Kuadran Eksistensi VS Esensi Dalam Beragama

Ada beragam sikap kita dalam beragama. Bahkan, dalam diri seseorang pun sikapnya tidak selalu tetap dari waktu ke waktu, seiring dengan naik-turun kadar keimanannya. Secara sangat sederhana, saya membagi sikap-sikap beragama itu menjadi 3 kelompok, yang merupakan kombinasi dari dua aspek: esensi dan eksistensi.

Menurut http://kbbi.web.id/; Arti Esensi digambarkan sebagai berikut: esensi /esen·si/ /ésénsi/ n hakikat; inti; hal yg pokok. Sedangkan gambaran arti eksistensi adalah: eksistensi /ek·sis·ten·si/ /éksisténsi/ n hal berada; keberadaan. Dalam konteks tulisan ini, yang saya maksudkan esensi adalah  “makna” dari ajaran agama; sedangkan eksistensi adalah simbol dan ritual keagamaan.

Baiklah, mari kita bahas satu demi satu, tiga  kelompok dari keempat kuadran tadi.

Ada kelompok yang tak peduli eksistensi apalagi esensi beragama. Kita tak akan membaas terlalu dalam kelompok ini, karena perilaku mereka jelas sekali. Menggunakan “nilai universal” maupun nilai keagamaan, kita tak menyukai orang-orang dari kelompok ini. Kalau mereka muslim, mereka tak sholat. Apalagi berbuat baik. Mereka tak puasa, dan merasa tak perlu menahan hawa nafsunya dari berbuat apapun yang mereka mau.

Kelompok kedua adalah kelompok yang hanya mementingkan salah satu : atau esensi, atau eksistensi dalam beragama. Mengikuti hukum kurva normal, kelompok ini paling banyak anggotanya. Mari kita bahas.

Kelompok 2a. Adalah kelompok yang mementingkan esensi tapi tak mempedulikan eksistensi dalam beragama. Mereka adalah kelompok orang-orang yang “baik” dilihat dari kacamata “kebaikan universal”. Mereka suka membantu, peduli sesama, bertoleransi, tak pernah mencontek apalagi korupsi, namun,,,mereka merasa tak perlu sholat, apalagi haji.  Tak perlu berjilbab karena yang penting adalah “jilbab hati”. Mereka juga menganggap agama itu bukanlah sekat yang membedakan. Maka, tak masalah menikah antar agama. Bahkan dalam tataran yang lebih ekstrim, mereka menganggap bahwa semua agama itu sama.

Kelompokk 2b, adalah sebaliknya. Mereka mementingkan eksistensi dan tak peduli esensi dari ritual yang mereka jalankan. Banyak sekali kita lihat fenomena ini akhir-akhir-akhir ini. Ustadz yang tak mampu menahan hawa nafsu, Haji yang korupsi, Hijabers yang yang tak pantang mencaci-maki, “Sinetron religi” yang sama persis dengan sinetron non-religi; hanya kostum pemainnya saja yang berbeda….. atau kelompok-kelompok eksklusif ritual agama yang menuliskan dalam status-status medsosnya: “alhamdulillah…sudah tamat 2 juz….alhamdulillah….nikmat sekali tahajjud ini”

Dan kelompok ketiga, tentunya adalah kelompok yang memahami bahwa setiap ritual agama, adalah media untuk menumbuhsuburkan “kebaikan universal” dalam diri kita dalam menjalani kehidupan dunia. Plus, media untuk membuat kita selamat dalam menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka yang di kelompok ini, akan menjaga sholatnya. Karena ia yakin, bahwa segala sesuatu itu, ada “protokol”nya. Tidak bisa kita mengatakan “yang penting dalam hati saya menghargai” dan datang ke undangan dengan memakai hanya kaos dalam dan celana pendek. Ia paham, bahwa esensi yang ia pahami, harus diwujudkan dalam bentuk “eksistensi” yang telah diatur oleh ajaran agamanya. Wanita-wanita di kelompok ini, akan berhijab dan menyadari betul, bahwa hijab ini adalah upaya untuk menjaga dirinya agar bisa menjadi lebih baik, sebab pakaiannya kini menjadi simbol dari ajaran agamanya, yang dari perilakunya lah orang akan menyimpulkan ajaran agamanya.

…………………………….

Sebagai “pengamat sosial kelas RT”, saya melihat bahwa tanpa kita sadari, banyak orang yang menempatkan dirinya di  posisi kelompok 2a, sebagai rekasi terhadap sikap-sikap orang-orang di kelompok 2b. Ya, ya, ya…saya memahaminya. Saya bisa memahami logika “buat apa haji ….yang penting berbuat baik, nolong orang…esensinya haji kan kepedulian sosial”. Saya juga bisa memahami logika ” mendingan kita, gak ngaji tapi gak nyalah-nyalain orang lain dan merasa diri sendiri benar”. Ya, saya paham.

Dan sebenarnya, mau berada di kelompok mana kita, adalah hak asasi kita. Pengelompokan ini juga bukan saya tujukan untuk menjudge orang lain, tapi untuk berefleksi….dimana saya berada. Hanya saja, menurut saya…. meskipun pemikiran kelompok 2a itu “logis”, ada pilihan yang jauh lebih baik.

kuadran beragamaKita bisa memilih menjadi peduli, tetap menolong orang-orang di sekitar kita tanpa harus meninggalkan kewajiban berhaji. Betul, banyak ustadz-ustadz yang sikapnya gak sesuai dengan hati nurani kita. Tapi, harusnya itu tak menyurutkan semangat kita untuk mengaji. Tetaplah mengaji….masih banyak ustadz-ustadz yang kata dan perilakunya sama-sama baik….Style berhijab yang sudah lupa pada tujuan awalnya menjaga diri, seharusnya juga tak membuat kita goyah untuk tetap menutup aurat dengan syar’i….Perilaku “narsis” dalam beritual juga harusnya membuat kita tak bergeming,  tetap banyak membaca al-qur’an, istiqomah tahajjud tanpa harus menggembar-gemborkannya.

Ya, ya, saya paham….kuatnya seretan arus sosial kini, seringkali membuat kita berlogika sendiri. Rasanya benar. Namun kita harus ingat, bahwa syetan itu punya seribu satu cara untuk memperluas jaringan pertemanannya. Ia bisa menjelma menjadi apa saja. Bahkan, menjelma menjadi pemikiran yang baik, atau menjadi wujud yang baik.

Semoga kita selalu tak pernah tercerabut, untuk bisa memahami esensi dari ritua-ritual agama yang kita jalankan. Semoga diberi kekuatan untuk menjalankannya, diberi kejernihan hati untuk menghayatinya, dan diberi kelembutan hati untuk membentenginya dari kontaminasi ujub dan riya.

sumber gambar : http://s678.photobucket.com/user/soccerchicca/media/Quotes%20and%20Sayings/life-choices-quotes-004.jpg.html

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: