, adalah peran sosial yang saya sandang. “pemahaman”. Bukan “penghayatan”. Bisa jadi semu. Tetapi, jati diri saya yang hakiki, ditentukan oleh seberapa besar penghayatan saya pada peran itu, yang ditunjukkan oleh seberapa besar upaya saya untuk melakukan peran itu.

Mulailah saya mengevaluasi satu demi satu apa yang saya “akui” sebagai jati diri saya. Seorang ibu. Benarkah saya menghayati bahwa saya seorang ibu? apa buktinya? upaya-upaya apa yang saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya menghayati betul jatidiri saya sebagai seorang ibu. Seorang istri? benarkah saya melakukan upaya sungguh-sungguh untuk menunjukkan jatidiri sebagai seorang istri? Seorang anak? seorang dosen? ….. seorang muslimah? seberapa besar upaya saya untuk mencari ilmunya? seberapa banyak ilmu yang saya miliki, dan seberapa keras upaya saya untuk menunjukkan identitas itu ?

Dari proses evaluasi itu, tahulah saya bahwa ternyata….tak semua peran sosial, tak semua hal yang saya “akui” sebagai “jatidiri” saya itu, saya hayati. Aduuuuh….beneran pengen nangis deh….Saya takuuut banget menjadi seseorang yang menyandang beragam identitas jatidiri, namun secara hakiki, secara esensi, tak menghayati semua peran itu…sehingga peran-peran itu tak termaknai, tak meninggalkan jejak berarti, yang artinya, sebenarnya saya bukan siapa-siapa. Secara hakiki.

Lalu sampailah saya pada pertanyaan ketiga …. Banyak hal dari “perjalanan” itu, yang “mempertanyakan prioritas jatidiri” saya. Ya, ya….kita punya banyak peran. Namun secara tak sadar, kita membuat “prioritas atau urutan”. Penghayatan terhadap masing-masing peran intensitasnya akan berbeda dan akan terlihat jelas dari tindakan-tindakan dan pilihan-pilihan kita. Dan dalam proses menyusun prioritas “jati diri” itulah saya menemukan satu “rumus”, untuk “memetakan” jatidiri mana yang seharusnya saya utamakan. Rumus itu adalah…mengurutkan berdasarkan “rentang waktu penyandangan” identitas itu.

Jatidiri mana yang akan berakhir di usia tertentu? Jatidiri mana yang akan selesai saat ruh dan jasad saya berpisah nantinya? jatidiri mana yang akan terhenti saat secara fisik saya terpisah dari orang-orang yang ada di hati saya? dan…jatidiri mana yang tetap akan melekat dalam diri saya, selamanya….sampai alam barzakh…sampai hari perhitungan….sampai hari akhir… selamanya…..

Dan..tercekatlah saya…menghayati bahwa ternyata, selama ini saya salah menempatkan prioritas urutan jatidiri. Saya seperti menemukan kompas yang menunjukkan bahwa apa yang saya jalani selama ini, bergeser dari arah yang seharusnya saya tuju. Ya, “perjalanan” itu, walaupun singkat, namun dalam prosesnya mewakili tahun-tahun saat saya mengalami pergolakan “pencarian jatidiri” di masa remaja belasan tahun lalu.

Sepulangnya dari “perjalanan” itu, beberapa teman bertanya, apakah ada yang berubah dalam diri saya? Saya jawab…”ya, ada yang berubah. jatidiri saya”

Jujur, tak semua tgl 21 Februari terasa istimewa. Dan 21 februari hari ini adalah salah satu yang istimewa. Karena saat ini, saya menghayati betul  “siapa saya”, “ingin jadi apa saya”…..sehingga saya menjadi yakin….waktu luang saya, harus saya alokasikan untuk apa. Energi yang saya punya, harus saya arahkan kemana. Saya tahu betul, apa “perbedaan saya” dengan orang lain.

Semoga Allah selalu memberikan tuntutan dan kekuatan serta petunjuk agar saya selalu bisa menemukan moment untuk melihat kembali “kompas jatidiri” yang bisa membuat saya menjadi baik, bahagia dan selamat…

Jangan Jadi Generasi Emoticon ;)

Beberapa  waktu yang lalu saya membantu menjadi juri dalam sebuah lomba menulis esai. Lomba tersebut diadakan oleh BEM salah satu fakultas Psikologi. Pesertanya adalah mahasiswa S1 Psikologi dari seluruh Indonesia. Para peserta diminta menulis esai mengenai satu fenomena masalah di Indonesia dan mengajukan gagasan menggunakan sudut pandang psikologi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Sebenarnya saat sekilas melihat publikasi lomba tersebut, saya senang sekali. Jadi ketika beberapa minggu kemudian panitia menghubungi  dan  meminta saya menjadi salah seorang juri, tanpa pikir panjang saya menyanggupinya. Saya benar-benar excited ingin mengetahui bagaimana para mahasiswa menelisik persoalan bangsa, dan juga ingin tahu bagaimana kemampuan menulis mahasiswa.

Dari sekian puluh naskah esai yang masuk, langkah pertama yang saya lakukan adalah memilah naskah-naskah itu menjadi tiga kelompok; (1) kelompok yang bagus (2) kelompok yang gak bagus (3) kelompok yang gak masuk di kedua kelompok sebelumnya. Pemisahan itu saya lakukan “by feeling” setelah sekilas membaca setiap naskah. Langkah selanjutnya adalah, saya mencermati secara lebih detil setiap naskah esai dan melakukan penilaian berupa skor berdasarkan kriteria-kriteria yang diberikan panitia.

Hasilnya, dua langkah yang saya lakukan itu berujung pada hasil yang sama. Ada 4 esai yang saya masukkan ke kategori “bagus” di tahap awal, memang setelah menggunakan kriteria objektif pun bagus. Dan rupanya, 2 juri lainnya juga menilai sama. Buktinya, tiga dari empat esai yang saya pilih dan beri nilai tinggi tersebut setelah nilainya direkap, menjadi juara 1, 2 dan 3. Tampaknya kalau ada juara ke4, satu esai yang tersisa juga akan menjadi juara ke4 hehe….

Ada hal yang menarik saat kembali, saya membaca ketiga esai yang dinobatkan menjadi juara 1,2 dan 3. Apakah itu? ide mereka sederhana, bahkan sangat sederhana. Padahal banyak diantara esai itu yang menggagas ide-ide yang “wah”, dengan menggunakan teori yang bikin saya terkaget-kaget; “anak S1 hebat banget udah ngerti teori ini..”. Ketiga esai yang menjadi pemenang itu, gagasannya sederhana, teori yang digunakannya pun “sederhana”.

Lalu, apa yang membuat mereka istimewa? Ada tiga hal. (1) Kedalaman pemahaman mengenai fenomena. Fenomena yang “biasa”, bisa mereka angkat menjadi sesuatu yang penting dan menarik. (2) Ketajaman membesut atau menelaah fenomena menggunakan teori psikologi yang pas, sampai ke pengaplikasiannya. (3) Kekuatan argumentasi mengapa fenomena yang diangkat bisa “diselesaikan” menggunakan kerangka pikir ynag mereka pilih.

Jujur saja, saya banggaaaa… sekali pada para mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini, terlebih pada empat mahasiswa yang bisa menuangkan gagasannya dengan baik. Kenapa? karena buat kami para dosen, dalam proses pembimbingan tugas akhir baik itu skripsi, tesis, penulisan laporan kepribadian, maupun saat mahasiswa mengikuti ajang lomba-lomba penelitian, porsi terbesar yang harus kami bimbing adalah bagaimana mahasiswa bisa menuangkan gagasannya dengan runtut, jelas dan mudah dipahami. Bahkan, untuk kami sendiri pun, tak ada yang lebih sulit selain membuat 12 lembar makalah ilmiah. Untuk saya pribadi pun, meskipun beberapa kali telah mengikuti kelas “academic writing” baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tetap saja harus menarik nafas dalam-dalam dan merasa “it’s a big project” saat harus menulis tulisan ilmiah.

Konon katanya, kemampuan berbahasa ini memang punya korelasi tertinggi dengan kecerdasan seseorang. Memang, ada “kecerdasan” lain yaitu “kecerdasan” non verbal. Namun, mengingat “bahasa” adalah satu kemampuan yang hanya Allah anugerahkan pada manusia, maka saya menghayati….memang seharusnya, kita mengasah kemampuan ini.

emoticonDan sayangnya, budaya menuturkan gagasan dalam bentuk bahasa tampaknya kini semakin memudar. Dulu, waktu saya SMP atau SMA, setiap ada teman yang berulang tahun masing-masing kami selalu berusaha merangkai kata-kata untuk mengungkapkan doa dan harapan kami. Sekarang? setiap kali tgl 21 Februari, saya sering terima sms dari teman-teman saya berisi 8 huruf: “HBD WUATB” … atau kalau ada yang sakit, kalau dulu biasanya mengucap kalimat yang panjang, kini banyak yang cukup mengirim kata “GWS ya…”. Apalagi saat demam “wa” (whats app) melanda, huruf-huruf itu pun berganti menjadi emoticon. Pas saya ultah, yang saya terima adalah gambar kue ulang tahun plus gambar kado. Bahkan dulu pernah “trend” kuis-kuis di wa grup untuk nebak judul lagu, judul film, nama nabi, nama malaikat dll dengan serentet gambar.

Di satu sisi, bagus siiih…kemampuan abstraksi non verbalnya terasah. Cuman di satu sisi, itu tadi…kita semakin kehilangan kata untuk mengungkapkan pikiran dan terutama perasaan kita. Para pasangan mungkin menjadi kesulitan untuk menungkapkan perasaan cinta mereka yang dalam, atau “ganjalan2” yang ada di hati mereka, karena mereka terbiasa mengirim bbm atau wa dengan emoticon “bighug” atau “love”, atau “wajah marah” ataupun “tepok jidat”… padahal, kemampuan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan ini menjadi faktor kunci suksesnya “kerjasama” membina rumahtangga.

Jujur saja, saya prihatin dengan situasi ini. Di sekolah pun, aktivitas “mengarang” rasanya kini sudah semakin minim dilakukan oleh anak-anak kita.  Menurut saya, menulis atau mengungkapkan gagasan, pikiran dan perasaan jadi cara jitu untuk menyehatkan pikir dan rasa.

Menyehatkan pikir? kalau terbiasa menulis, kita akan terbiasa berpikir logis. Buat apa kemampuan berpikir logis? Hey….lihatlah di jaman ini…berita ini itu berseliweran. Tak bisa dibendung lagi, bagai air bah. Kalau kita tak punya dasar kemampuan berpikir logis, akan mudaaaaaaah sekali kita terpengaruh oleh berita, informasi yang “menyesatkan”. Apalagi kini banyak sekali “kebencian” yang dibungkus dengan “rasa agama”. Makanya saya suka merasa gimanaaaaa gituh …… kurang “sreg” dengan kebiasaan meng klik tombol “share” beberapa teman, yang gak “mengolah” dulu keruntutan berita itu. Kemampuan berpikir logis pun akan mengasah kita untuk memahami persoalan secara “radikal” dari esensinya. Maka, kita tak akan mudah terbawa emosi dan tersulut oleh kata-kata “dramatis” yang sekarang sering digunakan orang untuk menggiring opini publik.

Menyehatkan rasa? Sudah bukan rahasia  lagi kalau menulis, menuangkan perasaan dalam bentuk kalimat-kalimat, bisa menjadi POISON PEN THERAPY. Lewat “goresan pena” atau “ketikan keyboard”, kita bisa mengeluarkan segala perasaan kita, terutama perasaan negatif. Ia akan menjadi “jendela” dari kekesalan, kemarahan, kekecewaan kita pada siapapun, pada apapun. Karena kan, katanya dalam dunia psikologi, berlaku pula hukum kekekalan energi. Energi itu tak akan hilang, hanya bisa berganti bentuk. Kemarahan, kekecewaaan, kekesalan tak akan hilang begitu saja. Bisa kita salurkan lewat teriakan pada anak-anak kita, tekanan-tekanan kita pada tombol klakson saat di jalan, sumpah serapah kita pada pengguna kendaraan yang “mengusik” kita, pada ocehan-ocehan di twitter….atau…lewat goresan tulisan kita di diary…tinggal kita pilih.

Maka, saya selalu mendorong siapapun untuk menulis. Mahasiswa, emak-emak, anak-anak…..Siapapun. Tak harus menulis logis. Tulis saja apa yang kita rasakan. Apa yang kita lihat, apa yang wara-wiri di pikiran kita. Nanti kita akan merasa bahwa vocabulary kita tidak memadai untuk mewakili pikiran dan perasaan kita. Itu akan mendorong kita untuk banyak membaca. Gak usah membaca yang serius-serius. baca novel, komik….Tak harus juga berorientasi untuk dimuat di koran, diterbitkan jadi buku….menulis saja lah…biar pikir dan rasa kita menjadi lebih “sehat”.

Karena tak ingin anak-anak saya menjadi “generasi emoticon”, maka saya senaaaang sekali “menyuplai” buku diary lutu-lutu buat Azka. Di usia 10 tahun ini, dia sudah menghabiskan 3 diary tebal. Untuk Umar dan Hana, saya berusaha untuk selalu mengajak ngobrol …. Saya lebih senang tiga anak itu rebutan untuk “cerita” ke saya, daripada nanti mereka hanya mengirimkan pesan-pesan emoticon buat saya 😉

Mengintip “tema hidup” si Pre-Adolescent

Saya menghargai, memahami dan menghayati alasan teman-teman yang berpendapat bahwa “tidak bijak memberikan hape dan mengenalkan media sosial pada anak”. Tapi saya tetap merasa nyaman dengan pilihan saya memberikan hape pada Azka, saat ia naik ke kelas 5 lalu, sebagai hadiah karena prestasi akademiknya yang baik.

Salah satu alasannya adalah karena saya, ingin “menyelami” dunia-nya. Sebagai ibu 4 anak, dua telah melawati masa balita dan dua di masa balita, saya merasa memang hukum “practice make perfect” berlaku sekali. Sekarang ini, mengalami “perilaku sulit’ Azzam, di usia menjelang 2 tahun, saya sudah “ahli” haha…baik secara emosi, pengetahuan maupun keterampilan menghadapinya. Tapi menjadi ibu dari seorang remaja? I’m a new comer. Dan….perubahan sosial yang amat masif serta sangat kontekstual, membuat saya tak lagi bisa “mengandalkan” referensi-referensi luar negeri.

Sebagai ibu bekerja, saya juga tak bisa selalu mendampingi aktivitas Azka. Maka, dari aktivitas hape-nya lah saya bisa mengetahui dan memahami “dunia”nya. Setiap pagi setelah Azka pergi sekolah, saya biasa melihat-lihat aktifitas hapenya. wa-wa dengan teman-temannya, termasuk mengamati “posisi sosialnya”nya diantara teman-temannya, lewat percakapan di wa grup angkatannya.

Hasilnya… ada yang membuat saya terkaget-kaget, ada yang membuat senang, bangga, haru….dan saya jadi tahu apa sih “tema hidup” si anak pre-adolescent teh….Berikut “temuan” sayah:

  • Ternyata anak-anak preadolescent  sekarang itu, suka banget sama anime dan kokorea-an. Profile Picture di wa dan di fesbuknya, hampir semua anime dan kokoreaan. Termasuk Azka hehe…
  • “Tema hidup” anak usia 10 tahunan di kelas ini adalah, “cicintaan” hehe…yang selalu jadi topik utama adalah si ini suka sama si ini, si itu suka sama si itu, si ini ngeliyatin si itu, …..tapi alhamdulillahnya, “no action”. Artinya, gak ada yang “merealisasikan” rasa cicintaan itu dalam wujud nyata “pacaran”.
  • Anak-anak itu, mulai ter”papar” oleh konten-konten dewasa. Hadeeeuuuh…ada seorang teman laki-laki Azka yang merayu-rayu Azka dengan gombalnyah…haha…bilang Azka cantik lah, dan…ada dramanya segala…katanya dia ngaku suka sama si “X” buat bikin Azka cemburu, pengen liyat reaksinya Azka….ampyuuuun deh…Tapi saya merasa belum harus mengintervensi. Karena tanggapan Azka terhadap perilaku temannya itu masih “pas” menurut saya.
  • Yang menggembirakannya adalah, perkembangan sosial dalam pertemanan anak di usia ini melesat banget. Saya seneeeeng banget baca kalau anak-anak itu membuat rencana bikin ultah surprise buat gurunya, merencanakan beli kado spesial buat temennya, janjian nengok temen yang lagi dirawat di rumah sakit, rame-rame menghibur temennya yang berduka karena kucingnya mati…..

Begitu sementara yang saya dapat. Memang semua cerita itu,  saya dapet juga dari Azka. Tapi membaca bahasa, ekspresi anak-anak itu….very exciting….saya seperti sedang mempelajari ilmu baru yang…mengasyikkan…

Bahagia Buat Siapa?

cartoon-selfieAkhir pekan lalu, saya dan keluarga mengunjungi sebuah kawasan wisata yang kini cukup terkenal di kawasan Lembang. View di tempat tersebut memang unik, mencerminkan originalitas dan kreativitas si penggagas tempat wisata ini. Tak heran banyak yang berfoto ria, baik foto selfie maupun foto bersama. (Btw, saya baru tau istilah “foto selfie” ini dari mahasiswa saya yang katanya akan meneliti fenomena tersebut untuk skripsinya;). Setelah berfoto, mereka pun langsung utak-atik gadgetnya. Tampaknya mengupload foto tersebut. Lalu setelahnya, disela-sela obrolan dengan teman, pasangan atau anak, mereka tampak “mengecek” gadgetnya; kadang tersenyum, tertawa, atau mengetik sesuatu. Tampaknya menanggapi komentar di gadgetnya tersebut. Beberapa orang, saya lihat lebih sering “berinteraksi” dengan gadgetnya dibanding dengan orang-orang di dekatnya.

Saya juga pengeeen banget foto-foto disana. Tapi apa daya, saya sepertinya harus “memilih” antara mengatur pose anak-anak, mencari posisi yang pas untuk memotret anak-anak yang tengah asik ngasih makan ikan, ngasih makan bebek, bersampan; dengan…ngejar-ngejar si super aktif Azzam. Karena suasana sangat ramai dan arenanya kurang “aman” buat Azzam yang sedetik aja gak diliatin bisa ngabur udah kemanaaaa….serta antusiasme kakak-kakanya yang nunjuk ini nunjuk itu, cerita ini cerita itu….maka, saya pun merelakan momen indah itu “tak terabadikan”, dan memilih untuk “meleburkan” diri bersama anak-anak.

Mmmmhhh…ya, kalau saya menamai, zaman sekarang ini adalah “zaman visual”. Facebook dan bb ama memfasilitasi untuk menjadi ajang “menampilkan diri” secara visual. Dan menampilkan gambar visual, memang amat mudah di jaman ini. Hampir tak ada hp yang tak berkamera. Semua hape sekarang biaa dilengkapi fitur facebook. Ada juga bb. Sampai kadang-kadang risih juga sih, lihat pp isinya capture bbm yang sangat pribadi antar pasangan dan hal-hal yang menurut saya masuk kategori “privat”.

Daaaan….seperti sudah dapat ditebak bahwa…foto-foto yang ditampilkan di media sosial pastilah poto-poto “bahagia”. Liburan, keberhasilan, hobi, ruang-ruang indah di sudut rumah, tempat-tempat jauh yang dikunjungi, tingkah polah anak-anak….. Kalau kita liat foto-foto yang diupload di media sosial, tampaknya everyone is happier than us. Apakah itu benar? saya berpendapat tidak. Kenapa? karena di media sosial, setiap orang cenderung menampilkan self representation yang positif. Karena, sudah menjadi “fitrah” manusia ingin dinilai lebih baik, lebih pinter, lebih sholeh, lebih bahagia. Orang hanya mau diliat sedang makan di restoran wah, tapi gak mau ngliyatin tagihan kartu kredit untuk bayar makan tersebut. Orang hanya mau diliat sebagai keluarga yang sedang liburan bersama, tak mau ngliyatin betapa seringnya ia cekcok dengan pasangannya. Dst…dst…Sebenarnya, dalam taraf tertentu, itu adalah hal yang “wajar”. Namun menjadi tak wajar jika…..ia “mengorientasikan diri” untuk mendapatkan penilaian orang lain itu, dan menjadikan eksistensinya di dunia maya itu sebagai sumber kebahagiaannya.

Saya ingat cerita seorang teman. Ia pecinta fotografi. Saya termasuk penikmat foto-fotonya di fesbuk. Foto keluarganya, pasangan dan anak-anaknya yang cantik-cantik dengan teknik fotografi yang canggih. Namun beberapa bulan terakhir ini, saya kehilangan foto-foto itu. Lalu pada sebuah kesempatan bertemu dengannya, saya pun bertanya kenapa gak suka upload foto-foto lagi. Dia menjawab: “istri gw protes uy….katanya, gw udah gak sehat. Emang sih, harus gw akuin…bahwa yang ada di kepala gw setiap kali gw pergi sama keluarga, adalah gimana kerennya kalau gw upload di pesbuk. Gw bayangin komen-komen temen-temen gw…Tapi akhirnya, gw jadi gak konsen sama kebersamaan dengan anak-anak dan keluarga gw nya. Pikiran gw gak ada di situ bersama mereka. Istri gw ampe tanya….kamu pengen kita bahagia, atau pengen kita terlihat bahagia? Gw pikir, bener banget istri gw. Gw mau bahagiain siapa? gw bikin foto buat apa? Sampai akhirnya gw bilang ke diri gw, gw gak perlu ngliyatin kebahagiaan gw ke orang, karena kadang itu semu. adegan-adegan itu, biar gw rekam di mata dan hati gw aja. Gw nikmati tiap detiknya.”

Two thumbs up buat pasangan itu….Dalem banget buat saya mah… Tapi memang, banyak hal di jaman ini yang membuat kita harus selalu menelisik hati kita. Untuk apa kita lakukan itu? dan, kebahagiaan kita….. buat siapa?

Sekali JeU, Tetep JeU !!! (Catatan Tentang IRT JeU ;)

jeuCatatan: JeU adalah singkatan dari “Juara Umum”. Istilah “gaul” untuk seseorang yang “high achiever” 😉

Waktu beberapa tahun yang lalu di Bandung ini ada kasus seorang ibu lulusan jurusan dan Perguruan Tinggi ternama mengalami permasalahan psikologis dan melakukan hal yang negatif pada anak-anaknya, beberapa teman lulusan perguruan tinggi tersebut mengontak saya. Maklum, beredar rumor bahwa permasalahan psikologis yang dialami ibu tersbeut disebabkan karena beliau yang terkenal cerdas kini “hanya” menjadi IRT. Beberapa teman yang menelpon itu; mereka adalah teman-teman saya yang JeU dan memilih jadi IRT. Mereka menyatakan kekhawatirannya, takut mereka mengalami kondisi psikologis yang sama, dan melakukan hal yang sama dengan ibu yang diatas. Curhat lalu berlanjut dengan kekhawatiran bahwa mereka “tidak akan berkembang” dengan “hanya” di rumah saja.

Saya lupa waktu itu jawab apa…(haha…sudah menunjukkan tanda-tanda PDI: Penurunan Daya Ingat). Tapi kalau pertanyaan itu diajukan pada saya sekarang, saya akan menceritakan sesuatu….eh, dua suatu deng J  

Pertama. Tayangan yang saya tonton di BBC beberapa tahun yang lalu juga. Tayangan tersebut tentang seorang juara dunia main game dari Korea. Saya juga baru tau…ternyata main gameitu ada kejuaraannya. Tingkat dunia pula. Waktu itu diadakan di Singapura. Diliputlah persiapan si juara yang sudah 2 tahun berturut-turut memenangkan lomba game tingkat dunia ini. Bahwa ia harus kuat terjaga belasan jam, berpikir dan bertindak cepat, dll dll. Akhir kata, singkat cerita…si juara dunia ini ternyata kalah. Ia harus mengakui kehebatan pemain game yang lebih muda dan fisiknya lebih kuat. Ternyata, dia tak patah hati. Dia lalu banting setir berencana akan menekuni cabang olahraga tinju gitu…lupa….Ada satu kalimat yang saya ingat keluar dari tokoh itu: “ Saya yakin, kalau saya bisa jadi yang terbai dalam kejuaraan game, saya juga bisa jadi yang terbaik dalam kejuaraan lainnya. Karena saya sudah punya sikap mental dan persiapan menjadi seorang juara” katanya….

Kedua.  Beberapa tahun yang lalu juga, saya berkunjung ke rumah seorang teman. IPKnya Cum Laude. Hanya karena jurusannya selama ini ia rasa kurang cocok, maka ia pun memilih jadi Ibu Rumah Tangga. Begitu masuk ke rumahnya dan bertemu dengan anaknya yang waktu masih prasekolah, anaknya itu, mateeeng banget untuk seusianya. Beragam piala berjejer. Ada piala juara storytelling, ada piala juara kreativitas apa…..gitu. Trus si anak itu menunjukkan “komik” yang sedang ia buat. Sesekali sambil bercerita, dia “mengutip” kata-kata ibunya. “Kata ibu aku….bla…bla..bla…”. Anak yang cerdas dan percaya diri. Begitu keluar rumah itu, kalimat pertama yang saya ucapkan pada mas adalah, “beda ya, anak yang ibunya cum laude mah” 😉

Benang merah dari dua fragmen di atas adalah, seorang wanita  yang cerdas, punya wawasan luas, manajemen diri yang baik, kepedulian pada lingkungan; di mana pun ia berada, menjadi apapun ia, akan menunjukkan keJeU annya. Mau jadi manager, mau jadi dosen, mau penulis, mau jadi ibu rumahtangga, akan tetep kliyatan ke JeU annya. Gak akan ilang.

Ibu-ibu rumah tangga yang semasa sekolah, kuliah dan semasa lajang di organisasinya JeU, tidak akan menjadi ibu rumah tangga yang menghabiskan hari-harinya dengan nonton drama korea, mantengin fesbuk, belanja-belanji online, gonta-ganti status di bb nya, lebih sering menitipkan anak pada asistennya dengan alasan “me time”…..

Kalau saya membayangkan, ibu-ibu rumahtangga yang JeU ini, seperti air. Terus mengalir, terus mencari celah sekecil apapun untuk mengaktualisasikan ke JeU annya. Kenapa? Karena si “JeU” ini sudah melekat menjadi kepribadiannya.

Bentuknya? Ibu-ibu RT ini akan tetap produktif. Menulis, membuat karya, membuat kegiatan komunitas, advokasi, dll.  Produktif. Tidak konsumtif. Saya seringkali minder sama ibu-ibu RT di salah satu wa grup yang saya ikuti. Pagi-pagi, sudah membicarakan sarapan super sehat buat anak-suaminya. Lalu bicarakan menu kreatif buat siang dan malam harinya. Sore-sore, saat saya masih di jalan menuju rumah, ibu-ibu hebat ini meng-upload foto cemilan sehat buat anak-anaknya. Soal wawasan? Saya mah ketinggalan jauuuuh….masalah kesehatan, imunisasi, parenting…..

Saya punya teman laki-laki, yang istrinya tergolong “IRT JeU”. Tiap hari bawabe kel makanan sehat dari rumah, juga cerita tentang beberapa menu kreatif bayi yang diciptakan oleh istrinya. Haduuh….saya yang hanya mengandalkan gasol buat baby Azzam waktu itu, bener-bener minder deh… Demikian juga pada anak-anaknya, sebagai efek dari full attention yang diberikan.

Jadi, saya akan bilang pada siapapun teman saya yang memilih menjadi ibu rumah tangga……di jaman sekarang ini, fisik boleh di rumah… tapi tak akan sanggup membendung dan memasung kualitas seorang wanita. Pilihan aktivitas, hanya media. Siapapun dia, dimana pun dia, menjadi apapun dia, sekali JeU, tetep JeU !

Andai Sayah Jadi Meneg PP

Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang berpendapat bahwa “wanita itu lebih baik tinggal di rumah”, saya tetap merasa bahwa kiprah wanita dibutuhkan di ruang publik. Dengan profesi-profesi mereka, dengan potensi-potensi yang mereka miliki. Dalam salah satu tulisan saya, saya pernah mengungkapkan; tak terbayang kalau tak ada dokter kandungan wanita, suster, bidan…..gak kebayang betapa stressfullnya jika melahirkan dibantu oleh dokter laki-laki dan didampingi bruder. Saya juga gak kebayang kalau guru PG dan TK itu laki-laki….

???????????????????????????????????????Dan, anggapan “hitam putih” bahwa wanita yang bekerja di luar berarti tidak akan bisa memberikan waktu dan perhatian yang cukup untuk keluarga, tak saya setujui sepenuhnya. Sebagai seorang yang menempuh pendidikan dalam bidang yang diminati oleh lebih banyak perempuan (kelas-kelas psikologi dari dulu ampe sekarang, jumlah laki-lakinya hanya sekitar 10%an dari jumlah total kelas), saya banyak bergaul dengan wanita-wanita yang punya kemampuan manajemen diri  yang baik, sehingga ia bisa mengatur aktivitas di dalam rumah dan di luar rumah dengan sama baiknya. Ia bisa menjadi manajer handal di kantor, sambil tak lupa memberikan asi eksklusif buat bayinya. Ia bisa jadi peneliti yang cerdas, presentasi di mana-mana, tapi tak melupakan hadir di acara-acara penting sekolah anaknya, dst. Suami-suami mereka pun, tak hanya ridho mereka beraktiivtas, tapi juga beberapa merasa “bangga” atas kiprah istrinya.

Oleh karena dua hal diatas, jujur saja saya suka merasa “sayang” jika seorang wanita yang ingin berkiprah di luar rumah, potensinya mengagumkan, profesinya halal, aktivitasnya tak melanggar syar’i, terhalangi oleh hal-hal yang sifatnya “teknis” seperti, ketiadaan asisten untuk menjaga anaknya. Sayangnya, hal ini sering terjadi sekarang ini. Dan, ibu mana yang akan tega “mempertaruhkan” kehidupan anaknya? Pastilah, saat dihadapkan pada kondisi dimana anaknya tak ada yang bisa menjaga, keinginan sebesar apapun, tujuan sepenting apapun, akan direlakan oleh seorang ibu. Tentu “kerelaan” ini ada cerita tersendirinya, tapi bukan itu yang ingin saya ulas dalam tulisan ini.

Daycare, saat ini menjadi solusi. Tak heran kalau di Bandung ini, semakin sering kita lihat banner-banner yang menunjukkan tempat daycare. Namun jumlah daycare yang ada, tak sebanding dengan jumlah ibu yang membutuhkannya. Saya -yang juga pernah men-daycare-kan Hana dan Azzam-, pernah mensurvey beberapa tempat daycare. Daycare yang bagus, itu waiting listnya udah panjaaaang baget.

Saya ingat, beberapa belas tahun lalu, saat saya masih punya banyak waktu sendirian membaca, saya suka banget novel-novelnya Shidney Sheldon. Salah satu novel Shidney Sheldon bercerita tentang seorang pengacara yang cerdas, dan diminta bekerja di perusahaan. Yang menarik buat saya adalah, si perusahaan itu menawarkan paket reward tak hanya untuk si pengacaranya, namun juga buat keluarganya. Anaknya dikasih beasiswa untuk masuk sekolah-sekolah ternama, diberikan tempat tinggal yang dekat dengan kantor, tak ada lembur di akhir pekan.  Kurang lebih si boss perusahaan itu menyampaikan prinsipnya bahwa: “saya yakin keberhasilan perusahaan ini akan lebih melambung jika pegawai-pegawainya adalah orang-orang yang bahagia dalam pernikahan dan keluarganya”.

Karena  berminat pada area “peran ayah dalam pengasuhan anak”, saya banyak mencari sumber yang berkaitan dengan topik tersebut. Dan, saya menemukan bahwa di barat sana, karena penelitian kian membuktikan bahwa peran ayah sama penting dengan peran ibu dalam pengasuhan anak, maka “negara” pun mulai campur tangan. Mulai dari memberikan “cuti melahirkan” pada suami yang istrinya melahirkan, sampai pada mengurangi jam lembur dan menghapuskan kerja di akhir pekan. salah satunya link ini : http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/30/7/198109/Inggris-akan-Terapkan-Cuti-Melahirkan-bagi-Suami-dan-Istria

The point is, menurut saya….Pemerintah yang “peka” akan “peduli” pada nilai-nilai yang penting buat masyarakatnya, sehingga akan membuat kebijakan yang “peka” juga.  Apalagi di masyarakat Indoensia, dimana KELUARGA merupakan hal yang amat penting. Menurut saya  kebijakan-kebijakan yang “peka keluarga” amat dibutuhkan, yang ujung-unjungnya adalah pada produktifitas dan kebahagiaan dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dan yang paling terkait dengan masalah “keluarga” disini menurut saya adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Di website resminya, dituliskan bahwa Visi Kementrian ini adalah Terwujudnya kesetaraan gender dan terpenuhinya hak anak”, dan Misinya Meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan dan anak”.

Ada satu gagasan yang menurut saya “nyambung” banget sama visi dan misi itu, terkait dengan persoalan “ibu bekerja”.  Dulu, saya dan seorang teman membayangkan bagaimana jika ada kebijakan yang mewajibkan sebuah institusi, perusahaan, instansi, pokoknya tempat beraktivitas perempuan, untuk memiliki Tempat Penitipan Anak di tempat tersebut. Saya membayangkan, investasi yang harus ditanam itu, jauuuuuh lebih kecil dibanding benefit yang didapatkan. Dulu, waktu ada issue bahwa kita, para dosen harus “ngantor” jam 8-16, kita para ibu-ibu langsung panik. Bukan…bukan kita males kerja. Karena kerja kita selama ini, kalau diitung jamnya jauuuh lebih panjang dari 7 jam. Tapi kita jauuuuuh lebih nyaman bekerja di malam hari, sambil menatap anak-anak kita yang tengah tertidur lelap, atau di siang hari di rumah, sambil bisa nyelang bikinin susu dulu, nemenin gambar dulu, dst. Waktu itu, kami membayangkan gimana kalau di kantor kami ada daycare. Sampai-sampai kami mau patungan untuk bikin itu.

Dan bayangan itu menjadi nyata saat saya “terpaksa” menitikan Hana dan Azzam di daycare-nya UNPAD. 2 jam perjalanan yang bisa kita gunakan untuk “us time”, lalu saya merasa tenang beraktivitas karena saat istirahat saya bisa ke sana, nenenin Azzam sambil nemenin Hana makan…Saya juga melihat wajah-wajah positif terutama dari ibu-ibu yang baru selesai cuti melahirkan. Sayangnya, kemudian daycare itu harus menolak beberapa bayi dan anak karena keterbayasan fasilitas.

Menurut saya ini adalah salah satu solusi yang mungkin untuk dilakukan. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan besar dan bonafid, masa gak ada dana…ibu-ibu pasti rela dipotong gajinya buat itu… Ibu yang baru cuti akan bisa memberikan asi ekslusif secara maksimal (siapapun tahu bahwa kalau “disedot” langsung sama bayi, produksi ASI akan jauh lebih melimpah dibanding disedot sama pompa). Secara teoretis, investasi ini akan mampu meningkatkan kecerdasan anak, kelekatan anak-ibu, yang berujung pada kebahagiaan ibu. Saya juga membayangkan, para perawat akan tenang bekerja dan bisa melayani pasien-pasien sepenuh hati saat kena shift malam, karena tahu anak-anaknya tidur  satu gedung bersama mereka, bisa mereka “tengok setiap saat luang”…. (dalam satu kesempatan, saya mengetahui bahwa banyak perawat yang telah menghabiskan waktu kuliah 6 tahun untuk menjadi Ners, tak menjalankan profesinya karena masalah shift malam ini).

Ya..saya tahu…mungkin banyak yang tak setuju dengan gagasan ini. Tapi kalau saya jadi Meneg PP, saya akan berupaya melobi departemen-departemen lain untuk membuat kebijakan yang “peka keluarga” . Mengutip kata-kata Wakil Perdana mentri Inggris
Nick Clegg , saya akan bilang : “Ini baik untuk keluarga, baik untuk bisnis dan baik untuk ekonomi kita.”

#mimpi di siang bolong# haha….

Game-Game yang Mendegradasi Sisi “Kemanusiaan”

Dari keempat anak saya, dua yang laki-laki sangat menonjol suka sama media elektronik. Umar, si “nyaris”8 tahun….sejak kecil sampai sekarang, kalau gak dibatasi bisa 24 jam mantengin laptop dan sekarang ipad. Azzam, si “nyaris” 2 tahun pun demikian. Di usianya saat ini, dia sudah lihai mulai dari nyalain, mencari dan memainkan game-game di ipad. Dia juga punya link-link favorit di yutub. Sedangkan Azka si 9,5 tahun dan Hana si 4,5 tahun, gak begitu “attach” sama laptop dan ipad. Itulah sebabnya, paket cd-cd pelajaran dan soal, ternyata hanya cocok buat Umar. Azka lebih seneng baca dan ngerjain di buku.

Karena saya  termasuk orangtua yang merasa bahwa media elektronik itu punya manfaat dan tidak harus di”steril”kan dari anak-anak, maka saya tetap membolehkan anak-anak mengaksesnya. Hana boleh nonton TV, Azka punya hape, Umar punya jatah 1 jam main game setiap hari, demikian juga Azzam. Terutama buat Umar, semoga hak main game 1 jam ini seimbang dengan kewajiban sholat di masjid minimal 2 waktu….Sejauh ini, “kewajiban”nya setiap hari dijalankan dengan penuh kesadaran. Apalagi hak nya haha….

Dalam tulisan ini, saya ingin fokus ke masalah game. Jujur saja, seiring dengar munculnya tablet dan ipad, semakin sering kita lihat di tempat-tempat umum, anak asik main game di tablet atau ipad itu. Selain “dampak negatif”nya, namun saya setuju dengan isi artikel di link  http://www.ru.nl/english/research/research_themes/children-parenting/vm/news-children/@926404/video-games-play-may/. Ya, main game juga punya manfaat buat anak.

Issuenya, dalam penggunaan media elektronik apapun bukan “boleh” atau “tidak boleh”. Tapi lebih pada “apa yang diakses” dan “berapa lama” mengaksesnya. Khusus untuk issue pertama yaitu “apa yang diakses”, saya memberi batasan jelas pada Umar yang bisa mendowload sendiri game-game baru gratis di play store, yaitu: dia boleh main game apaaa aja KECUALI game-game yang sifatnya destruktif. Menyerang, membunuh, pukul-pukulan, menghancurkan, dll. Secara berkala, saya suka ngecek game di ipad Umar. Yang highly recommended adalah yang sifatnya mengasah kemampuan problem solving atau strategi kayak bangun gedung lah, bangun jembatan, where is my water, main bola, plus game yang ibu suka seperti plants versus zombie 2 haha…

Kenapa? ya….secara common sense, saya jelaskan sama Umar bahwa kalau kita sering ngeliyat adegan kayak gitu, nanti itu nempel di otak kita. Bisa jadi kalau mas Umar nanti berantem sama temen, tanpa sadar mas Umar mukul temen, karena itu yang ada di otak mas Umar.

Secara “ilmiah”, beberapa bulan lalu dalam mata kuliah psikologi eksperimen, salah seorang mahasiswa saya mempresentasikan satu artikel dari jurnal yang intinya menyatakan bahwa anak yang sering terpapar permainan game yang destruktif, mengalami “dehumanisasi”. “Dehumanisasi” adalah istilah ynag digunakan untuk menunjukkan penurunan “kualitas kemanusiaan”, diukur dari tingkat kepedulian dan empati pada orang lain. (Duh, saya sebenarnya pengen ngutip secara lebih akurat artikel jurnal itu…tapi filenya belom ketemu uy….).

Ya…ya…ya… penelitian itu menjawab kegelisahan saya, yang suka galau banget kalau liat anak-anak main game pukul-pukulan, trus ketika berhasil mukul lawannya, atau ngancurin lawannya, terlihat begitu senang dan puas….Saya juga pernah ya, ketemu anak 6 tahun yang gambarnya teh orang lagi nusuk orang lain pake pedang, trus kepalanya buntung….dengan darah berceceran. Lalu si anak itu menceritakan dengan mata berbinar betapa ia puas memenggal kepala orang di gambarnya itu. Haduuuh….walaupun itu “hanya” sebuah gambar dan cerita, kenapa memori itu yang nempel di otak anak???

Tapi yang lebih memiriskan lagih, kalau game-game destruktif itu dimainkan oleh orang dewasa atau bapak-bapak !!!! ada gitu? ada sodara-sodara !!!

Itulah sebabnya subuh tadi, ketika mas Umar dan si abah menunjukkan satu game baru yang katanya seru banget daaaan….ternyata ada adegan pukul-pukulan antara si monyet yang jadi pemeran utama game itu, maka ibu langsung MEMERINTAHKAN  mas Umar untuk menghapus game tersebut …

Semoga istri-istri yang suaminya kecanduan main game destruktif juga cukup punya power untuk “memerintahkan” para suaminya berhenti dan menghapus game-game destruktif itu…. karena kalau dibiarkan, bisa jadi permainan itu “dipraktekkan” pada anak dan istrinya, tanpa merasa “bersalah”.