14 tahun-an yang lalu, saat saya berada di tingkat terakhir kuliah, sebagai mahasiswa Psikologi, seriiing banget diminta mengisi materi mengenai “citra diri”. Baik itu di kalangan remaja maupun di kalangan mahasiswa. Waktu itu sih, pede ajah dan so iye hehe….
Lamaaaa saya tak pernah membaca maupun menghayati mengenai “citra diri” ini. Saya pikir, karena “pencarian jati diri” dan “penghayatan citra diri” ini adalah tugas perkembangan remaja, maka issue-nya selesai saat seseorang, termasuk saya masuk ke tahap perkembangan dewasa.
Namun dalam sebuah perjalanan beberapa waktu lalu, issue “citra diri” ini saya hayati kembali, di usia kepala tiga ini. Mmmhhh…sebenarnya apa yang wara-wiri dan saya hayati dalam perjalanan itu, belum bisa saya ungkapkan dengan baik dalam bentuk kata-kata. Namun saya ingin mencobanya……
Kalau ditanya pada saya, siapa saya? saya akan menjawab saya adalah seorang ibu, seorang istri, seorang anak, seorang dosen, seorang psikolog, seorang kakak, seorang menantu, seorang muslimah, ….. dan beberapa “identitas lain” yang menyangkut diri saya. Saya rasa itu sudah cukup.
Namun ternyata, dalam “perjalanan” itu ada pertanyaan lain yang muncul dari relung hati saya. “Benarkah identitasmu seperti itu?” …. Ada pertanyaan lanjutan: “Apa bukti bahwa identitas dirimu, jati dirimu adalah seperti yang kamu sebutkan tadi?” dan pertanyaan terakhir meminta saya untuk “mengurutkan prioritas identitas diri saya”
Tiga pertanyaan itu, berusaha keras saya jawab. Tentu melalui percakapan dalam batin saya. Percakapan panjang itu, bermuara pada sebuah kesimpulan…bahwa jawaban saya terhadap pertanyaan “siapa diri saya” itu, adalah peran sosial yang saya sandang. “pemahaman”. Bukan “penghayatan”. Bisa jadi semu. Tetapi, jati diri saya yang hakiki, ditentukan oleh seberapa besar penghayatan saya pada peran itu, yang ditunjukkan oleh seberapa besar upaya saya untuk melakukan peran itu.
Mulailah saya mengevaluasi satu demi satu apa yang saya “akui” sebagai jati diri saya. Seorang ibu. Benarkah saya menghayati bahwa saya seorang ibu? apa buktinya? upaya-upaya apa yang saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya menghayati betul jatidiri saya sebagai seorang ibu. Seorang istri? benarkah saya melakukan upaya sungguh-sungguh untuk menunjukkan jatidiri sebagai seorang istri? Seorang anak? seorang dosen? ….. seorang muslimah? seberapa besar upaya saya untuk mencari ilmunya? seberapa banyak ilmu yang saya miliki, dan seberapa keras upaya saya untuk menunjukkan identitas itu ?
Dari proses evaluasi itu, tahulah saya bahwa ternyata….tak semua peran sosial, tak semua hal yang saya “akui” sebagai “jatidiri” saya itu, saya hayati. Aduuuuh….beneran pengen nangis deh….Saya takuuut banget menjadi seseorang yang menyandang beragam identitas jatidiri, namun secara hakiki, secara esensi, tak menghayati semua peran itu…sehingga peran-peran itu tak termaknai, tak meninggalkan jejak berarti, yang artinya, sebenarnya saya bukan siapa-siapa. Secara hakiki.
Lalu sampailah saya pada pertanyaan ketiga …. Banyak hal dari “perjalanan” itu, yang “mempertanyakan prioritas jatidiri” saya. Ya, ya….kita punya banyak peran. Namun secara tak sadar, kita membuat “prioritas atau urutan”. Penghayatan terhadap masing-masing peran intensitasnya akan berbeda dan akan terlihat jelas dari tindakan-tindakan dan pilihan-pilihan kita. Dan dalam proses menyusun prioritas “jati diri” itulah saya menemukan satu “rumus”, untuk “memetakan” jatidiri mana yang seharusnya saya utamakan. Rumus itu adalah…mengurutkan berdasarkan “rentang waktu penyandangan” identitas itu.
Jatidiri mana yang akan berakhir di usia tertentu? Jatidiri mana yang akan selesai saat ruh dan jasad saya berpisah nantinya? jatidiri mana yang akan terhenti saat secara fisik saya terpisah dari orang-orang yang ada di hati saya? dan…jatidiri mana yang tetap akan melekat dalam diri saya, selamanya….sampai alam barzakh…sampai hari perhitungan….sampai hari akhir… selamanya…..
Dan..tercekatlah saya…menghayati bahwa ternyata, selama ini saya salah menempatkan prioritas urutan jatidiri. Saya seperti menemukan kompas yang menunjukkan bahwa apa yang saya jalani selama ini, bergeser dari arah yang seharusnya saya tuju. Ya, “perjalanan” itu, walaupun singkat, namun dalam prosesnya mewakili tahun-tahun saat saya mengalami pergolakan “pencarian jatidiri” di masa remaja belasan tahun lalu.
Sepulangnya dari “perjalanan” itu, beberapa teman bertanya, apakah ada yang berubah dalam diri saya? Saya jawab…”ya, ada yang berubah. jatidiri saya”
Jujur, tak semua tgl 21 Februari terasa istimewa. Dan 21 februari hari ini adalah salah satu yang istimewa. Karena saat ini, saya menghayati betul “siapa saya”, “ingin jadi apa saya”…..sehingga saya menjadi yakin….waktu luang saya, harus saya alokasikan untuk apa. Energi yang saya punya, harus saya arahkan kemana. Saya tahu betul, apa “perbedaan saya” dengan orang lain.
Semoga Allah selalu memberikan tuntutan dan kekuatan serta petunjuk agar saya selalu bisa menemukan moment untuk melihat kembali “kompas jatidiri” yang bisa membuat saya menjadi baik, bahagia dan selamat…
Recent Comments