Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang berpendapat bahwa “wanita itu lebih baik tinggal di rumah”, saya tetap merasa bahwa kiprah wanita dibutuhkan di ruang publik. Dengan profesi-profesi mereka, dengan potensi-potensi yang mereka miliki. Dalam salah satu tulisan saya, saya pernah mengungkapkan; tak terbayang kalau tak ada dokter kandungan wanita, suster, bidan…..gak kebayang betapa stressfullnya jika melahirkan dibantu oleh dokter laki-laki dan didampingi bruder. Saya juga gak kebayang kalau guru PG dan TK itu laki-laki….
Dan, anggapan “hitam putih” bahwa wanita yang bekerja di luar berarti tidak akan bisa memberikan waktu dan perhatian yang cukup untuk keluarga, tak saya setujui sepenuhnya. Sebagai seorang yang menempuh pendidikan dalam bidang yang diminati oleh lebih banyak perempuan (kelas-kelas psikologi dari dulu ampe sekarang, jumlah laki-lakinya hanya sekitar 10%an dari jumlah total kelas), saya banyak bergaul dengan wanita-wanita yang punya kemampuan manajemen diri yang baik, sehingga ia bisa mengatur aktivitas di dalam rumah dan di luar rumah dengan sama baiknya. Ia bisa menjadi manajer handal di kantor, sambil tak lupa memberikan asi eksklusif buat bayinya. Ia bisa jadi peneliti yang cerdas, presentasi di mana-mana, tapi tak melupakan hadir di acara-acara penting sekolah anaknya, dst. Suami-suami mereka pun, tak hanya ridho mereka beraktiivtas, tapi juga beberapa merasa “bangga” atas kiprah istrinya.
Oleh karena dua hal diatas, jujur saja saya suka merasa “sayang” jika seorang wanita yang ingin berkiprah di luar rumah, potensinya mengagumkan, profesinya halal, aktivitasnya tak melanggar syar’i, terhalangi oleh hal-hal yang sifatnya “teknis” seperti, ketiadaan asisten untuk menjaga anaknya. Sayangnya, hal ini sering terjadi sekarang ini. Dan, ibu mana yang akan tega “mempertaruhkan” kehidupan anaknya? Pastilah, saat dihadapkan pada kondisi dimana anaknya tak ada yang bisa menjaga, keinginan sebesar apapun, tujuan sepenting apapun, akan direlakan oleh seorang ibu. Tentu “kerelaan” ini ada cerita tersendirinya, tapi bukan itu yang ingin saya ulas dalam tulisan ini.
Daycare, saat ini menjadi solusi. Tak heran kalau di Bandung ini, semakin sering kita lihat banner-banner yang menunjukkan tempat daycare. Namun jumlah daycare yang ada, tak sebanding dengan jumlah ibu yang membutuhkannya. Saya -yang juga pernah men-daycare-kan Hana dan Azzam-, pernah mensurvey beberapa tempat daycare. Daycare yang bagus, itu waiting listnya udah panjaaaang baget.
Saya ingat, beberapa belas tahun lalu, saat saya masih punya banyak waktu sendirian membaca, saya suka banget novel-novelnya Shidney Sheldon. Salah satu novel Shidney Sheldon bercerita tentang seorang pengacara yang cerdas, dan diminta bekerja di perusahaan. Yang menarik buat saya adalah, si perusahaan itu menawarkan paket reward tak hanya untuk si pengacaranya, namun juga buat keluarganya. Anaknya dikasih beasiswa untuk masuk sekolah-sekolah ternama, diberikan tempat tinggal yang dekat dengan kantor, tak ada lembur di akhir pekan. Kurang lebih si boss perusahaan itu menyampaikan prinsipnya bahwa: “saya yakin keberhasilan perusahaan ini akan lebih melambung jika pegawai-pegawainya adalah orang-orang yang bahagia dalam pernikahan dan keluarganya”.
Karena berminat pada area “peran ayah dalam pengasuhan anak”, saya banyak mencari sumber yang berkaitan dengan topik tersebut. Dan, saya menemukan bahwa di barat sana, karena penelitian kian membuktikan bahwa peran ayah sama penting dengan peran ibu dalam pengasuhan anak, maka “negara” pun mulai campur tangan. Mulai dari memberikan “cuti melahirkan” pada suami yang istrinya melahirkan, sampai pada mengurangi jam lembur dan menghapuskan kerja di akhir pekan. salah satunya link ini : http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/30/7/198109/Inggris-akan-Terapkan-Cuti-Melahirkan-bagi-Suami-dan-Istria
The point is, menurut saya….Pemerintah yang “peka” akan “peduli” pada nilai-nilai yang penting buat masyarakatnya, sehingga akan membuat kebijakan yang “peka” juga. Apalagi di masyarakat Indoensia, dimana KELUARGA merupakan hal yang amat penting. Menurut saya kebijakan-kebijakan yang “peka keluarga” amat dibutuhkan, yang ujung-unjungnya adalah pada produktifitas dan kebahagiaan dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dan yang paling terkait dengan masalah “keluarga” disini menurut saya adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Di website resminya, dituliskan bahwa Visi Kementrian ini adalah “Terwujudnya kesetaraan gender dan terpenuhinya hak anak”, dan Misinya “Meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan dan anak”.
Ada satu gagasan yang menurut saya “nyambung” banget sama visi dan misi itu, terkait dengan persoalan “ibu bekerja”. Dulu, saya dan seorang teman membayangkan bagaimana jika ada kebijakan yang mewajibkan sebuah institusi, perusahaan, instansi, pokoknya tempat beraktivitas perempuan, untuk memiliki Tempat Penitipan Anak di tempat tersebut. Saya membayangkan, investasi yang harus ditanam itu, jauuuuuh lebih kecil dibanding benefit yang didapatkan. Dulu, waktu ada issue bahwa kita, para dosen harus “ngantor” jam 8-16, kita para ibu-ibu langsung panik. Bukan…bukan kita males kerja. Karena kerja kita selama ini, kalau diitung jamnya jauuuh lebih panjang dari 7 jam. Tapi kita jauuuuuh lebih nyaman bekerja di malam hari, sambil menatap anak-anak kita yang tengah tertidur lelap, atau di siang hari di rumah, sambil bisa nyelang bikinin susu dulu, nemenin gambar dulu, dst. Waktu itu, kami membayangkan gimana kalau di kantor kami ada daycare. Sampai-sampai kami mau patungan untuk bikin itu.
Dan bayangan itu menjadi nyata saat saya “terpaksa” menitikan Hana dan Azzam di daycare-nya UNPAD. 2 jam perjalanan yang bisa kita gunakan untuk “us time”, lalu saya merasa tenang beraktivitas karena saat istirahat saya bisa ke sana, nenenin Azzam sambil nemenin Hana makan…Saya juga melihat wajah-wajah positif terutama dari ibu-ibu yang baru selesai cuti melahirkan. Sayangnya, kemudian daycare itu harus menolak beberapa bayi dan anak karena keterbayasan fasilitas.
Menurut saya ini adalah salah satu solusi yang mungkin untuk dilakukan. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan besar dan bonafid, masa gak ada dana…ibu-ibu pasti rela dipotong gajinya buat itu… Ibu yang baru cuti akan bisa memberikan asi ekslusif secara maksimal (siapapun tahu bahwa kalau “disedot” langsung sama bayi, produksi ASI akan jauh lebih melimpah dibanding disedot sama pompa). Secara teoretis, investasi ini akan mampu meningkatkan kecerdasan anak, kelekatan anak-ibu, yang berujung pada kebahagiaan ibu. Saya juga membayangkan, para perawat akan tenang bekerja dan bisa melayani pasien-pasien sepenuh hati saat kena shift malam, karena tahu anak-anaknya tidur satu gedung bersama mereka, bisa mereka “tengok setiap saat luang”…. (dalam satu kesempatan, saya mengetahui bahwa banyak perawat yang telah menghabiskan waktu kuliah 6 tahun untuk menjadi Ners, tak menjalankan profesinya karena masalah shift malam ini).
Ya..saya tahu…mungkin banyak yang tak setuju dengan gagasan ini. Tapi kalau saya jadi Meneg PP, saya akan berupaya melobi departemen-departemen lain untuk membuat kebijakan yang “peka keluarga” . Mengutip kata-kata Wakil Perdana mentri Inggris
Nick Clegg , saya akan bilang : “Ini baik untuk keluarga, baik untuk bisnis dan baik untuk ekonomi kita.”
#mimpi di siang bolong# haha….
Recent Comments