Mengintip “tema hidup” si Pre-Adolescent

Saya menghargai, memahami dan menghayati alasan teman-teman yang berpendapat bahwa “tidak bijak memberikan hape dan mengenalkan media sosial pada anak”. Tapi saya tetap merasa nyaman dengan pilihan saya memberikan hape pada Azka, saat ia naik ke kelas 5 lalu, sebagai hadiah karena prestasi akademiknya yang baik.

Salah satu alasannya adalah karena saya, ingin “menyelami” dunia-nya. Sebagai ibu 4 anak, dua telah melawati masa balita dan dua di masa balita, saya merasa memang hukum “practice make perfect” berlaku sekali. Sekarang ini, mengalami “perilaku sulit’ Azzam, di usia menjelang 2 tahun, saya sudah “ahli” haha…baik secara emosi, pengetahuan maupun keterampilan menghadapinya. Tapi menjadi ibu dari seorang remaja? I’m a new comer. Dan….perubahan sosial yang amat masif serta sangat kontekstual, membuat saya tak lagi bisa “mengandalkan” referensi-referensi luar negeri.

Sebagai ibu bekerja, saya juga tak bisa selalu mendampingi aktivitas Azka. Maka, dari aktivitas hape-nya lah saya bisa mengetahui dan memahami “dunia”nya. Setiap pagi setelah Azka pergi sekolah, saya biasa melihat-lihat aktifitas hapenya. wa-wa dengan teman-temannya, termasuk mengamati “posisi sosialnya”nya diantara teman-temannya, lewat percakapan di wa grup angkatannya.

Hasilnya… ada yang membuat saya terkaget-kaget, ada yang membuat senang, bangga, haru….dan saya jadi tahu apa sih “tema hidup” si anak pre-adolescent teh….Berikut “temuan” sayah:

  • Ternyata anak-anak preadolescent  sekarang itu, suka banget sama anime dan kokorea-an. Profile Picture di wa dan di fesbuknya, hampir semua anime dan kokoreaan. Termasuk Azka hehe…
  • “Tema hidup” anak usia 10 tahunan di kelas ini adalah, “cicintaan” hehe…yang selalu jadi topik utama adalah si ini suka sama si ini, si itu suka sama si itu, si ini ngeliyatin si itu, …..tapi alhamdulillahnya, “no action”. Artinya, gak ada yang “merealisasikan” rasa cicintaan itu dalam wujud nyata “pacaran”.
  • Anak-anak itu, mulai ter”papar” oleh konten-konten dewasa. Hadeeeuuuh…ada seorang teman laki-laki Azka yang merayu-rayu Azka dengan gombalnyah…haha…bilang Azka cantik lah, dan…ada dramanya segala…katanya dia ngaku suka sama si “X” buat bikin Azka cemburu, pengen liyat reaksinya Azka….ampyuuuun deh…Tapi saya merasa belum harus mengintervensi. Karena tanggapan Azka terhadap perilaku temannya itu masih “pas” menurut saya.
  • Yang menggembirakannya adalah, perkembangan sosial dalam pertemanan anak di usia ini melesat banget. Saya seneeeeng banget baca kalau anak-anak itu membuat rencana bikin ultah surprise buat gurunya, merencanakan beli kado spesial buat temennya, janjian nengok temen yang lagi dirawat di rumah sakit, rame-rame menghibur temennya yang berduka karena kucingnya mati…..

Begitu sementara yang saya dapat. Memang semua cerita itu,  saya dapet juga dari Azka. Tapi membaca bahasa, ekspresi anak-anak itu….very exciting….saya seperti sedang mempelajari ilmu baru yang…mengasyikkan…

Bahagia Buat Siapa?

cartoon-selfieAkhir pekan lalu, saya dan keluarga mengunjungi sebuah kawasan wisata yang kini cukup terkenal di kawasan Lembang. View di tempat tersebut memang unik, mencerminkan originalitas dan kreativitas si penggagas tempat wisata ini. Tak heran banyak yang berfoto ria, baik foto selfie maupun foto bersama. (Btw, saya baru tau istilah “foto selfie” ini dari mahasiswa saya yang katanya akan meneliti fenomena tersebut untuk skripsinya;). Setelah berfoto, mereka pun langsung utak-atik gadgetnya. Tampaknya mengupload foto tersebut. Lalu setelahnya, disela-sela obrolan dengan teman, pasangan atau anak, mereka tampak “mengecek” gadgetnya; kadang tersenyum, tertawa, atau mengetik sesuatu. Tampaknya menanggapi komentar di gadgetnya tersebut. Beberapa orang, saya lihat lebih sering “berinteraksi” dengan gadgetnya dibanding dengan orang-orang di dekatnya.

Saya juga pengeeen banget foto-foto disana. Tapi apa daya, saya sepertinya harus “memilih” antara mengatur pose anak-anak, mencari posisi yang pas untuk memotret anak-anak yang tengah asik ngasih makan ikan, ngasih makan bebek, bersampan; dengan…ngejar-ngejar si super aktif Azzam. Karena suasana sangat ramai dan arenanya kurang “aman” buat Azzam yang sedetik aja gak diliatin bisa ngabur udah kemanaaaa….serta antusiasme kakak-kakanya yang nunjuk ini nunjuk itu, cerita ini cerita itu….maka, saya pun merelakan momen indah itu “tak terabadikan”, dan memilih untuk “meleburkan” diri bersama anak-anak.

Mmmmhhh…ya, kalau saya menamai, zaman sekarang ini adalah “zaman visual”. Facebook dan bb ama memfasilitasi untuk menjadi ajang “menampilkan diri” secara visual. Dan menampilkan gambar visual, memang amat mudah di jaman ini. Hampir tak ada hp yang tak berkamera. Semua hape sekarang biaa dilengkapi fitur facebook. Ada juga bb. Sampai kadang-kadang risih juga sih, lihat pp isinya capture bbm yang sangat pribadi antar pasangan dan hal-hal yang menurut saya masuk kategori “privat”.

Daaaan….seperti sudah dapat ditebak bahwa…foto-foto yang ditampilkan di media sosial pastilah poto-poto “bahagia”. Liburan, keberhasilan, hobi, ruang-ruang indah di sudut rumah, tempat-tempat jauh yang dikunjungi, tingkah polah anak-anak….. Kalau kita liat foto-foto yang diupload di media sosial, tampaknya everyone is happier than us. Apakah itu benar? saya berpendapat tidak. Kenapa? karena di media sosial, setiap orang cenderung menampilkan self representation yang positif. Karena, sudah menjadi “fitrah” manusia ingin dinilai lebih baik, lebih pinter, lebih sholeh, lebih bahagia. Orang hanya mau diliat sedang makan di restoran wah, tapi gak mau ngliyatin tagihan kartu kredit untuk bayar makan tersebut. Orang hanya mau diliat sebagai keluarga yang sedang liburan bersama, tak mau ngliyatin betapa seringnya ia cekcok dengan pasangannya. Dst…dst…Sebenarnya, dalam taraf tertentu, itu adalah hal yang “wajar”. Namun menjadi tak wajar jika…..ia “mengorientasikan diri” untuk mendapatkan penilaian orang lain itu, dan menjadikan eksistensinya di dunia maya itu sebagai sumber kebahagiaannya.

Saya ingat cerita seorang teman. Ia pecinta fotografi. Saya termasuk penikmat foto-fotonya di fesbuk. Foto keluarganya, pasangan dan anak-anaknya yang cantik-cantik dengan teknik fotografi yang canggih. Namun beberapa bulan terakhir ini, saya kehilangan foto-foto itu. Lalu pada sebuah kesempatan bertemu dengannya, saya pun bertanya kenapa gak suka upload foto-foto lagi. Dia menjawab: “istri gw protes uy….katanya, gw udah gak sehat. Emang sih, harus gw akuin…bahwa yang ada di kepala gw setiap kali gw pergi sama keluarga, adalah gimana kerennya kalau gw upload di pesbuk. Gw bayangin komen-komen temen-temen gw…Tapi akhirnya, gw jadi gak konsen sama kebersamaan dengan anak-anak dan keluarga gw nya. Pikiran gw gak ada di situ bersama mereka. Istri gw ampe tanya….kamu pengen kita bahagia, atau pengen kita terlihat bahagia? Gw pikir, bener banget istri gw. Gw mau bahagiain siapa? gw bikin foto buat apa? Sampai akhirnya gw bilang ke diri gw, gw gak perlu ngliyatin kebahagiaan gw ke orang, karena kadang itu semu. adegan-adegan itu, biar gw rekam di mata dan hati gw aja. Gw nikmati tiap detiknya.”

Two thumbs up buat pasangan itu….Dalem banget buat saya mah… Tapi memang, banyak hal di jaman ini yang membuat kita harus selalu menelisik hati kita. Untuk apa kita lakukan itu? dan, kebahagiaan kita….. buat siapa?