Jangan Jadi Generasi Emoticon ;)

Beberapa  waktu yang lalu saya membantu menjadi juri dalam sebuah lomba menulis esai. Lomba tersebut diadakan oleh BEM salah satu fakultas Psikologi. Pesertanya adalah mahasiswa S1 Psikologi dari seluruh Indonesia. Para peserta diminta menulis esai mengenai satu fenomena masalah di Indonesia dan mengajukan gagasan menggunakan sudut pandang psikologi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Sebenarnya saat sekilas melihat publikasi lomba tersebut, saya senang sekali. Jadi ketika beberapa minggu kemudian panitia menghubungi  dan  meminta saya menjadi salah seorang juri, tanpa pikir panjang saya menyanggupinya. Saya benar-benar excited ingin mengetahui bagaimana para mahasiswa menelisik persoalan bangsa, dan juga ingin tahu bagaimana kemampuan menulis mahasiswa.

Dari sekian puluh naskah esai yang masuk, langkah pertama yang saya lakukan adalah memilah naskah-naskah itu menjadi tiga kelompok; (1) kelompok yang bagus (2) kelompok yang gak bagus (3) kelompok yang gak masuk di kedua kelompok sebelumnya. Pemisahan itu saya lakukan “by feeling” setelah sekilas membaca setiap naskah. Langkah selanjutnya adalah, saya mencermati secara lebih detil setiap naskah esai dan melakukan penilaian berupa skor berdasarkan kriteria-kriteria yang diberikan panitia.

Hasilnya, dua langkah yang saya lakukan itu berujung pada hasil yang sama. Ada 4 esai yang saya masukkan ke kategori “bagus” di tahap awal, memang setelah menggunakan kriteria objektif pun bagus. Dan rupanya, 2 juri lainnya juga menilai sama. Buktinya, tiga dari empat esai yang saya pilih dan beri nilai tinggi tersebut setelah nilainya direkap, menjadi juara 1, 2 dan 3. Tampaknya kalau ada juara ke4, satu esai yang tersisa juga akan menjadi juara ke4 hehe….

Ada hal yang menarik saat kembali, saya membaca ketiga esai yang dinobatkan menjadi juara 1,2 dan 3. Apakah itu? ide mereka sederhana, bahkan sangat sederhana. Padahal banyak diantara esai itu yang menggagas ide-ide yang “wah”, dengan menggunakan teori yang bikin saya terkaget-kaget; “anak S1 hebat banget udah ngerti teori ini..”. Ketiga esai yang menjadi pemenang itu, gagasannya sederhana, teori yang digunakannya pun “sederhana”.

Lalu, apa yang membuat mereka istimewa? Ada tiga hal. (1) Kedalaman pemahaman mengenai fenomena. Fenomena yang “biasa”, bisa mereka angkat menjadi sesuatu yang penting dan menarik. (2) Ketajaman membesut atau menelaah fenomena menggunakan teori psikologi yang pas, sampai ke pengaplikasiannya. (3) Kekuatan argumentasi mengapa fenomena yang diangkat bisa “diselesaikan” menggunakan kerangka pikir ynag mereka pilih.

Jujur saja, saya banggaaaa… sekali pada para mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini, terlebih pada empat mahasiswa yang bisa menuangkan gagasannya dengan baik. Kenapa? karena buat kami para dosen, dalam proses pembimbingan tugas akhir baik itu skripsi, tesis, penulisan laporan kepribadian, maupun saat mahasiswa mengikuti ajang lomba-lomba penelitian, porsi terbesar yang harus kami bimbing adalah bagaimana mahasiswa bisa menuangkan gagasannya dengan runtut, jelas dan mudah dipahami. Bahkan, untuk kami sendiri pun, tak ada yang lebih sulit selain membuat 12 lembar makalah ilmiah. Untuk saya pribadi pun, meskipun beberapa kali telah mengikuti kelas “academic writing” baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tetap saja harus menarik nafas dalam-dalam dan merasa “it’s a big project” saat harus menulis tulisan ilmiah.

Konon katanya, kemampuan berbahasa ini memang punya korelasi tertinggi dengan kecerdasan seseorang. Memang, ada “kecerdasan” lain yaitu “kecerdasan” non verbal. Namun, mengingat “bahasa” adalah satu kemampuan yang hanya Allah anugerahkan pada manusia, maka saya menghayati….memang seharusnya, kita mengasah kemampuan ini.

emoticonDan sayangnya, budaya menuturkan gagasan dalam bentuk bahasa tampaknya kini semakin memudar. Dulu, waktu saya SMP atau SMA, setiap ada teman yang berulang tahun masing-masing kami selalu berusaha merangkai kata-kata untuk mengungkapkan doa dan harapan kami. Sekarang? setiap kali tgl 21 Februari, saya sering terima sms dari teman-teman saya berisi 8 huruf: “HBD WUATB” … atau kalau ada yang sakit, kalau dulu biasanya mengucap kalimat yang panjang, kini banyak yang cukup mengirim kata “GWS ya…”. Apalagi saat demam “wa” (whats app) melanda, huruf-huruf itu pun berganti menjadi emoticon. Pas saya ultah, yang saya terima adalah gambar kue ulang tahun plus gambar kado. Bahkan dulu pernah “trend” kuis-kuis di wa grup untuk nebak judul lagu, judul film, nama nabi, nama malaikat dll dengan serentet gambar.

Di satu sisi, bagus siiih…kemampuan abstraksi non verbalnya terasah. Cuman di satu sisi, itu tadi…kita semakin kehilangan kata untuk mengungkapkan pikiran dan terutama perasaan kita. Para pasangan mungkin menjadi kesulitan untuk menungkapkan perasaan cinta mereka yang dalam, atau “ganjalan2” yang ada di hati mereka, karena mereka terbiasa mengirim bbm atau wa dengan emoticon “bighug” atau “love”, atau “wajah marah” ataupun “tepok jidat”… padahal, kemampuan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan ini menjadi faktor kunci suksesnya “kerjasama” membina rumahtangga.

Jujur saja, saya prihatin dengan situasi ini. Di sekolah pun, aktivitas “mengarang” rasanya kini sudah semakin minim dilakukan oleh anak-anak kita.  Menurut saya, menulis atau mengungkapkan gagasan, pikiran dan perasaan jadi cara jitu untuk menyehatkan pikir dan rasa.

Menyehatkan pikir? kalau terbiasa menulis, kita akan terbiasa berpikir logis. Buat apa kemampuan berpikir logis? Hey….lihatlah di jaman ini…berita ini itu berseliweran. Tak bisa dibendung lagi, bagai air bah. Kalau kita tak punya dasar kemampuan berpikir logis, akan mudaaaaaaah sekali kita terpengaruh oleh berita, informasi yang “menyesatkan”. Apalagi kini banyak sekali “kebencian” yang dibungkus dengan “rasa agama”. Makanya saya suka merasa gimanaaaaa gituh …… kurang “sreg” dengan kebiasaan meng klik tombol “share” beberapa teman, yang gak “mengolah” dulu keruntutan berita itu. Kemampuan berpikir logis pun akan mengasah kita untuk memahami persoalan secara “radikal” dari esensinya. Maka, kita tak akan mudah terbawa emosi dan tersulut oleh kata-kata “dramatis” yang sekarang sering digunakan orang untuk menggiring opini publik.

Menyehatkan rasa? Sudah bukan rahasia  lagi kalau menulis, menuangkan perasaan dalam bentuk kalimat-kalimat, bisa menjadi POISON PEN THERAPY. Lewat “goresan pena” atau “ketikan keyboard”, kita bisa mengeluarkan segala perasaan kita, terutama perasaan negatif. Ia akan menjadi “jendela” dari kekesalan, kemarahan, kekecewaan kita pada siapapun, pada apapun. Karena kan, katanya dalam dunia psikologi, berlaku pula hukum kekekalan energi. Energi itu tak akan hilang, hanya bisa berganti bentuk. Kemarahan, kekecewaaan, kekesalan tak akan hilang begitu saja. Bisa kita salurkan lewat teriakan pada anak-anak kita, tekanan-tekanan kita pada tombol klakson saat di jalan, sumpah serapah kita pada pengguna kendaraan yang “mengusik” kita, pada ocehan-ocehan di twitter….atau…lewat goresan tulisan kita di diary…tinggal kita pilih.

Maka, saya selalu mendorong siapapun untuk menulis. Mahasiswa, emak-emak, anak-anak…..Siapapun. Tak harus menulis logis. Tulis saja apa yang kita rasakan. Apa yang kita lihat, apa yang wara-wiri di pikiran kita. Nanti kita akan merasa bahwa vocabulary kita tidak memadai untuk mewakili pikiran dan perasaan kita. Itu akan mendorong kita untuk banyak membaca. Gak usah membaca yang serius-serius. baca novel, komik….Tak harus juga berorientasi untuk dimuat di koran, diterbitkan jadi buku….menulis saja lah…biar pikir dan rasa kita menjadi lebih “sehat”.

Karena tak ingin anak-anak saya menjadi “generasi emoticon”, maka saya senaaaang sekali “menyuplai” buku diary lutu-lutu buat Azka. Di usia 10 tahun ini, dia sudah menghabiskan 3 diary tebal. Untuk Umar dan Hana, saya berusaha untuk selalu mengajak ngobrol …. Saya lebih senang tiga anak itu rebutan untuk “cerita” ke saya, daripada nanti mereka hanya mengirimkan pesan-pesan emoticon buat saya 😉