Hot Issue: Test Kematangan Masuk SD (Part Two)

Tulisan kedua ini akan mencoba menjawab pertanyaan : kenapa sih, mau masuk SD anak harus “matang” ? 

Gak ada kan, yang namanya “test kematangan masuk SMP, SMA, Perguruan Tinggi dst…” (hhhmmm…sebenarnya ada juga sih, cuman memang istilahnya bukan”kematangan”, dan gak terlalu bikin panik ibu-ibu hehe….).

Menurut buku yang pernah saya baca (dan saya lupa banget itu buku yang mana ya….). Ada beberapa alasan mengapa anak harus dipersiapkan untuk “siap” (jujur aja saya lebih suka kata “siap” dibanding “matang” 😉 memenuhi pembelajaran di SD. Alasan-alasannya adalah karena Sekolah Dasar sebenarnya adalah institusi formal pertama yang diikuti anak. Sebelum masuk SD, institusi yang anak-anak ikuti kan namanya “Pra-sekolah” bukan? Ada karakteristik dan tuntutan di SD yang berbeda jauh dari karakteristik dan tuntutan di Pra sekolah.

      Ada perubahan dari kegiatan bermain bebas pada tahap sebelumnya menuju kegiatan yang menghasilkan produk tertentu.

Meskipun anak-anak kita sekolah di sekolah swasta yang biasanya gak sepenuhnya memenuhi tuntutan Diknas dan punya awareness terhadap perbedaan kemampuan anak, tetep aja ada target-target pemahaman yang harus dicapai anak. Ada yang namanya KKM. Kriteria Ketuntasan Minimum. Apapun alasannya, si murid harus mencapai nilai itu. Jika tidak? remedial lah jalannya.

       Anak belajar bahwa mereka akan mendapat pengakuan melalui kualitas kerja yang mereka hasilkan.

Di TK, PAUD atau apapun institusi pra-sekolah, kegiatan hanyalah media untuk melatih kemampuan dasar belajar anak. Menggambar, adalah media untuk melatih kemampuan motorik halus anak. Ada anak tak suka menggambar sehingga gak pernah selesai? di prasekolah tetep…dapat bintang. Dan bu guru akan mencari cara lain untuk melatih kemampuan motoriknya. Mencocok, meronce, “menjahit”, menyusun balok, dll. Di SD? ada yang namanya nilai. Di raport, ada nilai. Entah itu skor maupun huruf mutu.

       Dalam bidang akademik, anak harus bisa berkonsentrasi untuk menerima materi pelajaran dan mengembangkan metode untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan padanya.

Sebagai emak yang udah punya dua anak di SD, kelas 5 dan kelas 2, saya menyadari betul bahwa tahapan materi itu, benar adanya. Anak-anak yang belum menguasai penjumlahan dan pengurangan di kelas 1, tidak akan bisa menguasai perkalian di kelas dua. Artinya, mereka akan sangat sulit memahami materi pecahan, desimal dan prosentase di kelas 4. Setiap materi pelajaran di SD, harus ia kuasai karena merupakan syarat untuk bisa menguasai materi selanjutnya. Apalagi sudah bukan rahasia umum lagi, banyak emak yang meradang dan guru-guru yang kebingungan gimana caranya ngajarin pelajaran SD sekarang yang udah bujubune tingkat kesulitannya.

       Dalam bidang sosial, anak harus bisa menyesuaikan diri dengan aturan di lingkungan sekolah yang mungkin berbeda dengan aturan di rumah.

Kalau di prasekolah, aturan relatif “cair”. Misalnya Hana, hampir tiap hari telat 30 menit sampai satu jam … gak pernah tuh dapat hukuman dari sekolahnya hehe….Kalau di SD, mulai ada aturan yang secara mutlak harus dipenuhi anak. Minimal, tidak telat datang, pake seragam, gak boleh bawa mainan, dll dll.

       Anak  juga harus bisa menyesuaikan diri dalam pergaulan dengan teman sebaya agar dapat menjalin persahabatan.

Usia SD adalah usia dimana perkembangan sosial anak berkembang pesat. Anak-anak yang tidak siap secara sosial, potensial mendapatkan masalah. “ditolak” teman, dibully, yang  potensial berdampak negatif panjang.

bbbbbbbbbbbbbbbbbb       Daaan…kalau di luar negeri mah ya, isu kematangan anak masuk SD itu, tak hanya berfokus pada kesiapan anak loh…tapi mereka memandang bahwa kesiapan anak ini merupakan produk dari kesiapan lingkungannya. Orangtua dan sekolah. Kayaknya kita di Indoensia ini harus mulai pula menanamkan paradigma ini.

next : Apa aja sih, yang “diukur” dalam pemeriksaan kematangan masuk SD?

 

Hot Issue : Test Kematangan Masuk SD (part one)

Sebulan ke belakang dan sebulan ke depan saya dan tim disibukkan oleh satu kegiatan rutin setiap bulan Februari dan Maret: membantu beberapa TK untuk melaksanakan pemeriksaan kematangan masuk SD untuk siswa TK B-nya, dan evaluasi perkembangan untuk siswa PG dan TK A-nya. Dalam tulisan ini, yang akan saya ulas adalah mengenai pemeriksaan kematangan masuk SD.

Beberapa teman yang anaknya akan masuk SD tahun ini, yang sudah ada di TK B mungkin putera/puterinya sudah menjalani pemeriksaan kematangan masuk SD ini, baik di TK asalnya maupun SD yang akan dituju. Teman-teman pun mungkin sudah menerima hasil laporan pemeriksaannya. Sebagian mungkin sudah mendapatkan penjelasan langsung dari psikolog bagaimana cara membaca dan memahami isi laporan.

Tulisan ini saya tujuan pada teman-teman yang belum mendapatkan penjelasan utuh mengenai segala macam hal yang terkait dengan pemeriksaan masuk SD ini. Ini adalah rangkuman dari sesi parenting yang kemarin saya berikan di salah satu TK yang saya bantu.

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa(1) Tujuan Pemeriksaan Kematangan Masuk SD

Pemeriksaan kematangan masuk SD memang merupakan kewenangan psikolog, karena merupakan salah satu pemeriksaan psikologi. Pihak yang meminta, bisa institusi bisa individual. Untuk institusi, biasanya ada dua: TK dan SD. Untuk TK, pada umumnya tujuannya adalah untuk “memotret” kondisi kesiapan siswa-siswa TK B-nya untuk masuk SD. “Potret” yang didapat akan dimanfaat untuk mengarahkan stimulasi individual anak baik oleh guru dan orangtua. Saya sangat mendukung tujuan ini. Jika dilaksanakan bulan Februari/Maret, masih ada waktu sekitar 3 atau 4 bulan untuk menstimulasi aspek kemampuan dasar belajar anak yang belum berkembang secara optimal.

Adapun jika dilakukan di SD, biasanya SD swasta. Menurut pengalaman saya ada dua tujuannya: (1) Seleksi. Biasanya dilakukan oleh sekolah-sekolah “paporit” yang jumlah peminatnya jauuuuuh lebih banyak daripada jumlah kursi yang tersedia. Seperti hukum seleksi lainnya, maka yang paling keren hasilnya : yang paling pinter dan yang paling matang-lah yang akan diterima. Secara personal, saya merasa agak kurang sreg dengan tujuan ini. Meskipun saya juga bisa memahami, hal ini dilakukan bukan karena para guru di sekolah tersebut hanya mau menerima calon siswa yang “sudah jadi”, namun karena itu tadi…jumlah murid yang dapat diterima tak sebanding dengan jumlah murid….eh, jumlah orangtua murid yang ingin masuk sekolah tersebut. Tujuan yang ke(2) adalah untuk “inventarisasi potensi psikologi”. Sekolah seperti ini biasanya adalah sekolah inklusi, yang tak memberlakukan sistem seleksi. Prinsip mereka adalah: Siapa daftar cepat, dia dapat” 😉 . Hasil pemeriksaan psikologi akan dijadikan informasi bagi guru untuk menstimulasi anak-anak tersebut secara individual. Guru di SD kelas 1 nanti jadi tahu; Si A, harus dimatengin dulu motorik halusnya. Sedangkan si B, perlu pendekatan semi individual karena rentang konsentrasinya belum sesuai dengan usianya, dst dst.

Ada lagi pemeriksaan yang dilakukan oleh orangtua, ini terbagi dua. (1) Yang diminta oleh sekolah. Biasanya, yang meminta adalah sekolah negeri. Menurut informasi yang saya terima, katanya ada peraturan yang menyatakan bahwa syarat masuk SD di sekolah negeri adalah jika usia anak sudah 7 tahun. Jika masih ada kuota, boleh yang dibawah 7 tahun tapi dengan “rekomendasi” kematangan dari psikolog. (2) Inisiatif orangtua sendiri. Biasanya, orangtua yang datang ke psikolog untuk tujuan mengetahui kamatangan anaknya masuk SD, karena sekolah anaknya tak menyelenggarakan pemeriksaan tersebut  dan alasan terbanyak adalah ragu karena usia anak “nanggung”, sehingga butuh informasi apakah lebih baik memasukkan anaknya ke SD tahun ini atau tahun depan.

bersambung ke bagian dua: “kenapa sih, mau masuk SD anak harus “matang” ?