Who Is Our Children’s True Love?

Ini adalah malam ketiga saya begadang. Bukan nyiapin materi kuliah. Bukan periksa tugas mahasiswa. Bukan juga bikin laporan penelitian, atau ngerjain projek evaluasian. Saya begadang karena si bungsu dan si pangais bungsu, Azzam dan Hana sedang sakit. Sakit apa? standar sebenarnya. Batuk, pilek, panas. Cuman entah mengapa, mungkin saking eratnya ikatan emosional antara mereka berdua, maka kalau sakit mereka selalu kompak. Bersama.

Daaan….semua ibu tahu. Kalau anaknya sakit, maka ….. selucu, seanteng, se”baik” apapun anaknya, berubah 180 derajat menjadi amat sangat rewel. Azzam sudah pasti pengen dipangku terus. Hana, tiap 15 menit sekali bangun. Nangis. Minta minum, mau susu, daaan…mau dipeluk. Hana pengen ibu memeluk dia sambil batuk-batuk, sedangkan Azzam langsung terbangun dan rewel kalau mendengar suara batuknya Hana. Pusing bukan? Untunglah malam ini ada si abah. Dua malam kemarin, teler sendirian…. Ini punggung udah mulai cenut-cenut gara-gara si ndut Azzam pengen digendong terus dengan posisi sama, di bahu sebelah kiri. Dua bulan lalu, akibat Azzam sakit seminggu, bahu dan punggung saya sakiiit banget selama sebulan…Alhamdulillah malam ini mereka bisa tidur agak pulas. Panasnya udah stabil turun. Cuman daripada tidur lalu kebangun lalu tidur gak jelas yang bikin pusing, saya putuskan untuk terus terbangun dan mengerjakan ini-itu aja.

Tapi deng, sebenernya ada atau gak ada si abah kalau anak-anak lagi sakit, gak ngaruh. Kenapa? karena….kalau anak-anak lagi sakit, abahnya jadi “gak laku”. Padahal saya berharap Hana dan Azzam ini berbeda. Maklum, kedua anak ini entah dijampe-in apa ama abahnya, dekeeet banget sama abahnya. Hana itu, kalau udah sore pasti nanya…”abah pulang gak?” kalau saya jawab “engga”. Langsung deh dia berkaca-kaca dan bilang…”kangen abah”. Si  bungsu Azzam, kini semakin sering berhasil dalam melakukan trial-error menelpon si abah. Dia bisa menelpon abahnya bermenit-menit, gak peduli abahnya lagi meeting penting. Dan kalau si abah ada di rumah, kalimat favorit Azzam adalah “sama abah aja”. Mandi, makan, pake baju, pipis, semuanya mau dengan syarat: “sama abah aja”.

Jadi…kalaupun si abah ada saat anak-anak sakit, fungsinya lebih sebagai “asisten”…bikinin susu, ambilin air minum, dan….menjadi “emotional support” buat sayah…hehe…Soalnya, walaupun si abah sepenuh hati berniat gantian mangku Azzam, jangankan mangku…abah tidur di kasur yang sama aja, Azzam langsung usir “abah sana!”.

Mmmhhh…jadi inget curhatan adik saya….dia curhat: “kenapa sih teh, kalau lagi hepi, lagi goodmood, sama abinya….aja. Eeeh…pas lagi rewel, ngantuk, sakit, bagian uminya deh”… Waktu itu saya jawab ngasal sambil nyengir: “ya bagus atuh, berarti dalam situasi gak enak dia lebih nyaman sama uminya. Berarti Uminya bisa membuat dia nyaman..bagus itu”…

Eh, setelah saya baca buku tentang attachment, ternyata jawaban ngasal saya itu didukung oleh teori…..(haha….sombong euy….). Jadi, dinyatakan kurang lebih begini: “bahwa salah satu indikator seseorang itu menjadi figur attachment buat anak, adalah jika figur itu yang dicari anak saat ia merasakan emosi negatif. Kenapa? karena ikatan emosinal yang kuat dengan figur itu akan membuat anak merasa aman dan nyaman”. Ya, ya, ya…kita memang bisa berbagi suka dengan banyak orang, namun untuk berbagi duka? pasti hanya dengan orang-orang tertentu bukan?

Saya jadi inget. Dulu, watrue lovektu zaman Umar kecil, saya sering bertanya-tanya…siapa sih figur “primary attachmentnya” Umar. Apakah saya? atau bukan? Keraguan dan kecemasan  itu muncul karena Umar tampaknya “tidak membutuhkan saya”. Sehari-harinya, karena Azka lebih “nempel” pada saya, maka Umarlah yang “dikorbankan” beraktivitas bersama teh Ema, pengasuhnya. Apalagi saat itu juga saya mulai “serius” menjadi working woman. Sampai suatu saat Umar sakit, dan dia tak mau disentuh siapapun kecuali saya. Horeeee….waktu itu saya merasa “menang” melawan teh Ema…You can have Umar’s body, but his heart is mine…gitu lah kurang lebih perasaan sayah. Haha….lebay banget ya?

Jadi…sepadan lah….pusing kepala yang dialami sebagai akibat tiga malam begadang, cenut- cenut di punggung, tumpukan PR yang harus diselesaikan, jadwal-jadwal dan acara yang terpaksa dicancel….dengan mendapatkan kepastian bahwa…saya adalah “cinta sejati” anak-anak sayah….cihuy….haha….

sumber gambar : http://www.okiraa.com/HDwallpapers/768×885/true-love-quotes-wallpaper-63164.html

Kuadran Eksistensi VS Esensi Dalam Beragama

Ada beragam sikap kita dalam beragama. Bahkan, dalam diri seseorang pun sikapnya tidak selalu tetap dari waktu ke waktu, seiring dengan naik-turun kadar keimanannya. Secara sangat sederhana, saya membagi sikap-sikap beragama itu menjadi 3 kelompok, yang merupakan kombinasi dari dua aspek: esensi dan eksistensi.

Menurut http://kbbi.web.id/; Arti Esensi digambarkan sebagai berikut: esensi /esen·si/ /ésénsi/ n hakikat; inti; hal yg pokok. Sedangkan gambaran arti eksistensi adalah: eksistensi /ek·sis·ten·si/ /éksisténsi/ n hal berada; keberadaan. Dalam konteks tulisan ini, yang saya maksudkan esensi adalah  “makna” dari ajaran agama; sedangkan eksistensi adalah simbol dan ritual keagamaan.

Baiklah, mari kita bahas satu demi satu, tiga  kelompok dari keempat kuadran tadi.

Ada kelompok yang tak peduli eksistensi apalagi esensi beragama. Kita tak akan membaas terlalu dalam kelompok ini, karena perilaku mereka jelas sekali. Menggunakan “nilai universal” maupun nilai keagamaan, kita tak menyukai orang-orang dari kelompok ini. Kalau mereka muslim, mereka tak sholat. Apalagi berbuat baik. Mereka tak puasa, dan merasa tak perlu menahan hawa nafsunya dari berbuat apapun yang mereka mau.

Kelompok kedua adalah kelompok yang hanya mementingkan salah satu : atau esensi, atau eksistensi dalam beragama. Mengikuti hukum kurva normal, kelompok ini paling banyak anggotanya. Mari kita bahas.

Kelompok 2a. Adalah kelompok yang mementingkan esensi tapi tak mempedulikan eksistensi dalam beragama. Mereka adalah kelompok orang-orang yang “baik” dilihat dari kacamata “kebaikan universal”. Mereka suka membantu, peduli sesama, bertoleransi, tak pernah mencontek apalagi korupsi, namun,,,mereka merasa tak perlu sholat, apalagi haji.  Tak perlu berjilbab karena yang penting adalah “jilbab hati”. Mereka juga menganggap agama itu bukanlah sekat yang membedakan. Maka, tak masalah menikah antar agama. Bahkan dalam tataran yang lebih ekstrim, mereka menganggap bahwa semua agama itu sama.

Kelompokk 2b, adalah sebaliknya. Mereka mementingkan eksistensi dan tak peduli esensi dari ritual yang mereka jalankan. Banyak sekali kita lihat fenomena ini akhir-akhir-akhir ini. Ustadz yang tak mampu menahan hawa nafsu, Haji yang korupsi, Hijabers yang yang tak pantang mencaci-maki, “Sinetron religi” yang sama persis dengan sinetron non-religi; hanya kostum pemainnya saja yang berbeda….. atau kelompok-kelompok eksklusif ritual agama yang menuliskan dalam status-status medsosnya: “alhamdulillah…sudah tamat 2 juz….alhamdulillah….nikmat sekali tahajjud ini”

Dan kelompok ketiga, tentunya adalah kelompok yang memahami bahwa setiap ritual agama, adalah media untuk menumbuhsuburkan “kebaikan universal” dalam diri kita dalam menjalani kehidupan dunia. Plus, media untuk membuat kita selamat dalam menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka yang di kelompok ini, akan menjaga sholatnya. Karena ia yakin, bahwa segala sesuatu itu, ada “protokol”nya. Tidak bisa kita mengatakan “yang penting dalam hati saya menghargai” dan datang ke undangan dengan memakai hanya kaos dalam dan celana pendek. Ia paham, bahwa esensi yang ia pahami, harus diwujudkan dalam bentuk “eksistensi” yang telah diatur oleh ajaran agamanya. Wanita-wanita di kelompok ini, akan berhijab dan menyadari betul, bahwa hijab ini adalah upaya untuk menjaga dirinya agar bisa menjadi lebih baik, sebab pakaiannya kini menjadi simbol dari ajaran agamanya, yang dari perilakunya lah orang akan menyimpulkan ajaran agamanya.

…………………………….

Sebagai “pengamat sosial kelas RT”, saya melihat bahwa tanpa kita sadari, banyak orang yang menempatkan dirinya di  posisi kelompok 2a, sebagai rekasi terhadap sikap-sikap orang-orang di kelompok 2b. Ya, ya, ya…saya memahaminya. Saya bisa memahami logika “buat apa haji ….yang penting berbuat baik, nolong orang…esensinya haji kan kepedulian sosial”. Saya juga bisa memahami logika ” mendingan kita, gak ngaji tapi gak nyalah-nyalain orang lain dan merasa diri sendiri benar”. Ya, saya paham.

Dan sebenarnya, mau berada di kelompok mana kita, adalah hak asasi kita. Pengelompokan ini juga bukan saya tujukan untuk menjudge orang lain, tapi untuk berefleksi….dimana saya berada. Hanya saja, menurut saya…. meskipun pemikiran kelompok 2a itu “logis”, ada pilihan yang jauh lebih baik.

kuadran beragamaKita bisa memilih menjadi peduli, tetap menolong orang-orang di sekitar kita tanpa harus meninggalkan kewajiban berhaji. Betul, banyak ustadz-ustadz yang sikapnya gak sesuai dengan hati nurani kita. Tapi, harusnya itu tak menyurutkan semangat kita untuk mengaji. Tetaplah mengaji….masih banyak ustadz-ustadz yang kata dan perilakunya sama-sama baik….Style berhijab yang sudah lupa pada tujuan awalnya menjaga diri, seharusnya juga tak membuat kita goyah untuk tetap menutup aurat dengan syar’i….Perilaku “narsis” dalam beritual juga harusnya membuat kita tak bergeming,  tetap banyak membaca al-qur’an, istiqomah tahajjud tanpa harus menggembar-gemborkannya.

Ya, ya, saya paham….kuatnya seretan arus sosial kini, seringkali membuat kita berlogika sendiri. Rasanya benar. Namun kita harus ingat, bahwa syetan itu punya seribu satu cara untuk memperluas jaringan pertemanannya. Ia bisa menjelma menjadi apa saja. Bahkan, menjelma menjadi pemikiran yang baik, atau menjadi wujud yang baik.

Semoga kita selalu tak pernah tercerabut, untuk bisa memahami esensi dari ritua-ritual agama yang kita jalankan. Semoga diberi kekuatan untuk menjalankannya, diberi kejernihan hati untuk menghayatinya, dan diberi kelembutan hati untuk membentenginya dari kontaminasi ujub dan riya.

sumber gambar : http://s678.photobucket.com/user/soccerchicca/media/Quotes%20and%20Sayings/life-choices-quotes-004.jpg.html